Oleh : Dedy Hutajulu*
Rasa-rasanya, tak ada yang terkejut ketika mendengar berita: “Medan, kota paling buruk dalam hal pelayanan publik”, bahkan media lokal Sumut terkesan kurang greget menaikkan berita ini ke permukaan berkali-kali. Ada apa dengan kita?
Padahal, berita tersebut bukanlah berita ‘murahan’, sebab berita ini munculnya berkat kegigihan dan kerja keras Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama ini. KPK telah melakukan survei terhadap 22 kota untuk mengukur tingkat korupsi dan faktor penyebab terjadinya korupsi di lembaga publik dengan menyurvei pengguna langsung layanan publik. Adapun yang disurvei, yaitu pelayanan kartu tanda penduduk (KTP), izin mendirikan bangunan (IMB) dan izin usaha. Dan hasilnya, ditemukan bahwa rendahnya integritas sebagai salah satu indikator adanya korupsi dalam layanan publik.
Kota Medan mendapat predikat ‘kota pelayanan publik terburuk’ dengan skor integritas sebesar 3,66 (terendah). Kota dengan pelayanan publik terburuk berikutnya adalah Bandar Lampung (dengan skor integritas 4,05), Palembang (skor 4,19), Makassar (skor 4,46) dan Jayapura (skor 4,51), (berita kompas, 2/11/2010). Predikat yang memalukan yang harus kita sandang sebagai warga kota Medan.
Pemimpin Minus Integritas
Maka semakin benarlah apa yang pernah pernah diungkap oleh Deputi KPK, Ade Raharja kepada publik beberapa bulan lalu, bahwa saat ini tindak penyalahgunaan korupsi justru lebih banyak di daerah-daerah, terutama dalam penggunaan APBD.
Data ini berbicara gamblang, bahwa meskipun reformasi birokrasi sudah didengung-dengungkan, namun dalam implementasinya masih diragukan, sebab disana-sini banyak kebohongan. Singkatnya, reformasi birokrasi masih sebatas ‘lipservice’, belum banyak perubahan. Sejatinya, birokrasi berfungsi dan bertujuan untuk memudahkan, mempercepat kinerja dan memberi pelayanan yang terbaik kepada masyarakat.
Awalnya birokrasi hadir untuk memaksimalkan potensi dan meminimalkan disfungsi, sehingga diperoleh kenyamanan layanan baik oleh para birokrat sebagai pelayan masyarakat maupun masyarakat sendiri yang berurusan dengan birokrasi itu. Kedua belah pihak merasakan kepuasan.
Namun, pada kenyataannya justu bertolak belakang. Akibat disengat korupsi, birokrasi kian gemuk dan malah tumbuh menjadi raksasa penindas yang selalu melemahkan kinerja, mematikan kreativitas, berbelit-belit dan cenderung menindas. Soal administrasi misalnya, urusan yang berkaitan dengan surat-menyurat, terasa sekali sangat lambat, berbelit-belit, berliku, dan cenderung memaksa. Segala sesuatu tak bisa dibuat mudah bila tanpa ada pelicin.
Bahkan hampir dalam seluruh aspek kehidupan sehari-hari, kita selalu dihadapkan dengan rendahnya mutu pelayanan publik yang diberikan oleh pegawai pemerintah kota. Soal pelayanan pembuatan KTP misalnya, pejabat publik bisa-bisa saja berdalih sudah bekerja sepenuh hati, namun sampai hari ini kita masih mendengar masyarakat sangat mengeluh.
Pembaca yang proaktif tentu punya bukti sendiri yang lebih santer lagi tentang birokrasi yang tak berpihak pada masyarakat. Dan hasil survey KPK tersebut menegaskan bahwa yang sedang terjadi (dirasakan) warga kota Medan saat ini adalah sulit mengurus KTP, IMB dan izin-izin lainnya.
