Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2011

Saya Ini Rajanya Berandai Andai

Oleh: Dedy Hutajulu Tema lomba menulis kali ini, “Andai Saya DPD RI” menarik serta menggelitik untuk diulas. Menarik karena berandai-andai itu seru. Saya membayangkan posisi diri sebagai orang “besar”. Besar karena mewakili aspirasi banyak orang, yang tentu membesarkan nama saya sebagai “pelayan” rakyat. Tetapi, menggelikan karena bagaimana ya rasanya, mengemban tugas besar sementara saya tak ada niat sama sekali jadi DPD RI. Tetapi menarik karena jika saya bisa berandai-andai jadi DPD, itu berarti saya juga bisa menjadi berandai-andai jadi DPR RI, jadi presiden, jadi Pimpinan KPK, atau jadi apa saja. Saya akan semeja dengan Abraham Samad. Dipandang ‘sekelas’ dengan orang-orang hebat, bergaul dengan para petinggi negeri ini, dicap sebagai ‘malaikat’ bagi 200 juta penduduk Indonesia. Tetapi, menggelikan karena menulis saja masih amatiran. Soal berandai-andai, saya mungkin rajanya. Andai saya DPD, saya mau kelola SDA, SDM, dan budaya yang ada. Caranya, pertama, saya akan meninjau k

Lagi-lagi Profesor Plagiat

Oleh: Dedy Hutajulu Plagiarisme kembali mengangkangi dunia akademik kita. Dunia tempat dimana harapan akan kejujuran bisa disemai dengan baik. Setelah berulang kali jatuh bangun, kini kembali ternoda. Satu lagi kasus yang menyentak jiwa perguruan tinggi kita itu datang dari Riau. Seorang Guru Besar Universitas Riau, Profesor II terbukti memplagiasi buku Budaya bahari karya Mayor Jenderal (Marinir) Joko Pramono, terbitan Gramedia tahun 2005 dengan bukunya, Sejarah Maritim, (kompas, 24/8). Maka, kasus ini menambah bopeng di wajah pendidikan kita Padahal, dikabarkan bahwa Profesor II termasuk dalam bilangan penulis produktif karena ia telah menorehkan namanya dalam rekor MURI sebagai penulis yang mampu melahirkan 66 buku dalam waktu 5 tahun. Dan buku Sejarah Maritim termasuk dalam ke-66 buku yang mendapat penghargaan itu. Prestasi yang luar biasa itu kini dirusak oleh plagiarisme. Memalukan, bukan? Plagiarisme sungguh tak mudah dihindarkan. Kita perlu berkaca pada pengalaman masa la

Mewaspadai Kepungan Iklan Rokok

Pemeo: Sebagus apapun pesan yang disampaikan, lihat dulu siapa yang menyampaikan pesan itu. Pendapat ini rasa-rasanya penting dijadikan pisau bedah untuk mencermati pesan-pesan iklan yang berkembang belakangan ini, khususnya iklan rokok. Kalau Anda rajin menonton TV, anda pasti tidak asing lagi dengan iklan yang satu ini. Iklan yang disponsori oleh perusahaan rokok X. Iklan itu bertutur tentang bahaya korupsi dan betapa korupsi sudah mengepung kita. Saking bahayanya, sampai-sampai otak mahluk yang bernama jin pun sudah terkorupsi. Padahal, konon, jin kerap diilustrasikan sebagai sosok yang menyeramkan dan menakutkan, bukan yang suka sogok-menyogok. Sekarang kok berbeda? Itu sebabnya iklan ini saya sebut sangat menarik. Iklan itu benar-benar bagus luar-dalam, baik segi tampilan maupun isi. Namun, biarpun bagus, iklan itu sebenarnya sedang berusaha menggusur nilai kepekaan generasi muda saat ini. Coba simak dengan jeli iklan tersebut. Begini. Jin, "Kuberi satu permintaan. Monggo

