Langsung ke konten utama

Digitalisasi Media



Oleh Dedy Hutajulu

Rilis-rilis berita yang pernah dibikin Parlemen Australia dipajang di gedung demokrasinya di Canberra. Australia kini beralih ke format digital. Foto oleh Dedy Hutajulu

Era teknologi canggih sedang menggempur. Ketika internet sudah di ujung jari, penyebaran data dan informasi juga kian tak terbendung. Bahkan muncul kekuatiran sejumlah pihak, koran akan ditinggalkan orang.

KEKUATIRAN ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Bahkan Parlemen Australia memandang ‘kekuatiran’ ini sebagai sesuatu yang harus disikapi cepat. Mengingat efektifnya penggunaan media jejaring sosial pada pemilu federal 2013 silam, Parlemen Australia kini cepat-cepat beralih ke format digital.

Kenapa mereka beralih ke digital? “Hal itu diputuskan berdasarkan hasil riset AEC yang menyebut, penggunaan media digital dan sosial media (sosmed) lebih hemat (murah biayanya) dan lebih efektif,” ujar Direktur Komunikasi dan Pendidikan AEC, Phil Diak.

Riset menunjukkan, penggunaan media cetak, seperti majalah atau koran lebih boros karena melibatkan biaya cetak, ongkos produksi dan biaya sirkulasi. Sedang media digital hanya membutuhkan sebuah flatform yang tepat dan sedikit tenaga ahli untuk mengisi situs tersebut.

Bayangkan harga percopi surat kabar minimal 2 dolar, bertiras minimal 12.000 eksemplar. Belum lagi biaya kirimnya via kantor pos. Sementara untuk media digital, biaya cetak dan sirkulasi bias dipangkas. Hanya perlu menggaji karyawan yang bekerja mengisi kontennya. Parlemen biasanya menentukan tim yang bisa mengeksekusinya sekaligus mendesain flatform yang bisa diakses via gawai. Aplikasinya juga sudah tersedia.

Pip Blackwood, salah satu anggota parlemen menerangkan, media digital parlemen umumnya memuat topik seputar apa yang sedang dan telah dikerjakan. Tentu ditambah sedikit warna sari. Prinsip konten juga mengindahkan etika jurnalistik: harus netral dan berimbang, tidak boleh memihak kepentingan dari partai manapun, baik kepentingan koalisi ataupun kubu pemerintah. Konten digital itu semata-mata untuk memberikan penyadaran kepada publik bahwa komite dan parlemen tidak hanya duduk-duduk di kantor, tetapi bekerja sebagai wakil rakyat.

Memang topiknya tidak melulu seputar kinerja komite atau parlemen, tetapi apa saja yang terjadi dengan parlemen atau komite. Ini mencakup semua elemen. Soal konten, selalu disaring ketat agar jangan sampai menimbulkan kegaduhan politik. Setiap isu yang digarap mengutamakan kepentingan umum, sehingga ditulis dengan mengkover semua sisi (cover all sides).

Munculnya majalah parlemen (yang kini dibikin dalam format digital) sesungguhnya untuk menjawab kebutuhan publik. Banyak warga datang ke gedung parlemen sekadar untuk mencari tahu apa saja yang dikerjakan wakil rakyatnya . Sementara media pers tidak terlalu tertarik dengan isu seputar parlemen. “Jadi ini (konten media digital) dibuat untuk menjawab kebutuhan publik. Kami menyediakan informasi seputar parlemen. Berharap informasi tersebut mampu meningkatkan kesadaran publik terhadap kinerja parlemen,” ujar Blackwood.

Media digital ini terbit secara berkala, empat kali setahun. Baik majalah maupun media digital tersebut bukan sebagai alat politik, juga bukan media tandingan atau mengatasi pemberitaan dari media arus utama (mainstream). Tetapi semata-mata untuk menginformasikan segala yang dikerjakan parlemen dan komite agar bisa diketahui dan dikoreksi. 

Vidi asal Indonesia duduk menatap gedung House Of Representatif Australia di pagi hari di awal Mei 2015. Foto oleh Dedy Hutajulu


Kemerdekaan Pers
Sementara untuk kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi di Australia, kata Blackwood, sudah sangat kuat.  Jurnalis memiliki akses luar biasa terhadap segala informasi. “Bahkan, Anda tau?” ujarnya, “Profesi ini amat dihargai di sini!”