Dengan kata lain, hasil survey tersebut bisa juga dibaca: “pelayanan cepat dan berbiaya murah bahkan katanya gratis hanya slogan semata”. Oleh karena itu, ke depannya perilaku pejabat publik yang memberikan pelayanan buruk kepada masyarakat harus diubah.
Korupsi vis-Ă -vis Integritas
Lalu apa akar penyebab perilaku tak benar itu? Jawabnya: Korupsi dan kepemimpinan yang minus integritas. Satu-satunya senjata melawan korupsi ialah integritas. Integritas akan menelanjangi korupsi, dan menanggalkan segala aneka tabiat buruk. Kinerja pejabat publik perlu dievaluasi secara progress dan komprehensif. Dan perlu diberi tindakan tegas kepada mereka-mereka yang tak becus bekerja.
Mengubah perilaku memang tidak mudah–butuh ‘bayar harga’. Tapi, ‘demi rakyat’ segala hal yang menjadi kendala dalam mewujudkan pelayanan terbaik kepada publik seharusnya dikalahkan, bahkan soal karakter sekalipun itu. Maka perlu ada upaya dari diri para pejabat pelayan publik sendiri untuk mengubahnya, tanpa terkecuali. Upaya itu berupa pembenahan integritas. Jika tidak ada integritas, kita senantiasa akan berkutat pada persoalan yang merupakan salah satu kebutuhan dasar dalam kehidupan ini.
Sudah berulang kali kita ganti pemimpin, bolak-balik ganti gubernur dan walikota lewat jalur demokrasi. Namun sampai hari ini, masyarakat tak pernah mengecap pelayanan publik yang memuaskan. Lebih mengecewakan lagi, Gubsu Syamsul Arifin dan walikota Rahudman Harahap, justru tersandung ’isu korupsi’ Maka, menjadi pertayaan bagi kita, sampai kapan kita hidup dalam sandiwara demokrasi ini?
Dua fakta yang harus kita sadari. Pertama, bahwa demokrasi kita masih sebatas prosedural, bukan substansial. Sangat sulit menemukan pemimpin yang berintegritas (bahkan anti korupsi) lewat jalur Pilkada. Fakta lain, model demokrasi kita cenderung melembagakan korupsi. Seperti yang dapat kita cermati, nasib lembaga KPK kini seperti telur di ujung tanduk, tinggal menunggu waktu saja untuk jatuh dan pecah. Pemberitaan media mengenai aneka upaya untuk melemahkan bahkan menghancurkan satria pemberantas korupsi ini kian nadir.
Kenyataan lain yang harus kita hadapi adalah kampanye pemberantasan korupsi kian melemah. Pemberantasan korupsi seharusnya didukung oleh semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat tanpa terkecuali. Akan tetapi di tengah banyaknya kasus tertangkapnya pelaku korupsi yang terjadi justru kampanye korupsi mulai melemah. Hal ini dikarenakan pemerintah yang ”haus kekuasaan” cenderung menghalalkan segala cara demi uang. Mereka yang memiliki agenda tersembunyi (hidden Agenda) adalah mereka yang memiliki kekuasaan (abuse power) untuk melanggengkan korupsi di negeri ini.
Sadar atau tidak sadar, harus diakui bahwa ternyata para koruptor sudah lama membentuk sebuah komunitas tersendiri (eksklusif community). Mereka tentu tidak mau mengakui bahwa mereka adalah komunitas korupsi. Namun tali-temali korupsi sudah amat sangat lama terjalin kuat diantara komunitas (masyarakat) koruptor itu sendiri. Itulah yang membuat sepertinya pemberantasan korupsi di negeri ini terkesan mustahil. Itulah yang harus kita sadari!
