Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2013

Larut dalam Puisi

Tiada alasan untuk bodoh. Slogan "orang miskin dilarang sekolah" sudah saatnya dihela. Akses terhadap ilmu terbuka lebar. Siapa pun--khususnya orang kota, bisa cerdas dengan aneka bacaan. Banyak bacaan tersedia di toko buku. Hanya perlu kemauan untuk menyambanginya. KAlau terlalu sibuk dengan tugas kuliah atau pekerjaan, luangkanlah saat-saat akhir pekan. Seperti kebiasaanku dan adikku Ervan. Ervan menyempatkan melumat isi buku dengan matanya Satu-satunya cara yang kami gunakan untuk mengisi perayaan dirgahayu ke-68 RI adalah bersembunyi di balik-balik buku di Toko Buku Gramedia, jalan Gajah Mada, Medan. Setelah menerobos banyak kemacetan dari Pancing ke Gramed, akhirnya kami puaskan membaca sampai toko ini tutup.  bagiku sendiri, banyaknya bacaan di sini bikin kepala pusing memilih buku apa. Semuanya ada bagusnya. Tapi aku lebih tertarik membaca novel. sedang Ervan menyukai tokoh-tokoh selebritas Dunia. Diraihnyalah satu buku yang mengulas misteri kematian Michael Jac

Mama, Aku dan Elisabeth

Saat aku masih pulas tidur mama sudah mencangkul di sawah. Aku buka mata pukul 8 pagi. Mama sudah keringatan dan kelelahan usai meratakan tanah. Ia duduk sambil menyulut rokoknya.. Sesekali diperhatikannya bebek-bebeknya yang asyik berenang. Aki mengobrol lagi, dan kuambil lagi potonya. mama mencangkul sawah terus mencangkul Same (benih dari yg baru nampak berupa kecambah) mama menduduki batang cangkul sebagai alas bebek-bebek mama sawah mama di antara batang bambu busuk Sebelumnya, kau liputan 8 hari tentang kehidupan kelompok masyarakat penghayat kepercayaan Parmalim di desa Batunagodang Siatas. Onan Ganjang, Humbahas. Sebelum balik ke Medan, aku singgah ke rumah. Walau cuma semalam. Aku sempatkan menemui mamaku. Mama terbaik sedunia. Sambil ngobrol, malam itu diam-diam kupasang kamera henponku untuk menangkap wajah ibuku. Untuk kuabadikan. Ia tak tahu kalau aku terus mengobrol supaya bisa mencuri perhatiannya sehingga saat dia memandang ke ar

Kalang Baru dan Kenangan di Bondar

aku cuma cuci muka di air bondar Kesal. Kesal banget terus dikibuli si Rindu Capah. Dia ajak kami , katanya cebur ke sungai. Aku sudah senang. Buru-buru keluar dari rumahnya. Berlari sambil bawa kamera dan sabun dan odol.  Aku berharap pagi ini dapat suasana sungai yang indah di Kalang Baru, Sidikalang. Poto unutk oleh-oleh ke Medan. Kami bertiga berjalan menyusuri kebun kopi. Masuk lewat jalan-jalan tikus. Melewati rerimbunan bambu. Turun ke bawah dengan tangga-tanggah tanah yang dibentuk sedemikian rupa supaya serupa tangga. Cukup curam turunan itu. Di bawah tampak aliran sungai melintasi selokan-selokan yang berdempetan dengan sawah.  Banyak remaja dan gadis-gadis di bawah sedang mencuci dan mandi. Kami harus teriak "Lewat..atau Boa" baru mereka menyahut dan kami bis alewat. Begitu tiba di bawah, kukira kami akan berjalan masih jauh lagi menuju sungai yang dibilang Rindu. Tahu-tahunya, sungai yang di maksud adalah selokan ini. Gondok benar hatiku. "I
MAMA mamaku saat istirahat di sawah kami, di Balige, Agustus 2013 lalu Ia tangguh. Lebih dari itu bahkan. Perkasa mungkin lebi tepath. Baginya, tidak ada kata menyerah selama energi masih melekat di dalam otot. Seberat apa pun pekerjaan akan dilakoninya. Semata-mata demi anak-anaknya. Walau umurnya kini menjelang 60. Baru-baru ini  entah kenapa tangan kanannya tak (lagi) bisa digerakkan naik. Dari lengan hingga bahu serasa ada kabel syarafnya yang tidak berfungsi baik. Kalau diurut rasa sakit menjalari sampai ke pangkal leher, bahkan otak belakang. Kendati begtiu, ia tetap saja turun ke sawah. Mencangkul. Sembari mengangon bebek. Hari-harinya kini lebih banyak di sis ke sawah-ladang dan ke pesta. Rumah sudah sepi walau ia punya anak sepuluh. Sembilan pergi merantau. Tinggal si bungsu, Winda--dan suami terncinta-yang menemaninya. Kadang, ladang dan sawah tak lagi bisa digarap semua. Tenaganya telah berkurang. Merosot drastis seiring usia. Ke pesta juga tidak lagi sekuat du

LAE PARIRA BERKISAH

AKU semangat sekali saat akan berangkat ke Sidikalang, Jumat (23/4) kemaren. Karena, esoknya, akan bertemu dengan para siswa SMA N 1 Lae Parira, untuk berbagi cerita. Materiku sudah kusiapkan, berupa poto-poto dan teks pendukung. Tinggal merampungkan sedikit lagi dan menyusunnya jadi slide. Kerangkanya sudah lama kurancang. Bahkan perlengkapan selama di sana juga sudah kuatur rapi di dalam ranselku. Sepotong kemeja dan celana keper, oblong, dan kaos kaki. Jaket, buku, pulpen, charger henpon dan kamera. Tak ketinggalan, buku catatan harianku. Namun semangat itu tiba-tiba surut akibat selembar amplop yang diberikan Yogi, sejawatku, ketika aku singgah ke meja kerjaku di ruang redaksi kantorku. Isi amplop yang bikin semangatku merosot itu adalah surat penugasan peliputan dari redakturku ke hotel Santika Dyandra selama dua hari, Jumat dan Sabtu. Sialnya, tugas liputan itu bertabrakan dengan jadwal keberangkatanku ke Lae Parira. Aku dilema. Jika aku pergi malam itu, t