MAMA
Ia tangguh. Lebih dari itu bahkan. Perkasa mungkin lebi tepath. Baginya, tidak ada kata menyerah selama energi masih melekat di dalam otot. Seberat apa pun pekerjaan akan dilakoninya. Semata-mata demi anak-anaknya.
Walau umurnya kini menjelang 60. Baru-baru ini entah kenapa tangan kanannya tak (lagi) bisa digerakkan naik. Dari lengan hingga bahu serasa ada kabel syarafnya yang tidak berfungsi baik. Kalau diurut rasa sakit menjalari sampai ke pangkal leher, bahkan otak belakang.
Kendati begtiu, ia tetap saja turun ke sawah. Mencangkul. Sembari mengangon bebek. Hari-harinya kini lebih banyak di sis ke sawah-ladang dan ke pesta. Rumah sudah sepi walau ia punya anak sepuluh. Sembilan pergi merantau. Tinggal si bungsu, Winda--dan suami terncinta-yang menemaninya.
Kadang, ladang dan sawah tak lagi bisa digarap semua. Tenaganya telah berkurang. Merosot drastis seiring usia. Ke pesta juga tidak lagi sekuat dulu yang bisa membawa sekarung kacang rebus dan tangannya menenteng keranang telor plus kecap dan garam. Ia ke pesta bukan untuk berpesta ria. Tapi jualan. Juaan kacang (tanah) rebus, kacang saok, telor bebek rebus, dan aqua-aqua botol.
Ribuan kilo dijalaninya setapak-demi setapak. Puluhan desa disambanginya demi rupiah-rupiah yang akan dibawanya pulang. Untuk saya, untuk kami anak-anaknya. Berjualan kacang, telor dan aqua baru tiga empat tahun ini dikerjakannya.
Dulu, ia masih mau turun ke danau. Menjala ikan. Manggiling dohot mardoton bahasa Tobanya, Naik sampan, memukul air, menebar jala dan memeriksa jaring-jaring. Kadang sehariaa di air tanpa makan siang, berendam di air demi menjala ikan.
Hasilnya kadang tidak sepadan dengan lelah yang luar biasa. Tak heran jika itu tubuh kini menua dan energi telah susut. Aku, yang tahu hidupnya, belum juga sesempurna yang bisa kuketahui. Banyak cerita hidupnya yang belum kupahami.
Ia terkenal atau dikenal orang bukan lagi sebagai wanita biasa. Tapi karena ejekan. "O..partolor! Parkancang?" Hanya karena dia jualan telor atau kacang. Orang suka saja menyebutnya sembarangan. Tapi ia tak hirau. "Asal jangan negatiflah," sahut mama.
Bahkan, pernah dipanggil pardinas (seragam) na rata karena acapkali mama pergi ke onan (pasar) pakai kemeja warna hijau (rata-bahasa batak Toba).
Ke onan, mama kaki ayam. Tak berselop. Selop Partakusnya bisa utuh walau sudah lebh sepuluh tahun. Selop itu jarang dipakainya kecuali ada hajatan besar. Selop dengan alas kayu, mirip Carvil tahun 90-an. Itu pn masih utuh sampai hari ini.
Ia paling alergi dipoto.
Aku salut pada mama. Ia ibu terbaik sedunia. Dua tiga tahun ini, perenunganku pada kehebatannya makin dalam. Betapa tidak, aku yang kini masih muda, 26 tahun kadang mengeluh melenguh hanya karena tak mampu menulis satu laporan berita.
Tapi mama, mengahadapi sepuluh anak, sepuluh karakter, sepuluh keinginan, bahkan lebih, ia tak pernah mengeluh. Ia lembut selembut selimut. Kadang-kadang aku heran, entah dari amna saja ia bisa mendapatkan uang untuk menyekolahkan kami. Dan bagaimana pula ia punya pengertian yang dalam mendidik kami, sedang ia cuma bersekolah smapai kelas dua sd.
Sikapnya tegas. Paling benci jika dibohongi. Pada satu ketika, ia pernah menelanjangi kami anak laki-lakinya smeua jika ada kehilangan uang di rumah. Kami semua akan dicambuk jika tidak ada yang mengaku. Baginya, kebohongan adalah aib. Memalukan. Dan tak boleh kebohongan hadir di rumah kami.
