Langsung ke konten utama

Wacana Anak Perawan

Oleh : Dedy Hutajulu

Bukan hanya saya barang kali, orang yang kaget membaca berita tentang wacana tes keperawanan siswa yang berkembang belakangan ini. Wacana yang menuai kritik ini digulirkan anggota DPRD Provinsi Jambi, Bambang Bayu Suseno.

Keinginan Bambang agar siswi melakukan tes keperawanan dalam penerimaan siswa baru (PSB) disampaikan terkait peningkatan mutu pendidikan di Jambi. Keinginan ini kemudian direspons berbagai pihak, termasuk oleh Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang melihat tes keperawanan bukan sebagai solusi.

Meski niat awalnya mulia—agar perilaku akhlak dan moral generasi muda semakin baik—tapi cara mewujudkannya tidak tepat. Di sinilah kekeliruan menjadi panglima. Identifikasi masalahnya sudah jelas yakni, moral generasi muda memprihatinkan.

Namun, keliru memilih solusi (correction action) untuk meminimalisir disfungsi ibarat memberi ‘parasetamol’ kepada orang yang sakit perut.  Saya berani bertaruh, bahwa siswa yang lulus tes keperawanan tidak menjamin moralnya bagus dan yang tidak perawan moralnya sudah runtuh. Tes keperawanan ini (kegadisan dan keperjakaan) hanya akan melukai hati banyak pihak.

Para wanita tentu akan berdiri di garda terdepan yang akan mengajukan protes dan gugat karena menyinggung ruang privasi mereka, para orang tua apalagi, para pemimpin agama, dan mahasiswa barang kali.

Wacana ini jelas menambah ketidakadilan di negeri ini. Sementara masalah pemerataan pendidikan belum kelar dan hak-hak siswa mendapat pendidikan belum dipenuhi dengan baik, kini ruang privat siswa justru dianulir dengan harus menjalani tes keperawanan untuk bisa menapaki bangku sekolah.

Meskipun wacana tes tersebut belum mempersoalkan status dan hak-hak siswa dalam belajar bila kelak terbukti tidak lagi perawan dan kompensasi apa yang diberikan kepada mereka, biar bagaimanapun, isu tersebut secara psikologis telah menghantui pikiran anak didik dan para orang tua, yang pada akhirnya akan mempengaruhi perilaku dan gaya belajar anak mereka di sekolah.

Dalam poin inilah wacana ini perlu diperdebatkan. Apa urgensi tes tersebut kepada kemajuan pendidikan, kebangkitan moral dan akhlak mulia siswa? Tes keperawanan anak hanya akan memberikan efek negatif yang tak terbendung.

Pertama, anak akan menjadi takut (bahkan trauma). Kedua, para orang tua akan merasa amat sangat tersinggung  karena dianggap tidak becus mendidik anak.

Di sisi lain, dengan tes ini berarti mengabaikan peran dan teladan para pemimpin agama. Yang terpenting lagi, negara yang akan kehilangan wibawa. 

Memutar Roda Sejarah

Tidak jelas kapan dimulai dan kapan akan berakhir, namun  di akhir tahun 2004 di Afrika Selatan penyebaran virus HIV semakin mengkhawatirkan, dari status endemik melompat ke pandemik, yang ditandai dengan gemparnya kejadian masyarakat yang terjangkit HIV di Zimbabwe. Sehingga, di akhir tahun 2007, seorang pemimpin Zimbabwe mulai pusing kepala memikirkan cara mencegah pandemik HIV.

Singkat cerita, akhirnya beliau memilih cara mengadakan tes keperawanan terhadap wanita. Adapun langkah ini dipilih mengingat wanita lebih terbuka untuk diproteksi.  Setelah melewati berbagai penolakan, negosiasi demi negosiasi,  alhasil tes inipun disetujui (disetujui dengan berbagai catatan) oleh masyarakat untuk dijalankan.

Inilah, alasan melakukan tes keperawanan pertama kali. Namun, meskipun tes ini sudah dijalankan, bukan berarti tidak ada halangan. Tes keperawanan tersebut justru menjadi salah satu pemicu penyebaran HIV. Maka tes kegadisanpun dihentikan.

Dari uraian diatas (meski sangat ringkas), namun cukup menjadi cermin bagi kita untuk menyoal tes keperawanan siswa dalam PSB di negeri ini. Apakah anak-anak sekolah di negeri ini sudah banyak yang terkena HIV? Apakah pornografi disekolah begitu marak dan memicu pandemik HIV di tiap-tiap daerah? Jika tidak, wacana ini perlu dihentikan.

Dua pertanyaan di atas jelas akan mematahkan alasan wacana tes keperawanan yang digulirkan. Antara keperawanan siswa dengan moralnya, tentu tak mudah untuk diuji (meski ada kaitannya).

