Empat abad terlelap, suatu malam, yang panjang, di November 2013, Sinabung tiba-tiba siuman. Sekali-kali ia terbatuk-batuk. Melontarkan dahak berupa lahar bara disertai selimut awan panas yang memukul-mukul langit. Puluhan desa porak-poranda. Ladang sayur lantak oleh debu hingga tampak seperti gurun pasir. Dedaunan tanaman lesu dan mati kering terpanggang awan panas. Tak pelak, sekitar 32.351 jiwa dari 15 desa yang ada di kaki Sinabung terpaksa mengungsi. Puluhan sekolah ditutup. Salah satunya, SMA Negeri 1 Simpangempat, Sibintun yang berada di 4,5 Km, harus diungsikan ke sekolah lain, demi keselamatan anak. Dampak erupsi Sinabung menghebohkan warga di sejumlah perkampungan yang tinggal di kaki gunung tersebut. Orangtua tunggang langgang mengangkuti tilam, tikar, perkakas dibungkus lampin menuju pengungsian. Mamak-mamak sambil menggedong bayinya terbirit seperti kaki seribu. Para peladang gegas meninggalkan ladangnya. Dan ternak pun terlantar di kandang. Semua gegas leka
Merawat bangsa lewat Ide, Gagasan, Dan Kreativitas. Seberkas sinar di ujung lorong gelap mejadi asa di tengah bangsa yang rapuh nan kelam ini!