Langsung ke konten utama

Rapuhnya Persatuan Kita



Oleh : Dedy Hutajulu*

Belakangan ini saya lagi muak-muaknya  dengan cara kita menyikapi NII dan kawan-kawannya, terorisme itu. Baik sikap dari kalangan istana maupun sikap rakyat jelata, sikapnya hampir sama. Mereka seperti sependapat. Bersatu padu memandang alotnya perbincangan  seputar gerakan NII, terorisme, dan kekerasan sebagai masalah yang lahir akibat penyimpangan ajaran agama. Apakah itu benar?
Jika koran terus mewartakan berita itu, tentulah kita muak. Muak karena ternyata kasus-kasus ini masih saja disangkut-pautkan dengan agama yang tentu berpotensi besar menyulut sensivitas umat beragama. Apalagi, jika kita tidak menyadari sepenuhnya bahwa masalah ini harus dipandang sebagai masalah kebangsaan.
Andai saja kasus ini kita telisik dari kacamata keadilan sosial, tampak jelas bahwa saat ini kita ditempatkan pada dua kenyataan pahit: rapuhnya kesetiakawanan sosial dan hilangnya keteladanan dari para pemimpin. Dan kedua akar masalah tersebut saling mengikat. Terkait satu dengan yang lain. Saling mempengaruhi.
Kesetiakawanan sosial yang dulu digembar-gemborkan sebagai lem perekat persatuan bangsa, kini sulit sekali menemukannya kembali. Rapuhnya kesetiakawanan sosial lahir sebagai akibat dari sikap pemerintah yang selama menjabat kerap ingkar janji. Bahkan, beberapa pejabat dan elit politik malah menggunakan jabatannya sebagai alat membohongi masyarakat. Jabatan itu tak lagi sesuai fungsi.
Pelacuran jabatan.
Banyaknya kepala daerah yang tersandung kasus korupsi, elit politik yang sering membohongi rakyat, anggota dewan yang berperilaku buruk, dll adalah potret keserakahan pemimpin. Mereka yang tergiur pada kekuasaan dan yang tak mampu lepas dari cengkeraman kekuasan itu dengan mudahnya melacurkan wewenangnya. Semua pengabdian yang mulia itupun dinodai. Akibatnya, masyarakat semakin hari kehilangan arah. Tersesat seperti domba tanpa gembala.
Kita kehilangan sosok pemimpin yang menginspirasi. Pemimpin yang mampu menerjemahkan pancasila secara gamblang dan konkret dengan cara meneladankannya. Baik pemimpin yang datang dari kaum mayoritas maupun yang minoritas asal berjiwa nasionalis-pancasilais tentu suaranya bakal didengarkan. Sebab, kesaksian hidup yang utuh dari seorang pancasilais jauh lebih kuat daripada kata-kata. Dan setiap perkataannya tentulah pesan yang mengandung amanah bagi banyak orang.
Hidup pemimpin yang pancasilais seperti kitab terbuka. Setiap saat bisa dibaca dan ditafsir siapa saja. Dibolak-balik laiknya buku, maka yang kita temukan justru bab demi bab yang menceritakan laku dan pikirnya yang patut diteladani. Tentu, teladan itu berlaku bagi siapa saja.
Tapi, kini,  sulit rasanya menemukan sosok pemimpin yang pancasilais  yang duduk di pemerintahan saat ini. Idealisme mereka telah digusur oleh pragmatisme politik.padahal, bukankah manusia pancasilais yang kita butuhkan? Tak soal agamanya apa. Datang dari mana. Apa warna kulitnya. Apa bendera partainya. Apa potonya digadang-gadang saat kampanye?
Akh, yang penting, ia seorang negarawan yang pancasilais. Karena hilangnya keteladanan dari para pemimpin kita, itulah penyebab betapa rapuhnya persatuan Indonesia.
Cermin sudah di depan mata. Apa yang akan dilakukan pemimpin kita kini? Akankah  buruk rupa cermin dibelah? Kita tahu citra pemerintah kian hari bertambah buruk. Tapi, masyarakat juga masih memberi banyak kesempatan. Jadi, janganlah ketulusan dan kepolosan masyarakat itu dimanfaatkan untuk jalan kejahatan.
Rapuhnya persatuan kita harus dimaknai sebagai pertanda buruk bagi masa depan bangsa Indonesia. Jalan satu-satunya menyelamatkan masa depan itu adalah dengan menata masa kini lebih baik. Kemudian, menghadirkan pemimpin yang berintegritas sebagai pandu-pandu bangsa. Sosok manusia yang pancasilais, yang tidak sekadar pintar berwacana tapi yang konsisten berkarya. Berkarya dengan jalan ikut berkontribusi bagi bangsa. Kiprahnya dipersembahkan sepenuhnya bagi Indonesia, tanpa tedeng aling-aling. 