Lebih jauh ia menjelaskan, sepanjang pemberitaan tidak mengolok-olok pihak tertentu, pers bebas berekspresi. Semua pihak di Australia menyadari peran media sangat strategis dalam menyebar-luaskan informasi, khususnya apa yang telah dikerjakan parlemen.

Parlemen sendiri memandang media pers sebagai lembaga yang berperan besar dalam mengawal jalannya demokrasi. Bahkan ada lembaga dewan persnya yang berperan mengawasi segala yang dikerjakan media pers, Juga ada lembaga komunikasi dan media yang tugasnya memastikan semua laporan yang diunggah ke website harus memenuhi standar jurnalistik. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Syawal Gultom: Unimed Bagi Negeri

Oleh Dedy Hutajulu   Berkarir tinggi sampai ke Jakarta, tak membuat Syawal Gultom melupakan Unimed. Ia pulang membawa pengetahuan baru, biarKampus Hijau bisa menjadi pandu bagi negeri. Syawal Gultom LELAKI itu bangkit dari kursi. Ia tinggalkan setumpuk pekerjaan hanya demi menyambutku. Ruangan kami bertemu hanya seluas lapangan volley. Diisi banyak buku. Di tengah ruangan, ada sebuah meja dengan sofa yang disusun melingkar.Sofa itu biasa dipakai untuk menjamu paratamu.Laki-laki yang dimaksud adalah Syawal Gultom. Rektor baru Unimed.  Periode sebelumnya Syawal mengabdikan diri sebagai Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya   Manusia Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMPMP) Kemendikbud, Jakarta. Di pundak Syawal saat itu dibebankan tanggung jawab berat. Ia harus menjamin desain besar mutu pendidikan di Indonesia. Seperti merpati yang ingat pulang, Syawalpun kembali ke Unimed. Mayoritas anggota Senat mendukung Syawal sebagai nahkoda Unimed. Sampai 2019 nanti, g...

Larut dalam Puisi

Tiada alasan untuk bodoh. Slogan "orang miskin dilarang sekolah" sudah saatnya dihela. Akses terhadap ilmu terbuka lebar. Siapa pun--khususnya orang kota, bisa cerdas dengan aneka bacaan. Banyak bacaan tersedia di toko buku. Hanya perlu kemauan untuk menyambanginya. KAlau terlalu sibuk dengan tugas kuliah atau pekerjaan, luangkanlah saat-saat akhir pekan. Seperti kebiasaanku dan adikku Ervan. Ervan menyempatkan melumat isi buku dengan matanya Satu-satunya cara yang kami gunakan untuk mengisi perayaan dirgahayu ke-68 RI adalah bersembunyi di balik-balik buku di Toko Buku Gramedia, jalan Gajah Mada, Medan. Setelah menerobos banyak kemacetan dari Pancing ke Gramed, akhirnya kami puaskan membaca sampai toko ini tutup.  bagiku sendiri, banyaknya bacaan di sini bikin kepala pusing memilih buku apa. Semuanya ada bagusnya. Tapi aku lebih tertarik membaca novel. sedang Ervan menyukai tokoh-tokoh selebritas Dunia. Diraihnyalah satu buku yang mengulas misteri kematian Michael Jac...

Selamatkan Lapangan Merdeka Medan

Lapangan Merdeka (Vukoraido) BERKACA dari keberhasilan penyelamatan Gedung Nasional Medan, kini para sejarawan, akademisi, mahasiswa, budayawan, pengamat budaya, dan dosen serta aktivis di Medan makin merapatkan barisan. Mereka sedang mengupayakan penyelamatan Lapangan Merdeka Medan dari usaha penghancuran pihak tertentu. Gerakan ini bermaksud mendorong pemerintah agar menyelamatkan Lapangan Merdeka yang kini telah kopak-kapik sehingga merusak makna sejarah yang ada tentang kota ini. Pembangunan skybridge (jembatan layang) sekaligus city cek in dan lahan parkir di sisi timur Lapangan Merdeka, menurut Hamdani Siregar, pengamat sejarah, itu adalah bagian dari upaya penghancuran sejarah. Apalagi, ketika pembangunan tersebut malah makin memunggungi satu monumen bersejarah di Medan, yakni monumen proklamasi kemerdekaan RI. “Ini momentum bagi kita untuk bangkit melawan. Bangkit menyelamatkan Lapangan Merdeka. Karena pembangunan di situ telah merusak sejarah bangsa i...