Oleh: Dedy Hutajulu
Minggu sore, tepatnya pukul 3 lewat 22 menit, sahabat saya datang ke rumah. Ia mengajak saya ke kampus yang hampir 6 bulan tak pernah lagi saya kunjungi semenjak diwisuda. Keasyikan mengajar di sekolah membuat saya lupa melihat kampus yang jaraknya bisa ditempuh dengan berjalan kaki dengan memakan waktu cuma lima menit dari rumah. Jadi, karena temanya menyinggung soal beasiswa ke luar negeri, saya pun ikut. Hitung-hitung, dapat informasi bagaimana mencari beasiswa ke LN.
Meski telat hampir setengah jam dan telah kehilangan beberapa sesi, namun demi ilmu, kami tetap berani masuk menceburkan diri ke dalam diskusi. Kami duduk manis mendengar kuliah umum yang disampaikan oleh dua pemateri yang masih belia sambil menikmati hembusan angin diselingi kicauan burung.
Awalnya, saya tak yakin jika saya akan mendapat sesuatu yang baru dari seminar itu. Saya justru berasumsi bila seminar itu justru akan membosankan mengingat tampang kedua pemateri yang masih muda. Tapi, setelah menjejaki jejak rekam keduanya, saya terhenyak. ternyata kualitas mereka tak perlu diragukan. Dari cara bertutur sapa dan gaya penyampaian materi yang begitu brilliant, kedua ilmuwan muda tersebut telah melakukan riset atas projek-projek berskala internasional, bahkan mereka menginisiasi banyak penelitian. Sesi menjadi begitu nikmat.
Lima menit pertama mengikuti sesi, saya baru menyadari bahwa sudah lama tak terlintas di kepala ini untuk meneruskan kuliah S2 ke LN. Pertama sekali niat itu tumbuh, saat saya masih duduk di semester pertama. Namun, karena otak saya pas-pasan dan tak terlalu memadai mengikuti materi kuliah dari dosen saya, niat itu perlahan surut hingga akhirnya kandas di semester delapan. Apalagi setelah mendengar mitos bahwa kuliah ke LN mesti lulus Toefl, memiliki pengalaman kerja dan punya dana. Maka, niat itu benar-benar padam karena bahasa inggris adalah aniaya bagi saya.
Namun, berkat seminar hari ini, niat untuk kuliah ke LN kembali membuncah. Mas Rizal (pemateri), bilang ke saya, mimpi yang besar akan menghempas semua penghalang. Kesulitan berbahasa inggris hanya sementara waktu, tapi mimpi mesti diraih. Motivasi itu benar-benar mujarab menyemangati saya. Kesadaran saya mulai tumbuh. Kesadaran itu membantu saya memahami mengapa bagi sebagian besar orang Indonesia menganggap kuliah ke LN masih sebatas mimpi dan hanya segelintir saja yang berhak mencicipinya.
Tapi, mas Rizal dam Mas Adit memberi contoh sejumlah nama-nama teman mereka (orang Indonesia) yang kuliah di LN. teman mereka itu orang miskin, yang orang tuanya sehari-hari bekerja menarik ojek. Ada pula anak penjual pakaina bekas tapi kemudian mereka menjadi lulusan terbaik atau bekerja di institut pensisikan ternama di LN.
Dengan dasar itulah, Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4) hadir sebagai sebuah organisasi yang digagas untuk menjembatani dan memotivasi anak muda di tanah air untuk bermimpi kuliah ke LN. I-4 memfasilitasi sosialisasi serta menjembatani kaum muda dengan mendapat akses informasi kuliah dan informasi beasiswa kuliah di LN.
Dari semua kenikmatan dan pengalaman belajar di LN, I-4 bercita-cita untuk mengembangkan sayap. Dibakar oleh bara visi dan gerakan mewujudkan misinya, I-4 akhirnya menjejakkan kaki di Medan. Tepatnya, tanggal 17 Juli 2011 di Open Stage FBS kampus hijau Unimed. Di ruang terbuka inilah seminar sosialisasi beasiswa ke luar negeri digelar. Di situ pula mimpi anak muda terbeli.