Tetapi, kembali pada persoalan utama, masalah moral. Siapapun amat berkepentingan dengan hal ini, maka kita semua harus bertanggung jawab, tua-muda, besar kecil, bergelar atau buruh. “Masalah moral, masalah akhlak, urus saja moralmu urus saja akhlakmu” kata Iwan fals adalah isyarat moral adalah tugas siapa saja.

Kiranya, wacana ini dihentikan. Untuk urusan moral mari kita buka pintu diskusi selebar-lebarnya. Mari kita buka ruang bagi kaum muda untuk berbicara solusi membangun moral mereka sendiri. Independensi kaum muda perlu dibangun agar kebebasan berpikir dan berkreasi mereka mengantar mereka untuk mampu memilih jalan hidup yang tidak menganan atau mengiri, tidak tenggelam dalam pergaulan negatif.

(Penulis berbahagia dan bergiat di komunitas Perkamen Medan)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Syawal Gultom: Unimed Bagi Negeri

Oleh Dedy Hutajulu   Berkarir tinggi sampai ke Jakarta, tak membuat Syawal Gultom melupakan Unimed. Ia pulang membawa pengetahuan baru, biarKampus Hijau bisa menjadi pandu bagi negeri. Syawal Gultom LELAKI itu bangkit dari kursi. Ia tinggalkan setumpuk pekerjaan hanya demi menyambutku. Ruangan kami bertemu hanya seluas lapangan volley. Diisi banyak buku. Di tengah ruangan, ada sebuah meja dengan sofa yang disusun melingkar.Sofa itu biasa dipakai untuk menjamu paratamu.Laki-laki yang dimaksud adalah Syawal Gultom. Rektor baru Unimed.  Periode sebelumnya Syawal mengabdikan diri sebagai Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya   Manusia Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMPMP) Kemendikbud, Jakarta. Di pundak Syawal saat itu dibebankan tanggung jawab berat. Ia harus menjamin desain besar mutu pendidikan di Indonesia. Seperti merpati yang ingat pulang, Syawalpun kembali ke Unimed. Mayoritas anggota Senat mendukung Syawal sebagai nahkoda Unimed. Sampai 2019 nanti, g...

Larut dalam Puisi

Tiada alasan untuk bodoh. Slogan "orang miskin dilarang sekolah" sudah saatnya dihela. Akses terhadap ilmu terbuka lebar. Siapa pun--khususnya orang kota, bisa cerdas dengan aneka bacaan. Banyak bacaan tersedia di toko buku. Hanya perlu kemauan untuk menyambanginya. KAlau terlalu sibuk dengan tugas kuliah atau pekerjaan, luangkanlah saat-saat akhir pekan. Seperti kebiasaanku dan adikku Ervan. Ervan menyempatkan melumat isi buku dengan matanya Satu-satunya cara yang kami gunakan untuk mengisi perayaan dirgahayu ke-68 RI adalah bersembunyi di balik-balik buku di Toko Buku Gramedia, jalan Gajah Mada, Medan. Setelah menerobos banyak kemacetan dari Pancing ke Gramed, akhirnya kami puaskan membaca sampai toko ini tutup.  bagiku sendiri, banyaknya bacaan di sini bikin kepala pusing memilih buku apa. Semuanya ada bagusnya. Tapi aku lebih tertarik membaca novel. sedang Ervan menyukai tokoh-tokoh selebritas Dunia. Diraihnyalah satu buku yang mengulas misteri kematian Michael Jac...

Selamatkan Lapangan Merdeka Medan

Lapangan Merdeka (Vukoraido) BERKACA dari keberhasilan penyelamatan Gedung Nasional Medan, kini para sejarawan, akademisi, mahasiswa, budayawan, pengamat budaya, dan dosen serta aktivis di Medan makin merapatkan barisan. Mereka sedang mengupayakan penyelamatan Lapangan Merdeka Medan dari usaha penghancuran pihak tertentu. Gerakan ini bermaksud mendorong pemerintah agar menyelamatkan Lapangan Merdeka yang kini telah kopak-kapik sehingga merusak makna sejarah yang ada tentang kota ini. Pembangunan skybridge (jembatan layang) sekaligus city cek in dan lahan parkir di sisi timur Lapangan Merdeka, menurut Hamdani Siregar, pengamat sejarah, itu adalah bagian dari upaya penghancuran sejarah. Apalagi, ketika pembangunan tersebut malah makin memunggungi satu monumen bersejarah di Medan, yakni monumen proklamasi kemerdekaan RI. “Ini momentum bagi kita untuk bangkit melawan. Bangkit menyelamatkan Lapangan Merdeka. Karena pembangunan di situ telah merusak sejarah bangsa i...