Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2011

Lagi-lagi Profesor Plagiat

Oleh: Dedy Hutajulu Plagiarisme kembali mengangkangi dunia akademik kita. Dunia tempat dimana harapan akan kejujuran bisa disemai dengan baik. Setelah berulang kali jatuh bangun, kini kembali ternoda. Satu lagi kasus yang menyentak jiwa perguruan tinggi kita itu datang dari Riau. Seorang Guru Besar Universitas Riau, Profesor II terbukti memplagiasi buku Budaya bahari karya Mayor Jenderal (Marinir) Joko Pramono, terbitan Gramedia tahun 2005 dengan bukunya, Sejarah Maritim, (kompas, 24/8). Maka, kasus ini menambah bopeng di wajah pendidikan kita Padahal, dikabarkan bahwa Profesor II termasuk dalam bilangan penulis produktif karena ia telah menorehkan namanya dalam rekor MURI sebagai penulis yang mampu melahirkan 66 buku dalam waktu 5 tahun. Dan buku Sejarah Maritim termasuk dalam ke-66 buku yang mendapat penghargaan itu. Prestasi yang luar biasa itu kini dirusak oleh plagiarisme. Memalukan, bukan? Plagiarisme sungguh tak mudah dihindarkan. Kita perlu berkaca pada pengalaman masa la

Mewaspadai Kepungan Iklan Rokok

Pemeo: Sebagus apapun pesan yang disampaikan, lihat dulu siapa yang menyampaikan pesan itu. Pendapat ini rasa-rasanya penting dijadikan pisau bedah untuk mencermati pesan-pesan iklan yang berkembang belakangan ini, khususnya iklan rokok. Kalau Anda rajin menonton TV, anda pasti tidak asing lagi dengan iklan yang satu ini. Iklan yang disponsori oleh perusahaan rokok X. Iklan itu bertutur tentang bahaya korupsi dan betapa korupsi sudah mengepung kita. Saking bahayanya, sampai-sampai otak mahluk yang bernama jin pun sudah terkorupsi. Padahal, konon, jin kerap diilustrasikan sebagai sosok yang menyeramkan dan menakutkan, bukan yang suka sogok-menyogok. Sekarang kok berbeda? Itu sebabnya iklan ini saya sebut sangat menarik. Iklan itu benar-benar bagus luar-dalam, baik segi tampilan maupun isi. Namun, biarpun bagus, iklan itu sebenarnya sedang berusaha menggusur nilai kepekaan generasi muda saat ini. Coba simak dengan jeli iklan tersebut. Begini. Jin, "Kuberi satu permintaan. Monggo

Membuat Kerangka Tulisan

Amat perlu kita tahu bagaimana membuat kerangka tulisan untuk menolong kita membatasi apa yang hendak ditulis. Outline memudahkan kita untuk menentukan maksud dan arah tulisan. Dengan adanya kerangka, kita jadi mudah mengontrol alur berpikir tulisan kita seperti maksud tulisan yang kita harapkan sejak awal. Bahkan, kita juga akan terlatih membuat efektivitas kalimat. Membuat kerangka tulisan sama artinya dengan menentukan apa saja topik yang akan kita bahas. Jadi semacam tahapan pembahasan. Harapannya, orang yang baca jadi mudah paham dengan apa yang kita maksud dalam tulisan kita buat. Jelas alurnya. Perlu diketahui bahwa setiap tulisan lahir dari sebuah ide utama yang kemudian dikembangkan menjadi ide-ide kecil yang disebut dengan pokok-pokok pikiran. Artinya, setiap tulisan laiknya mengandung satu maksud utama. Kalaupun ada ide-ide lain, ide-ide tersebut hanyalah ide penunjang bagi ide utama agar kuat kuasa tulisan semakin tertancam dalam-dalam dibenak pembaca. Jadi, dari satu