*Penulis bergiat di Perkamen

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Syawal Gultom: Unimed Bagi Negeri

Oleh Dedy Hutajulu   Berkarir tinggi sampai ke Jakarta, tak membuat Syawal Gultom melupakan Unimed. Ia pulang membawa pengetahuan baru, biarKampus Hijau bisa menjadi pandu bagi negeri. Syawal Gultom LELAKI itu bangkit dari kursi. Ia tinggalkan setumpuk pekerjaan hanya demi menyambutku. Ruangan kami bertemu hanya seluas lapangan volley. Diisi banyak buku. Di tengah ruangan, ada sebuah meja dengan sofa yang disusun melingkar.Sofa itu biasa dipakai untuk menjamu paratamu.Laki-laki yang dimaksud adalah Syawal Gultom. Rektor baru Unimed.  Periode sebelumnya Syawal mengabdikan diri sebagai Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya   Manusia Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMPMP) Kemendikbud, Jakarta. Di pundak Syawal saat itu dibebankan tanggung jawab berat. Ia harus menjamin desain besar mutu pendidikan di Indonesia. Seperti merpati yang ingat pulang, Syawalpun kembali ke Unimed. Mayoritas anggota Senat mendukung Syawal sebagai nahkoda Unimed. Sampai 2019 nanti, g...

Larut dalam Puisi

Tiada alasan untuk bodoh. Slogan "orang miskin dilarang sekolah" sudah saatnya dihela. Akses terhadap ilmu terbuka lebar. Siapa pun--khususnya orang kota, bisa cerdas dengan aneka bacaan. Banyak bacaan tersedia di toko buku. Hanya perlu kemauan untuk menyambanginya. KAlau terlalu sibuk dengan tugas kuliah atau pekerjaan, luangkanlah saat-saat akhir pekan. Seperti kebiasaanku dan adikku Ervan. Ervan menyempatkan melumat isi buku dengan matanya Satu-satunya cara yang kami gunakan untuk mengisi perayaan dirgahayu ke-68 RI adalah bersembunyi di balik-balik buku di Toko Buku Gramedia, jalan Gajah Mada, Medan. Setelah menerobos banyak kemacetan dari Pancing ke Gramed, akhirnya kami puaskan membaca sampai toko ini tutup.  bagiku sendiri, banyaknya bacaan di sini bikin kepala pusing memilih buku apa. Semuanya ada bagusnya. Tapi aku lebih tertarik membaca novel. sedang Ervan menyukai tokoh-tokoh selebritas Dunia. Diraihnyalah satu buku yang mengulas misteri kematian Michael Jac...

Selamatkan Lapangan Merdeka Medan

Lapangan Merdeka (Vukoraido) BERKACA dari keberhasilan penyelamatan Gedung Nasional Medan, kini para sejarawan, akademisi, mahasiswa, budayawan, pengamat budaya, dan dosen serta aktivis di Medan makin merapatkan barisan. Mereka sedang mengupayakan penyelamatan Lapangan Merdeka Medan dari usaha penghancuran pihak tertentu. Gerakan ini bermaksud mendorong pemerintah agar menyelamatkan Lapangan Merdeka yang kini telah kopak-kapik sehingga merusak makna sejarah yang ada tentang kota ini. Pembangunan skybridge (jembatan layang) sekaligus city cek in dan lahan parkir di sisi timur Lapangan Merdeka, menurut Hamdani Siregar, pengamat sejarah, itu adalah bagian dari upaya penghancuran sejarah. Apalagi, ketika pembangunan tersebut malah makin memunggungi satu monumen bersejarah di Medan, yakni monumen proklamasi kemerdekaan RI. “Ini momentum bagi kita untuk bangkit melawan. Bangkit menyelamatkan Lapangan Merdeka. Karena pembangunan di situ telah merusak sejarah bangsa i...