Tanpa terasa waktu terus merangkak hingga matahari sudah diperaduan. Namun, diskusi masih hangat. Agar tidak tegang karena terlalu serius, perlu relaksasi. Rehatpun tak terelakkan. Diselingi lagu “Sitogol-sitogol” dan lagu “Sigulempong”, yang dilantunkan oleh vocal grup anak seni music Unimed, telingapun dimanjakan. Meski hari itu adalah hari minggu, dan kondisi kampus yang sedang libur, Namun, seminar ini tergolong ramai. Tak tanggung-tanggung, setidaknya ada 50 orang lebih datang menghadiri seminar tersebut. Antusiasme orang Medan memang luar biasa. Bukan hanya dihadiri oleh mahasiswa saja, tetapi anak-anak SMA pun ikut. Beberapa alumni yang baru diwisuda, termasuk saya tak mau ketinggalan.
Berbekal informasi dari dari mulut ke mulut, angka 50-an lebih menjadi prestasi besar yang patut diapresiasi bagi panitia. Setidaknya, dari 50-an peserta itu diyakini banyak yang sudah menabur mimpi kuliah ke luar negeri. Hal itu terlihat antusiasme mereka dalam mengikusi sesi-demi sesi. Juga dari pertanyaan demi pertanyaan yang dijulurkan ke pemateri. Ada pula yang terang-terangan memberitahu niatnya kuliah di jurusan ia idamkan. Jelas, semua itu pertanda, seminar itu menumbuhkan mimpi besar di kepala para peserta.
Selama jalannya diskusi, hampir tak ada seorangpun yang menyela. Mereka memasang telinga setajam tajamnya dan kelihatannya enggan melewatkan setiap ucapan dari pembicara. Rasa-rasanya, setiap apa yang disampaikan oleh pemateri begitu berharga, sehingga harus disimak baik-baik.
Tak sampai disitu. Bahkan di sela-sela acara jedah ada pula mahasiswa yang mencegat pembicara di selasar pintu masuk. Mereka memanfaatkan waktu rehat untuk berbincang-bincang dengan pemateri dengan harapan mendapat tambahan informasi yang lebih spesipik soal jurusannya kelak.
Sasaran mendasar seminar itu tentunya untuk menjawab pertanyaan soal seberapa pentingnya kuliah ke LN dan bagaimana cara mendapatkan beasiswanya. Untuk poin pertama, membahas pentingnya melanjutkan kuliah setinggi-tingginya. Sebagaimana kita tahu, sekitar tahun 1970-an, gelar sarjana masih primadona. Sebab mereka yang memegang ijasah S1 mendapat peluang besar untuk bisa bekerja diberbagai institusi. Waktu itu, S2 dan S3 masih jarang.
Namun, di tengah derasnya arus informasi dan kecanggihan teknologi, gelar S2 dan S3 menjadi keniscayaan untuk meningkatkan jenjang karir. Seiring peningkatan karir, diharapkan kemampuan kita semakin tinggi dan produktivitas semakin teruji dalam rangka membangun bangsa. Sebab, kemajuan zaman menuntut kita untuk melanjutkan kuliah lebih dari jenjang sarjana untuk bisa memnyelesaikan permasalahan bangsa ini.
Untuk melanjutkan kuliah, persoalan dana bukanlah perkara utama. Sebab, selalu tersedia beasiswa yang bisa menjadi penyelamat bagi yang tak punya duit. Bahkan kini, banyak sponsor yang berlomba-lomba menyediakan kesempatan bagi orang Indonesia untuk mendapat beasiswa kuliah ke LN.
Tapi, yang paling penting diperhatikan adalah, pertama, berani bermimpi. Mimpi kuliah setinggi-tingginya menjadi poin terpenting untuk mengantar kita meraih beasiswa.
Mimpi memberi dorongan yang luar biasa dalam menggerakkan kita berusaha melebihi apa yang kita mampu. Tanpa mimpi sulit bagi kita untuk bisa meraih cita-cita.
Kenyataannya, tak banyak orang yang mau bermimpi. Memang, kesulitan demi kesulitan akan selalu menghampiri setiap rencana kita. Bahkan, aneka ketidakpastian kerap mengundang rasa putus asa, mematahkan semangat,dan mengaburkan harapan. Tetapi, kita perlu terus menantang diri. Kita jangan mudah menyerah. Selama niat mewujudkan mimpi masih ada, kita harus terus fokus pada cita-cita itu dan mau bekerja keras.