Selanjutnya, marak terjadi rencana-rencana yang menuntut pemberitaan melemahkan KPK. Seperti yang diberitakan media akhir-akhir ini, semisal kasus ’depoonering’ bibit-chandra. Selain itu, berita kerjasama yang ’tidak bisa’ solid antara KPK, jaksa dan lembaga kepolisian terkait pemberantasan korupsi. Hal ini tentu mengundang pandangan buruk terhadap kinerja KPK, kepolisisan dan kejaksaan yang berujung pada proses melemahkan ketiga lembaga penegak hukum itu sendiri.
Pemberantasan korupsi perlu dibarengi dengan masifnya kampanye pemberantasan korupsi. Kebijakan seperti ini penting untuk menanamkan inisiasi-inisiasi menolak segala bentuk korupsi dalam mindset kita sebagai negara berdemokrasi. Mengingat, pemberantasan korupsi juga menjadi salah satu agenda presiden SBY, maka mau tidak mau, pemerintah pusat hingga daerah harus memberikan perhatian dan dukungan khusus terhadap pemberantasan korupsi.
Medan Kota Paria?
Jika korupsi tetap merajalela dan demokrasi tidak segera diwujudnyatakan maka kota ini terancam menjadi kota Paria. Kotanya para gelandangan, dimana rakyatnya hidup dibawah belas kasihan orang lain. Tiap hari hanya akan ’makan angin’, tubuh hanya dibalut dengan pakaian yang hanya melekat di tubuh (asal bisa menutup aurat), tidur di kaki lima atau dibawah kolong jembatan beralaskan iba dengan muka ditutupi koran. Saat malam menjelang, tidur tak bisa dinikmati sebab mata tak (lagi) bisa terpejam, tak ada lagi cita-cita, bahkan tak boleh bermimpi. Sebelum fajar menyingsing, kokok ayam jantan menajamkan mirisnya penderitaan mereka. Betapa mengerikan dampak korupsi bagi masa depan kota Medan, bahkan negeri ini.
Jadi, apakah kita masih perlu untuk mendiskusikan panjang lebar tentang hasil survei KPK ini dan kinerja pejabat publik dalam hubungannya memperbaiki demokrasi kita? Apakah kita masih menganggap pemberantasan korupsi hanya tugas KPK semata? Apakah pemerintah yang baru akan menutup mata terhadap semua ini? dan Pertanyaan paling penting: ” apakah pantas kota Medan ini menjadi kota Paria?
Gubsu, Walikota, beserta jajarannya telah diberi kepercayaan untuk melangsungkan roda pemerintaha bersih. Jalan masih panjang. Kita berharap, hasil survey ini menjadi cermin sekaligus cambuk untuk kita semua, supaya kita mau membangun kota Medan, bahkan Indonesia ini. Kita menantikan kinerja pemerintah saat ini, yang lebih baik, yang mampu mewujudkan pemerintahan demokratis, adil dan bersih dari segala bentuk korupsi. Bahkan pemerintah sendiri harus menjadi “ikon” dalam memberantas korupsi.
Selain itu, pemerintah bahkan semua jajarannya, hingga kalangan masyarakat bawah harus menjadikan pemberantasan korupsi sebagai gerakan bersama. Sebuah gerakan dimana geregetnya untuk melawan korupsi, begitu kencag karena ada kekuatan besar, yaitu kekuatan bersama. Pemerintah sendiri harus lebih nyaring untuk menyuarakan pemberantasan korupsi.
Karena pemberantasan korupsi sekaligus adalah tanggung jawab semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat, maka idealnya, pemerintah harus memberikan sinyalemen kuat terkait pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu dan masyarakat berperan aktif sebagai social control terhadap setiap pelaksanaan kebijakan pemerintah.
Tanpa semangat dan gerakan bersama melawan korupsi, upaya mewujudkan kota medan bersih akan menghadapi kegagalan. Ujung-ujungnya, pelayanan publikpun akan selalu mengecewakan. Tentu kita tidak menginginkan hal seperti itu.
(Penulis adalah ketua Perkamen, tinggal di Medan)
Komentar