Pada mama aku belajar jujur. Belajar tangguh dan kerja keras. Dari dia aku mencipta kebiasaan bekerja nunut (telaten). Tidak boleh gegabah dan mesti cekatan. Dari dia pula, aku belajar skeptis dan harus mandiri. "Tidak perlu jaga imej, sepanjang yang kita kerjakan itu benar. Jadi orang harus berani, jangan cengeng" nasihatnya padaku sebelum aku merantau (kuliah) ke Medan pada 2005 lalu.
Aku pernah patentengan ke dia. Kutunjukkan raporku yang juara satu saat Sd dan SMP. Mama cuma bilang, jika dulu aku sekolah pasti jauh lebih pintar dari kalian. Aku tertohok. Benar saja, cuma belajar sampai kelas dua, mama cepat berhitung. Tulisannya tegak dan rapi. Pikirannya jernih. Ketegasannya tak bisa digoyahkan.
Aku senang, belakangan ini bisa mengenang rupa-rupa kebijaksanaannya di masa lewat, yang menataku hari ini. Kearifannya, kecelikannnya, kejujurannya, keberaniannya, dan ketangguhannya mengahdapi hidup menegurku untuk tak boleh mengalah pada keadaan. kerendahan hati mama juga saat bertemu siapa saja, mengingatkanku untuk hidup selalu rendah hati.
Seluruh pelajaran kehidupan dari mama jadi teladan praktik hidup yang baik bagiku. Itu semacam video berputar di kepalaku. Yang hadir di kala akau menghadapi banyak kebuntuan, pergumulan, kekecewaan dan kegundahan. Pada masa gembira, kau juga teringat mama, agar tahu bersyukur.
Ya, Allahku, yang menitipkanku pada seorang ibu. Mahabesar Engkau. Tiada ibu terhebat dimataku, selain dia. Mamaku tersayang. Dari dia aku bisa mengenal kasih-Mu dan keilahian-Mu. Jauh, lebih jauh dari yang diajarkan guru agamaku. Dalam, dan sangat dalam, lebh dalam dari siapapun yang menasihatkan aku tentang kebesaran-Mu. Karena itu, Ya, Allah, limpahkanlah cinta-Mu hari lepas hari untuk mamaku.
O Ibu, terimakasih untuk cinta dan pembentukanmu padaku. Teladanmu seumpama mercu suar di jalanku.
mamaku saat istirahat di sawah kami, di Balige, Agustus 2013 lalu |
Ia tangguh. Lebih dari itu bahkan. Perkasa mungkin lebi tepath. Baginya, tidak ada kata menyerah selama energi masih melekat di dalam otot. Seberat apa pun pekerjaan akan dilakoninya. Semata-mata demi anak-anaknya.
Walau umurnya kini menjelang 60. Baru-baru ini entah kenapa tangan kanannya tak (lagi) bisa digerakkan naik. Dari lengan hingga bahu serasa ada kabel syarafnya yang tidak berfungsi baik. Kalau diurut rasa sakit menjalari sampai ke pangkal leher, bahkan otak belakang.
Kendati begtiu, ia tetap saja turun ke sawah. Mencangkul. Sembari mengangon bebek. Hari-harinya kini lebih banyak di sis ke sawah-ladang dan ke pesta. Rumah sudah sepi walau ia punya anak sepuluh. Sembilan pergi merantau. Tinggal si bungsu, Winda--dan suami terncinta-yang menemaninya.
Kadang, ladang dan sawah tak lagi bisa digarap semua. Tenaganya telah berkurang. Merosot drastis seiring usia. Ke pesta juga tidak lagi sekuat dulu yang bisa membawa sekarung kacang rebus dan tangannya menenteng keranang telor plus kecap dan garam. Ia ke pesta bukan untuk berpesta ria. Tapi jualan. Juaan kacang (tanah) rebus, kacang saok, telor bebek rebus, dan aqua-aqua botol.
Ribuan kilo dijalaninya setapak-demi setapak. Puluhan desa disambanginya demi rupiah-rupiah yang akan dibawanya pulang. Untuk saya, untuk kami anak-anaknya. Berjualan kacang, telor dan aqua baru tiga empat tahun ini dikerjakannya.
Dulu, ia masih mau turun ke danau. Menjala ikan. Manggiling dohot mardoton bahasa Tobanya, Naik sampan, memukul air, menebar jala dan memeriksa jaring-jaring. Kadang sehariaa di air tanpa makan siang, berendam di air demi menjala ikan.
Hasilnya kadang tidak sepadan dengan lelah yang luar biasa. Tak heran jika itu tubuh kini menua dan energi telah susut. Aku, yang tahu hidupnya, belum juga sesempurna yang bisa kuketahui. Banyak cerita hidupnya yang belum kupahami.