Dan selagi kita mau memperjuangkannya, meski stamina mulai menipis, belum pantas disebut gagal apalagi gagal total sebelum kata “menyerah” terlontar dari mulut kita. Sebab, belum pernah ada gagal yang benar-benar gagal sebelum kita menyerah. Jadi, berusahalah sekuat tenaga.
Yakini bahwa niat yang baik akan selalu dituntun oleh keajaiban demi keajaiban. dan tangan-Nya yang ajaib akan selalu menuntun. Jadi, dalam sesulit apapun, kita patut percaya pada kuasa-Nya. Sebab tak ada yang lebih indah dari karya tangan-Nya. Allah begitu luar biasa dalam merajut setiap pribadi dan peristiwa. Jadi, keinginan dan motivasi yang tinggi menjadi yang terutama.
Kedua, syarat lain yang wajib diperlengkapi antara lain: dokumen-dokumen berupa ijazah dan transkip akademik yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa dimana kita akan berkuliah yang kemudian dilegalisir. Harus lulus standar test TOEFL internasional, test GRE (jika diperlukan), motivation letter, dan surat rekomendasi dari 2 orang dosen.
Ketiga, kita perlu mempersiapkan pelatihan berbahasa sesuai tuntutan kuliah kita kelak. Pelatihan bahasi inggris misalnya setiap hari. Tujuannya untuk mematangkan kemampuan bahasa inggris kita agar kelak bisa mengimbangi penyampaian materi dari dosen dan mengikuti iklim perkuliahan. Selanjutnya, kita perlu mencari informasi tentang biaya hidup dan mempelajari skema biaya selama kuliah di LN
Sekali lagi, yang terpenting, berani bermimpi untuk kuliah ke LN. Karena mas Rizal F. Hariadi (anggota I-4) dan mas Ahcmad Adhitya (sekjen I-4) telah membuktikan kebenaran pandangan ‘dimana ada kemauan di situ ada jalan’. Maka, di ujung tulisan ini nurani saya balik bertanya, “Beranikah saya bermimpi kuliah ke LN?” dan pertanyaan yang lebih pas barangkali seperti ini, “Beranikah saya mewujudkannya?” (Penulis bergiat di Perkamen)
Minggu sore, tepatnya pukul 3 lewat 22 menit, sahabat saya datang ke rumah. Ia mengajak saya ke kampus yang hampir 6 bulan tak pernah lagi saya kunjungi semenjak diwisuda. Keasyikan mengajar di sekolah membuat saya lupa melihat kampus yang jaraknya bisa ditempuh dengan berjalan kaki dengan memakan waktu cuma lima menit dari rumah. Jadi, karena temanya menyinggung soal beasiswa ke luar negeri, saya pun ikut. Hitung-hitung, dapat informasi bagaimana mencari beasiswa ke LN.
Meski telat hampir setengah jam dan telah kehilangan beberapa sesi, namun demi ilmu, kami tetap berani masuk menceburkan diri ke dalam diskusi. Kami duduk manis mendengar kuliah umum yang disampaikan oleh dua pemateri yang masih belia sambil menikmati hembusan angin diselingi kicauan burung.
Awalnya, saya tak yakin jika saya akan mendapat sesuatu yang baru dari seminar itu. Saya justru berasumsi bila seminar itu justru akan membosankan mengingat tampang kedua pemateri yang masih muda. Tapi, setelah menjejaki jejak rekam keduanya, saya terhenyak. ternyata kualitas mereka tak perlu diragukan. Dari cara bertutur sapa dan gaya penyampaian materi yang begitu brilliant, kedua ilmuwan muda tersebut telah melakukan riset atas projek-projek berskala internasional, bahkan mereka menginisiasi banyak penelitian. Sesi menjadi begitu nikmat.
Lima menit pertama mengikuti sesi, saya baru menyadari bahwa sudah lama tak terlintas di kepala ini untuk meneruskan kuliah S2 ke LN. Pertama sekali niat itu tumbuh, saat saya masih duduk di semester pertama. Namun, karena otak saya pas-pasan dan tak terlalu memadai mengikuti materi kuliah dari dosen saya, niat itu perlahan surut hingga akhirnya kandas di semester delapan. Apalagi setelah mendengar mitos bahwa kuliah ke LN mesti lulus Toefl, memiliki pengalaman kerja dan punya dana. Maka, niat itu benar-benar padam karena bahasa inggris adalah aniaya bagi saya.
