Langsung ke konten utama

Winda Tak Ingin Memulung Lagi


(Analisa/dedy hutajulu) Sisa Nasi Kotak: Winda Sri Ningsih Naibaho (9) merapikan kardus-kardus sisa nasi kotak di Lapangan Merdeka, Rabu (1/5). Botot itu akan dibawa pulang ke rumahnya, ke Mandala. Anak ini sudah memulung sejak kecil demi membantu kebutuhan keluarganya.



Oleh: Dedy Hutajulu
Memulung, sudah rutinitas harian Winda Sri Ningsih Naibaho (9). Tiap pulang sekolah, putri kedua pasangan B Naibaho dan W Limbong ini memulung kertas-kertas dan plastik-plastik sebanyak-banyaknya untuk dibawa pulang ke rumah, di Jalan Kutilang, Mandala.

Rabu (1/5), Winda ditemui sedang menyortir kertas-kertas hasil pulungannya di pojok Lapangan Merdeka. Kertas-kertas dan kardus-kardus itu tiga karung besar. Winda gembira bisa mengumpulkan botot sebanyak itu.

Di tengah kegembiraan itu sesungguhnya keterpaksaan tersirat dari wajah Winda. Itu terlihat ketika dipoto, Winda malu-malu dan berupaya menghindar. Telisik punya telisik, ternyata ia memulung karena keadaan ekonomi yang memaksa.

Ia tak tega hati melihat mamanya banting tulang tiap hari memulung. Ayahnya cuma buruh di perkebunan sawit di Pekanbaru. Kiriman dari ayah tak mencukupi untuk keperluan sehari-hari. Tiga adiknya masih kecil-kecil. Bungsu masih 2,5 tahun. Karena itu, ia memilih ikut mamanya memulung.

“Kalau sudah kelas enam,” ujarnya, “aku tak mulung lagi.” Ia tak menjawab kenapa tak memulung lagi nanti.
Lantas apa cita-citamu? “Kata mama, aku harus jadi dokter. Tapi bapak ingin aku jadi polisi.” jawabnya.

Lalu dilanjutkannya, “Aku sendiri belum tahu mau jadi apa. Nggak ngerti”
Ketidaktahuan Winda pada cita-cita, lantaran pendidikan yang didapatnya di sekolah tidak mampu menolongnya untuk melihat dunia secara jernih dan terang. Sekolah gagal menanamkan harapan pada benaknya.

Di sekolah, Winda mengaku tak dapat juara. Pengetahuannya juga pas-pasan. Itu bisa dimaklumi mengingat aktivitasnya yang lebih banyak berjibaku dengan sampah-sampah dan nyaris tak punya waktu luang untuk belajar di rumah, sedang teman-teman seusianya asyik mengikui les ini itu.

Belum lagi, dari tubuhnya yang terlihat kurus-ceking tentu Winda kekurangan pasokan gizi cukup. Itu terjadi sebagai efek ekonomi yang tak berpihak pada keluarganya.

Senasib dengan dia, Monalisa (11). Teman satu sekolahnya. Mona jauh lebih kurus dari Winda. Kulitnya hitam bukti kerja kerasnya memulung diterpa terik matahari. Siswa kelas 5 SD ini juga tak berniat jadi pemulung. Keadaanlah yang memaksa.

Mona juga ikut mamanya tiap hari memulung di rel kereta api. Winda dan Mona bergaul karib bagai saudara kandung. Di jalanan mereka saling bantu tapi berkompetisi dalam tumpukan sampah.

Berhasil mengumpulkan banyak botot adalah kebahagiaan tak terperi bagi mereka. Makin banyak botot, makin lebar senyum keduanya. Hari-hari mereka jauh dari kesempatan bercengkerama dengan rekan seusianya. Tidak ada waktu untuk bermain.

Sedang rekan seusianya asyik masyuk dengan tablet dan ipod, dengan game dan tidur sore, dengan jalan-jalan dan makan-makan. Di sinilah hidup terasa tak adil.

Selain botot, rupanya kedua anak ini juga mengumpulkan makanan sisa bahkan kulit pisang. Ini untuk apa? “Makanan ternak, Bang” sahut Winda.

Rupanya, Winda dan Mona juga punya kewajiban mencari makanan buat ternak-ternak mereka. Nasi sisa ini nanti menjadi santapan enak untuk ternaknya.

Lokasi Mandala sejauh ini memang masih sentral pemeliharaan ternak berkaki empat. Masih banyak warga setempat yang bergantung hidup pada ternak.