Membuat Kerangka Tulisan

Amat perlu kita tahu bagaimana membuat kerangka tulisan untuk menolong kita membatasi apa yang hendak ditulis. Outline memudahkan kita untuk menentukan maksud dan arah tulisan. Dengan adanya kerangka, kita jadi mudah mengontrol alur berpikir tulisan kita seperti maksud tulisan yang kita harapkan sejak awal. Bahkan, kita juga akan terlatih membuat efektivitas kalimat. Membuat kerangka tulisan sama artinya dengan menentukan apa saja topik yang akan kita bahas. Jadi semacam tahapan pembahasan. Harapannya, orang yang baca jadi mudah paham dengan apa yang kita maksud dalam tulisan kita buat. Jelas alurnya. Perlu diketahui bahwa setiap tulisan lahir dari sebuah ide utama yang kemudian dikembangkan menjadi ide-ide kecil yang disebut dengan pokok-pokok pikiran. Artinya, setiap tulisan laiknya mengandung satu maksud utama. Kalaupun ada ide-ide lain, ide-ide tersebut hanyalah ide penunjang bagi ide utama agar kuat kuasa tulisan semakin tertancam dalam-dalam dibenak pembaca. Jadi, dari satu

Hazare, Nazar, dan Korupsi

Oleh: Dedy Hutajulu Aktivis antikorupsi India, Anna Hazare membalas sambutan pendukungnya di Ram Lila Grounds, New Delhi, jumat (19/8) sambil meneriakkan, “Kemenangan bagi India”. Seruan lantang itu, memicu semangat perjuangan bagi ribuan pendukung sekaligus mengobarkan kebencian yang tak terkatakan terhadap korupsi. Bisa dimaklumi, betapa tekad Hazare kian bulat untuk melanjutkan aksi mogok makannya sebagai bentuk protes terhadap pemerintah yang setengah hati memberantas korupsi dengan sikap yang ditunjukkan pemerintah: mentalitas mencle-mencle. Teriakan Hazare bagi sekitar 2.600 pendukung setianya yang sedari awal harap-harap cemas menantinya keluar dari pintu penjara menandaskan bahwa rakyat harus berontak. Tidak cukup dengan menumpuk rasa muak yang menggunung di hati, tetapi perlu dengan mendesak pemerintah agar bertindak tegas dan lugas terhadap praktek-praktek korupsi. Dengan harapan, desakan itu akan membuka kelopak mata pemerintah untuk melihat penderitaan yang berlipat a

Kelas Gado-Gado

Oleh: Dedy Hutajulu Trenyuh hati saya mendengar kabar bahwa sebagian besar guru di zaman ini telah menakar nilai sebagai pendidik dengan uang dan kemutakhiran fasilitas. Fakta bahwa banyak sekali guru yang tak sudi mengajar bila digaji rendah tak terbantahkan. Dan tak sedikit yang merasa bahwa mendidik siswa miskin sebagai sebuah aniaya. Sebuah aib. Bagaimana ini? Belum lagi menyandingkan berita di atas dengan fakta terkait pengangkatan guru-guru di daerah yang tak terkontrol, yang berakibat persoalan guru secara nasional semakin runyam, mulai jumlah guru, ketidaksesuaian latar belakang pendidikan guru dengan mata pelajaran yang diampunya hingga distribusi guru. Tak tanggung-tanggung, sebanyak 873.650 guru SD hingga SMA/SMK “berani benar” mengajar mata pelajaran yang tak sesuai dengan latar belakang ilmu atau ijazahnya (mismatch). Data kemendiknas menunjukkan ketidaksesuaian ilmu guru dengan pelajaran yang diampunya pada jenjang SMA sekitar 49,24 persen dari total 252.947 guru,