Namun, berkat seminar hari ini, niat untuk kuliah ke LN kembali membuncah. Mas Rizal (pemateri), bilang ke saya, mimpi yang besar akan menghempas semua penghalang. Kesulitan berbahasa inggris hanya sementara waktu, tapi mimpi mesti diraih. Motivasi itu benar-benar mujarab menyemangati saya. Kesadaran saya mulai tumbuh. Kesadaran itu membantu saya memahami mengapa bagi sebagian besar orang Indonesia menganggap kuliah ke LN masih sebatas mimpi dan hanya segelintir saja yang berhak mencicipinya.
Tapi, mas Rizal dam Mas Adit memberi contoh sejumlah nama-nama teman mereka (orang Indonesia) yang kuliah di LN. teman mereka itu orang miskin, yang orang tuanya sehari-hari bekerja menarik ojek. Ada pula anak penjual pakaina bekas tapi kemudian mereka menjadi lulusan terbaik atau bekerja di institut pensisikan ternama di LN.
Dengan dasar itulah, Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4) hadir sebagai sebuah organisasi yang digagas untuk menjembatani dan memotivasi anak muda di tanah air untuk bermimpi kuliah ke LN. I-4 memfasilitasi sosialisasi serta menjembatani kaum muda dengan mendapat akses informasi kuliah dan informasi beasiswa kuliah di LN.
Dari semua kenikmatan dan pengalaman belajar di LN, I-4 bercita-cita untuk mengembangkan sayap. Dibakar oleh bara visi dan gerakan mewujudkan misinya, I-4 akhirnya menjejakkan kaki di Medan. Tepatnya, tanggal 17 Juli 2011 di Open Stage FBS kampus hijau Unimed. Di ruang terbuka inilah seminar sosialisasi beasiswa ke luar negeri digelar. Di situ pula mimpi anak muda terbeli.
Tanpa terasa waktu terus merangkak hingga matahari sudah diperaduan. Namun, diskusi masih hangat. Agar tidak tegang karena terlalu serius, perlu relaksasi. Rehatpun tak terelakkan. Diselingi lagu “Sitogol-sitogol” dan lagu “Sigulempong”, yang dilantunkan oleh vocal grup anak seni music Unimed, telingapun dimanjakan. Meski hari itu adalah hari minggu, dan kondisi kampus yang sedang libur, Namun, seminar ini tergolong ramai. Tak tanggung-tanggung, setidaknya ada 50 orang lebih datang menghadiri seminar tersebut. Antusiasme orang Medan memang luar biasa. Bukan hanya dihadiri oleh mahasiswa saja, tetapi anak-anak SMA pun ikut. Beberapa alumni yang baru diwisuda, termasuk saya tak mau ketinggalan.
Berbekal informasi dari dari mulut ke mulut, angka 50-an lebih menjadi prestasi besar yang patut diapresiasi bagi panitia. Setidaknya, dari 50-an peserta itu diyakini banyak yang sudah menabur mimpi kuliah ke luar negeri. Hal itu terlihat antusiasme mereka dalam mengikusi sesi-demi sesi. Juga dari pertanyaan demi pertanyaan yang dijulurkan ke pemateri. Ada pula yang terang-terangan memberitahu niatnya kuliah di jurusan ia idamkan. Jelas, semua itu pertanda, seminar itu menumbuhkan mimpi besar di kepala para peserta.
Selama jalannya diskusi, hampir tak ada seorangpun yang menyela. Mereka memasang telinga setajam tajamnya dan kelihatannya enggan melewatkan setiap ucapan dari pembicara. Rasa-rasanya, setiap apa yang disampaikan oleh pemateri begitu berharga, sehingga harus disimak baik-baik.
Tak sampai disitu. Bahkan di sela-sela acara jedah ada pula mahasiswa yang mencegat pembicara di selasar pintu masuk. Mereka memanfaatkan waktu rehat untuk berbincang-bincang dengan pemateri dengan harapan mendapat tambahan informasi yang lebih spesipik soal jurusannya kelak.