Ia terkenal atau dikenal orang bukan lagi sebagai wanita biasa. Tapi karena ejekan. "O..partolor! Parkancang?" Hanya karena dia jualan telor atau kacang. Orang suka saja menyebutnya sembarangan. Tapi ia tak hirau. "Asal jangan negatiflah," sahut mama.
Bahkan, pernah dipanggil pardinas (seragam) na rata karena acapkali mama pergi ke onan (pasar) pakai kemeja warna hijau (rata-bahasa batak Toba).
Ke onan, mama kaki ayam. Tak berselop. Selop Partakusnya bisa utuh walau sudah lebh sepuluh tahun. Selop itu jarang dipakainya kecuali ada hajatan besar. Selop dengan alas kayu, mirip Carvil tahun 90-an. Itu pn masih utuh sampai hari ini.
Ia paling alergi dipoto.
Aku salut pada mama. Ia ibu terbaik sedunia. Dua tiga tahun ini, perenunganku pada kehebatannya makin dalam. Betapa tidak, aku yang kini masih muda, 26 tahun kadang mengeluh melenguh hanya karena tak mampu menulis satu laporan berita.
Tapi mama, mengahadapi sepuluh anak, sepuluh karakter, sepuluh keinginan, bahkan lebih, ia tak pernah mengeluh. Ia lembut selembut selimut. Kadang-kadang aku heran, entah dari amna saja ia bisa mendapatkan uang untuk menyekolahkan kami. Dan bagaimana pula ia punya pengertian yang dalam mendidik kami, sedang ia cuma bersekolah smapai kelas dua sd.
Sikapnya tegas. Paling benci jika dibohongi. Pada satu ketika, ia pernah menelanjangi kami anak laki-lakinya smeua jika ada kehilangan uang di rumah. Kami semua akan dicambuk jika tidak ada yang mengaku. Baginya, kebohongan adalah aib. Memalukan. Dan tak boleh kebohongan hadir di rumah kami.
Pada mama aku belajar jujur. Belajar tangguh dan kerja keras. Dari dia aku mencipta kebiasaan bekerja nunut (telaten). Tidak boleh gegabah dan mesti cekatan. Dari dia pula, aku belajar skeptis dan harus mandiri. "Tidak perlu jaga imej, sepanjang yang kita kerjakan itu benar. Jadi orang harus berani, jangan cengeng" nasihatnya padaku sebelum aku merantau (kuliah) ke Medan pada 2005 lalu.
Aku pernah patentengan ke dia. Kutunjukkan raporku yang juara satu saat Sd dan SMP. Mama cuma bilang, jika dulu aku sekolah pasti jauh lebih pintar dari kalian. Aku tertohok. Benar saja, cuma belajar sampai kelas dua, mama cepat berhitung. Tulisannya tegak dan rapi. Pikirannya jernih. Ketegasannya tak bisa digoyahkan.
Aku senang, belakangan ini bisa mengenang rupa-rupa kebijaksanaannya di masa lewat, yang menataku hari ini. Kearifannya, kecelikannnya, kejujurannya, keberaniannya, dan ketangguhannya mengahdapi hidup menegurku untuk tak boleh mengalah pada keadaan. kerendahan hati mama juga saat bertemu siapa saja, mengingatkanku untuk hidup selalu rendah hati.
Seluruh pelajaran kehidupan dari mama jadi teladan praktik hidup yang baik bagiku. Itu semacam video berputar di kepalaku. Yang hadir di kala akau menghadapi banyak kebuntuan, pergumulan, kekecewaan dan kegundahan. Pada masa gembira, kau juga teringat mama, agar tahu bersyukur.
Ya, Allahku, yang menitipkanku pada seorang ibu. Mahabesar Engkau. Tiada ibu terhebat dimataku, selain dia. Mamaku tersayang. Dari dia aku bisa mengenal kasih-Mu dan keilahian-Mu. Jauh, lebih jauh dari yang diajarkan guru agamaku. Dalam, dan sangat dalam, lebh dalam dari siapapun yang menasihatkan aku tentang kebesaran-Mu. Karena itu, Ya, Allah, limpahkanlah cinta-Mu hari lepas hari untuk mamaku.
O Ibu, terimakasih untuk cinta dan pembentukanmu padaku. Teladanmu seumpama mercu suar di jalanku.
Komentar