Polri Mesti Berbenah Diri

Oleh: Dedy Hutajulu Patut dicermati baik-baik hasil penelitian LSM Imparsial yang melansir analisis ketidakpuasan publik terhadap kinerja kepolisian RI. Survey ini mengambil sampel 500 responden masyarakat DKI Jakarta yang diambil secara acak. Pencarian data dilakukan hampir satu bulan (sejak 17 Juni hingga 4 Juli 2011). Tak tanggung-tanggung, dari hasil survey diperoleh 61,2 persen publik tidak puas dengan kinerja kepolisian. Sebanyak 33,4 persen diantaranya menyatakan puas, dan 5,4 persen lainnya mengaku tidak tahu. Dari sejumlah pencapaian polisi, publik menilai pencapaian paling memuaskan ialah penanganan terorisme, yaitu sebanyak 67,09 persen. Tetapi 78,4 persen menyatakan tidak puas dengan penanganan korupsi yang dilakukan oleh polisi. Penanganan persoalan lain seperti korupsi, premanisme, penegakan hukum dan hak asasi manusia, narkoba, lalu lintas, serta pencurian kendaraan bermotor mayoritas menyatakan ketidakpuasannya (kompas, 19/7). Dengan kata lain, pencapaian pol

P-A-R-B-A-D-A

Oleh : Dedy Hutajulu Dalam bahasa Batak, disebut Parbada bila seseorang itu amat cerewet, pemurka, dan suka bertengkar dengan kadar kecerewetan dan pertengkarannya di luar batas, sampai-sampai hanya gara-gara hal kecil nan sepele meledak perang mulut yang disulut dendam kesumat. Dan tak jarang pertengkaran itu biasanya dilandasi motivasi-motivasi tidak benar seperti perebutan kekuasaan. Ironisnya, pertengkaran itu justru harus mengorbankan kesenangan orang banyak dan kerap menyita waktu, pikiran, perhatian, dan mengusik nurani orang-orang tak dekat. Sedang orang-orang yang berdiri diluar garis pada awalnya sesungguhnya tidak ada niat sama sekali untuk mencampuri yang bukan urusannya. Namun siapa tak akan bergeming bila nuraninya sudah terusik? Kicauan M. Nazar memang tak berarti apa apa bila kita tak menceburkan diri pada berita politik. Toh, ada segudang pekerjaan lain yang bisa mengalihkan perhatian. Misalnya, rutinitas harian, urusan rumah tangga, masalah kantor, tugas-t

Berani Bermimpi Kuliah ke LN?

Oleh: Dedy Hutajulu Minggu sore, tepatnya pukul 3 lewat 22 menit, sahabat saya datang ke rumah. Ia mengajak saya ke kampus yang hampir 6 bulan tak pernah lagi saya kunjungi semenjak diwisuda. Keasyikan mengajar di sekolah membuat saya lupa melihat kampus yang jaraknya bisa ditempuh dengan berjalan kaki dengan memakan waktu cuma lima menit dari rumah. Jadi, karena temanya menyinggung soal beasiswa ke luar negeri, saya pun ikut. Hitung-hitung, dapat informasi bagaimana mencari beasiswa ke LN. Meski telat hampir setengah jam dan telah kehilangan beberapa sesi, namun demi ilmu, kami tetap berani masuk menceburkan diri ke dalam diskusi. Kami duduk manis mendengar kuliah umum yang disampaikan oleh dua pemateri yang masih belia sambil menikmati hembusan angin diselingi kicauan burung. Awalnya, saya tak yakin jika saya akan mendapat sesuatu yang baru dari seminar itu. Saya justru berasumsi bila seminar itu justru akan membosankan mengingat tampang kedua pemateri yang masih muda. Tap

Mahasiswa: Kemendesakan dan Keseriusan

Oleh: Deddi Gunawan Hutajulu* “dia selalu menantang dunia dalam setiap langkahnya. dia satu-satunya burung yang merdeka dalam penjara virus…Kami semua hanyalah robot yang dikendalikan oleh profesor, mungkin dialah satu-satunya yang bukan robot”. (Dikutip dari mozaik film 3 idiots, produksi Vinod Chopra Films) Salut buat Sayfa Aulia Achidsti atas tulisannya di harian ini (kompas, 12/7). Opininya yang berjudul “Peran Mahasiswa Hari Ini” sungguh mengusik rasa kepemudaan saya untuk turut terlibat berkiprah. Dan rasa salut itu telah menggerakkan tangan saya menulis artikel ini. Tentu saja rasa salut itu dialaskan pada beberapa argumen. Pertama, mencermati latar belakang (back ground) sipenulis. Sulit rasanya menerima kenyataan jika seseorang mampu menulis di koran seraksasa kompas kalau bukan seorang profesor atau peneliti atau orang besar lainnya. Sayfa ternyata bukan diantara yang disebutkan. Ternyata ia hanya seorang mahasiswa. Mahasiswa kelasnya tidak jauh beda dengan mahasiswa l