Sasaran mendasar seminar itu tentunya untuk menjawab pertanyaan soal seberapa pentingnya kuliah ke LN dan bagaimana cara mendapatkan beasiswanya. Untuk poin pertama, membahas pentingnya melanjutkan kuliah setinggi-tingginya. Sebagaimana kita tahu, sekitar tahun 1970-an, gelar sarjana masih primadona. Sebab mereka yang memegang ijasah S1 mendapat peluang besar untuk bisa bekerja diberbagai institusi. Waktu itu, S2 dan S3 masih jarang.
Namun, di tengah derasnya arus informasi dan kecanggihan teknologi, gelar S2 dan S3 menjadi keniscayaan untuk meningkatkan jenjang karir. Seiring peningkatan karir, diharapkan kemampuan kita semakin tinggi dan produktivitas semakin teruji dalam rangka membangun bangsa. Sebab, kemajuan zaman menuntut kita untuk melanjutkan kuliah lebih dari jenjang sarjana untuk bisa memnyelesaikan permasalahan bangsa ini.
Untuk melanjutkan kuliah, persoalan dana bukanlah perkara utama. Sebab, selalu tersedia beasiswa yang bisa menjadi penyelamat bagi yang tak punya duit. Bahkan kini, banyak sponsor yang berlomba-lomba menyediakan kesempatan bagi orang Indonesia untuk mendapat beasiswa kuliah ke LN.
Tapi, yang paling penting diperhatikan adalah, pertama, berani bermimpi. Mimpi kuliah setinggi-tingginya menjadi poin terpenting untuk mengantar kita meraih beasiswa.
Mimpi memberi dorongan yang luar biasa dalam menggerakkan kita berusaha melebihi apa yang kita mampu. Tanpa mimpi sulit bagi kita untuk bisa meraih cita-cita.
Kenyataannya, tak banyak orang yang mau bermimpi. Memang, kesulitan demi kesulitan akan selalu menghampiri setiap rencana kita. Bahkan, aneka ketidakpastian kerap mengundang rasa putus asa, mematahkan semangat,dan mengaburkan harapan. Tetapi, kita perlu terus menantang diri. Kita jangan mudah menyerah. Selama niat mewujudkan mimpi masih ada, kita harus terus fokus pada cita-cita itu dan mau bekerja keras.
Dan selagi kita mau memperjuangkannya, meski stamina mulai menipis, belum pantas disebut gagal apalagi gagal total sebelum kata “menyerah” terlontar dari mulut kita. Sebab, belum pernah ada gagal yang benar-benar gagal sebelum kita menyerah. Jadi, berusahalah sekuat tenaga.
Yakini bahwa niat yang baik akan selalu dituntun oleh keajaiban demi keajaiban. dan tangan-Nya yang ajaib akan selalu menuntun. Jadi, dalam sesulit apapun, kita patut percaya pada kuasa-Nya. Sebab tak ada yang lebih indah dari karya tangan-Nya. Allah begitu luar biasa dalam merajut setiap pribadi dan peristiwa. Jadi, keinginan dan motivasi yang tinggi menjadi yang terutama.
Kedua, syarat lain yang wajib diperlengkapi antara lain: dokumen-dokumen berupa ijazah dan transkip akademik yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa dimana kita akan berkuliah yang kemudian dilegalisir. Harus lulus standar test TOEFL internasional, test GRE (jika diperlukan), motivation letter, dan surat rekomendasi dari 2 orang dosen.
Ketiga, kita perlu mempersiapkan pelatihan berbahasa sesuai tuntutan kuliah kita kelak. Pelatihan bahasi inggris misalnya setiap hari. Tujuannya untuk mematangkan kemampuan bahasa inggris kita agar kelak bisa mengimbangi penyampaian materi dari dosen dan mengikuti iklim perkuliahan. Selanjutnya, kita perlu mencari informasi tentang biaya hidup dan mempelajari skema biaya selama kuliah di LN
Sekali lagi, yang terpenting, berani bermimpi untuk kuliah ke LN. Karena mas Rizal F. Hariadi (anggota I-4) dan mas Ahcmad Adhitya (sekjen I-4) telah membuktikan kebenaran pandangan ‘dimana ada kemauan di situ ada jalan’. Maka, di ujung tulisan ini nurani saya balik bertanya, “Beranikah saya bermimpi kuliah ke LN?” dan pertanyaan yang lebih pas barangkali seperti ini, “Beranikah saya mewujudkannya?” (Penulis bergiat di Perkamen)
Komentar