Winda dan Mona baru segelintir. Masih banyak remaja lain yang hidup dari memulung sampah dan nasi sisa. Karena desakan ekonomi mereka terpaksa kehilangan jam-jam belajar, jam-jam tidur siang, serta waktu bermain. Dalam kondisi sepert ini, tak ada yang bisa menggaransi masa depan mereka lebih baik. Ini yang patut kita cemasi.

Mereka itu tunas-tunas bangsa. Jika tak diselamatkan, kehidupan mereka bisa-bisa akan selamanya di jalanan. Orangtuanya tak berdaya mengubah keadaan. Jalan keluarnya, pemerintah harus bergerak cepat mengintervensi kehidupan mereka.

Dan kita, yang berbelas kasih, silakan ulurkan tangan. Jika mampu urun dana, ya berilah dana. Jika tenaga atau ide silakan sumbang ide. Yang penting ada partisipasi. Sehingga puluhan bahkan ratusan “Mona dan Winda” lain terbebaskan dari jerat kepemulungan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Syawal Gultom: Unimed Bagi Negeri

Oleh Dedy Hutajulu   Berkarir tinggi sampai ke Jakarta, tak membuat Syawal Gultom melupakan Unimed. Ia pulang membawa pengetahuan baru, biarKampus Hijau bisa menjadi pandu bagi negeri. Syawal Gultom LELAKI itu bangkit dari kursi. Ia tinggalkan setumpuk pekerjaan hanya demi menyambutku. Ruangan kami bertemu hanya seluas lapangan volley. Diisi banyak buku. Di tengah ruangan, ada sebuah meja dengan sofa yang disusun melingkar.Sofa itu biasa dipakai untuk menjamu paratamu.Laki-laki yang dimaksud adalah Syawal Gultom. Rektor baru Unimed.  Periode sebelumnya Syawal mengabdikan diri sebagai Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya   Manusia Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMPMP) Kemendikbud, Jakarta. Di pundak Syawal saat itu dibebankan tanggung jawab berat. Ia harus menjamin desain besar mutu pendidikan di Indonesia. Seperti merpati yang ingat pulang, Syawalpun kembali ke Unimed. Mayoritas anggota Senat mendukung Syawal sebagai nahkoda Unimed. Sampai 2019 nanti, g...

Larut dalam Puisi

Tiada alasan untuk bodoh. Slogan "orang miskin dilarang sekolah" sudah saatnya dihela. Akses terhadap ilmu terbuka lebar. Siapa pun--khususnya orang kota, bisa cerdas dengan aneka bacaan. Banyak bacaan tersedia di toko buku. Hanya perlu kemauan untuk menyambanginya. KAlau terlalu sibuk dengan tugas kuliah atau pekerjaan, luangkanlah saat-saat akhir pekan. Seperti kebiasaanku dan adikku Ervan. Ervan menyempatkan melumat isi buku dengan matanya Satu-satunya cara yang kami gunakan untuk mengisi perayaan dirgahayu ke-68 RI adalah bersembunyi di balik-balik buku di Toko Buku Gramedia, jalan Gajah Mada, Medan. Setelah menerobos banyak kemacetan dari Pancing ke Gramed, akhirnya kami puaskan membaca sampai toko ini tutup.  bagiku sendiri, banyaknya bacaan di sini bikin kepala pusing memilih buku apa. Semuanya ada bagusnya. Tapi aku lebih tertarik membaca novel. sedang Ervan menyukai tokoh-tokoh selebritas Dunia. Diraihnyalah satu buku yang mengulas misteri kematian Michael Jac...

Selamatkan Lapangan Merdeka Medan

Lapangan Merdeka (Vukoraido) BERKACA dari keberhasilan penyelamatan Gedung Nasional Medan, kini para sejarawan, akademisi, mahasiswa, budayawan, pengamat budaya, dan dosen serta aktivis di Medan makin merapatkan barisan. Mereka sedang mengupayakan penyelamatan Lapangan Merdeka Medan dari usaha penghancuran pihak tertentu. Gerakan ini bermaksud mendorong pemerintah agar menyelamatkan Lapangan Merdeka yang kini telah kopak-kapik sehingga merusak makna sejarah yang ada tentang kota ini. Pembangunan skybridge (jembatan layang) sekaligus city cek in dan lahan parkir di sisi timur Lapangan Merdeka, menurut Hamdani Siregar, pengamat sejarah, itu adalah bagian dari upaya penghancuran sejarah. Apalagi, ketika pembangunan tersebut malah makin memunggungi satu monumen bersejarah di Medan, yakni monumen proklamasi kemerdekaan RI. “Ini momentum bagi kita untuk bangkit melawan. Bangkit menyelamatkan Lapangan Merdeka. Karena pembangunan di situ telah merusak sejarah bangsa i...