Pengganggu dan Sahabat

Oleh: Dedy Hutajulu Jika kita melihat padi menguning, kita cenderung melihatnya dari satu sisi, yaitu tentang keberhasilan para petani. Padahal di balik semua itu, petani harus berupaya dengan gigih agar panen berhasil. Setidaknya, para petani harus dibekali pengetahuan tentang serangga pengganggu dan serangga sahabat. Sejak mulai tampak merekah, padi-padi pun harus dijauhkan dari jangkaun serangga pengganggu. Jika tidak, serbuan serangga pengganggu bisa merusak bakal bulir, mengoyak daun-daun dan mengayak batang-batang padi. Pada akhirnya yang tinggal hanya lapung saja. Sedang serangga sahabat, seperti kupu-kupu perlu dipelihara untuk membantu proses serbuk sari. Jadi, tanpa pengetahuan yang memadai soal hama, serangga pengganggu dan serangga sahabat, bisa-bisa petani kewalahan dan panen bisa gagal. Dalam demokrasi kita juga begitu. Keberhasilan negara juga bisa gagal total karena ulah para penggangguorang (koruptor) itu. Panen ‘kesejahteraan’ yang diharap, menjadi gagal karen

Pidato SBY dan Nasib Demokrat

Oleh: Dedy Hutajulu Menyikapi dinamika politik terkini yang menyoal krisis Partai Demokrat (PD), SBY selaku penasihat PD segera menggelar jumpa pers di Cikeas. Sebagai rakyat biasa, saya hanya bisa mencermatinya lewat menonton tivi. Selama mengikuti jalannya berita, bukannya mendapat pencerahan, perasaan tidak nyaman justru memenuhi kepala saya, memuncak hingga ke ubun-ubun. Namun, karena beritanya krusial, saya urungkan niat mengganti ke saluran lain. Perasaan tak nyaman itu saya coba urai. Pertama, ketika melihat Anas Urbaningrum selaku ketum PD dan Marzuki Ali yang kita tahu sebagai pejabat public berdiri mematung di belakang SBY yang sedang berpidato. Saya tak mengerti menagap mereka berdiri di sana. Merak tak ubahnya dua ajudan yang sedang mengawal inspektur upacara saat memerankan upacara bendera. Padahal, inikan acara jumpa pers bukan upacara bendera. Kejanggalan kedua, yang paling mencolok dari acara itu adalah bahwa pidato SBY gregetnya tidak terasa. Meski SBY menyampaik

PSSI dan Masa Depan Pembinaan Usia Muda

Oleh: Dedy Hutajulu Menontonton acara kongres PSSI sabtu (9/7) menghangatkan ingatan saya pada semua kejadian yang belakangan menyeret PSSI ke ranah perbincangan publik. Mulai dari kisah pemakzulan Nurdin Halid dari kursi presiden PSSI sampai kongres yang selalu berakhir gagal. Gagal karena selain diwarnai perhelatan politik dan tarik-menarik kepentingan, bahkan nyaris selalu ricuh. Adegan demi adegan menandaskan bahwa perebutan kekuasaan masih mendominasi ketimbang niat memajukan bangsa lewat sepak bola. Daya tarik magnet kekuasaan yang menggiurkan telah menyeret Nurdin Halid terhisap arus utama pusaran politisasi sepak bola. Dan iapun terimbas haus kekuasaan yang mengakibatkannya merasa enggan melepaskan kekuasaannya. Mundur dari jabatan secara elegan terasa janggal. Tak hanya Nurdin Halid, di kancah politik serta pemerintahan menjadi pemandangan biasa bahwa mundur dari kekuasaan hanya dipandang sebagai sebuah aniaya. Tabu. Sehingga bila ada yang lain, yang berniat maju untuk