Hazare, Nazar, dan Korupsi

Oleh: Dedy Hutajulu Aktivis antikorupsi India, Anna Hazare membalas sambutan pendukungnya di Ram Lila Grounds, New Delhi, jumat (19/8) sambil meneriakkan, “Kemenangan bagi India”. Seruan lantang itu, memicu semangat perjuangan bagi ribuan pendukung sekaligus mengobarkan kebencian yang tak terkatakan terhadap korupsi. Bisa dimaklumi, betapa tekad Hazare kian bulat untuk melanjutkan aksi mogok makannya sebagai bentuk protes terhadap pemerintah yang setengah hati memberantas korupsi dengan sikap yang ditunjukkan pemerintah: mentalitas mencle-mencle. Teriakan Hazare bagi sekitar 2.600 pendukung setianya yang sedari awal harap-harap cemas menantinya keluar dari pintu penjara menandaskan bahwa rakyat harus berontak. Tidak cukup dengan menumpuk rasa muak yang menggunung di hati, tetapi perlu dengan mendesak pemerintah agar bertindak tegas dan lugas terhadap praktek-praktek korupsi. Dengan harapan, desakan itu akan membuka kelopak mata pemerintah untuk melihat penderitaan yang berlipat a

Kelas Gado-Gado

Oleh: Dedy Hutajulu Trenyuh hati saya mendengar kabar bahwa sebagian besar guru di zaman ini telah menakar nilai sebagai pendidik dengan uang dan kemutakhiran fasilitas. Fakta bahwa banyak sekali guru yang tak sudi mengajar bila digaji rendah tak terbantahkan. Dan tak sedikit yang merasa bahwa mendidik siswa miskin sebagai sebuah aniaya. Sebuah aib. Bagaimana ini? Belum lagi menyandingkan berita di atas dengan fakta terkait pengangkatan guru-guru di daerah yang tak terkontrol, yang berakibat persoalan guru secara nasional semakin runyam, mulai jumlah guru, ketidaksesuaian latar belakang pendidikan guru dengan mata pelajaran yang diampunya hingga distribusi guru. Tak tanggung-tanggung, sebanyak 873.650 guru SD hingga SMA/SMK “berani benar” mengajar mata pelajaran yang tak sesuai dengan latar belakang ilmu atau ijazahnya (mismatch). Data kemendiknas menunjukkan ketidaksesuaian ilmu guru dengan pelajaran yang diampunya pada jenjang SMA sekitar 49,24 persen dari total 252.947 guru,

Polri Mesti Berbenah Diri

Oleh: Dedy Hutajulu Patut dicermati baik-baik hasil penelitian LSM Imparsial yang melansir analisis ketidakpuasan publik terhadap kinerja kepolisian RI. Survey ini mengambil sampel 500 responden masyarakat DKI Jakarta yang diambil secara acak. Pencarian data dilakukan hampir satu bulan (sejak 17 Juni hingga 4 Juli 2011). Tak tanggung-tanggung, dari hasil survey diperoleh 61,2 persen publik tidak puas dengan kinerja kepolisian. Sebanyak 33,4 persen diantaranya menyatakan puas, dan 5,4 persen lainnya mengaku tidak tahu. Dari sejumlah pencapaian polisi, publik menilai pencapaian paling memuaskan ialah penanganan terorisme, yaitu sebanyak 67,09 persen. Tetapi 78,4 persen menyatakan tidak puas dengan penanganan korupsi yang dilakukan oleh polisi. Penanganan persoalan lain seperti korupsi, premanisme, penegakan hukum dan hak asasi manusia, narkoba, lalu lintas, serta pencurian kendaraan bermotor mayoritas menyatakan ketidakpuasannya (kompas, 19/7). Dengan kata lain, pencapaian pol

P-A-R-B-A-D-A

Oleh : Dedy Hutajulu Dalam bahasa Batak, disebut Parbada bila seseorang itu amat cerewet, pemurka, dan suka bertengkar dengan kadar kecerewetan dan pertengkarannya di luar batas, sampai-sampai hanya gara-gara hal kecil nan sepele meledak perang mulut yang disulut dendam kesumat. Dan tak jarang pertengkaran itu biasanya dilandasi motivasi-motivasi tidak benar seperti perebutan kekuasaan. Ironisnya, pertengkaran itu justru harus mengorbankan kesenangan orang banyak dan kerap menyita waktu, pikiran, perhatian, dan mengusik nurani orang-orang tak dekat. Sedang orang-orang yang berdiri diluar garis pada awalnya sesungguhnya tidak ada niat sama sekali untuk mencampuri yang bukan urusannya. Namun siapa tak akan bergeming bila nuraninya sudah terusik? Kicauan M. Nazar memang tak berarti apa apa bila kita tak menceburkan diri pada berita politik. Toh, ada segudang pekerjaan lain yang bisa mengalihkan perhatian. Misalnya, rutinitas harian, urusan rumah tangga, masalah kantor, tugas-t