Langsung ke konten utama

Ketika Wewenang Dilacurkan



Oleh Dedy Hutajulu*


Akhir-akhir ini krisis wewenang telah merebak luas di bangsa ini. Beberapa orang, khususnya penguasa dan mereka yang punya jabatan penting di sebuah instansi kerap melacurkan wewenangnya demi sesuatu yang kita sebut ’hal murahan’, seperti uang, seks, dan kekuasaan. Padahal, satu-satunya wewenang yang diterimanya itu adalah wewenang yang secara sadar dipilih oleh dirinya sendiri.
Jikalau wewenang itu menuntut kepatuhan, mengapa kasus penyelewengan wewenang semakin marak terjadi meski harus mengorbankan banyak hal, termasuk orang yang seharusnya dilayani? Mengapa pula wewenang sering disalahgunakan demi memuluskan jalan kejahatan? Dimana letak kepatuhan itu?
Supaya tidak dicap mengada-ada, saya coba ceritakan beberapa kasus yang membuktikan pelacuran wewenang. Pertama, soal adanya jaringan narkotik di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Nusa Kambangan, di Jawa Tengah (kompas, 10/3). Seperti diberitakan media, Kepala LP ikut menjadi tersangka. Tak salah jika masyarakat berburuk sangka bahwa sindikat narkotik sudah terjalin terstruktur dari atas sampai bawah di kalangan petugas LP. Apa lacur? Tudingan kita dialaskan pada penggadaian wewenang. Demi apa sehingga banyak orang rela mengorbankan banyak hal, termasuk mengorbankan martabat bangsa?

Penjara Hilang Wibawa
Kejadian ini membuat jiwa kita terpukul. Kecewa. Penjara yang semestinya berfungsi sebagai wadah pembinaan bagi para tahanan kasus narkotik pun kini tak lagi dipercaya sebagai ruang penjera. Ia telah (sengaja) diubah menjadi sarang kejahatan. Ini bukan masalah sepele. Ini kasus yang memalukan bangsa kita. Bilakah penjara justru menjadi sarang pengedar narkotik?
Penjara menjadi pusat kendali pengedaran narkotika. Semua ini bisa terjadi karena para ’pelacur hukum’ menyalahgunakan wewenangnya untuk menyuburkan praktik peredaran narkotik. Meminjam data kompas, terungkapnya kasus narkotika ini bukanlah yang pertama kali, karena sebelumnya (sejak 2003 sampai sekarang saja sudah tiga kali kasus serupa dibongkar (kompas, 11/3). Kalau para petugas LP tetap konsisten, bermental ’tahan banting’ dan tidak menyalahgunakan fungsi wewenangnya, tentulah kasus seperti ini sulit terjadi.
Bahkan, Kepala LP Nusa Kambangan Marwan Adli yang seharusnya berdiri di garda terdepan dalam memutus rantai peredaran narkotika, justru menjadi pelopor peredaran narkotika. Maka, Hartoni dan mungkin beberapa narapinada lain (kasus narkotik) semakin merasa ’betah’ tinggal dipenjara.  Juga tak perlu diragukan jika bisnis gelap barang haram itu tidak hanya meliputi jaringan lokal, tetapi juga jaringan internasional, sebab kepala LP telah menghempaskan wibawa penjara ke titik nadir.

Bukti Lain Pelacuran Wewenang
Kedua, maraknya kasus korupsi. Diakui bahwa korupsi benar-benar menjadi ancaman laten terhadap kelangsungan negeri ini, karena korupsi pembusukan masif kolektif. Tak terbantahkan, korupsi marak disebabkan oleh banyaknya orang yang menggadaikan wewenangnya demi uang dan demi kekuasaan.
Selanjutnya, carut-marut penegakan hukum. Runtuhnya popularitas beberapa lembaga penegak hukum di negeri ini disebabkan karena kegagalan lembaga itu sendiri dalam menjaga citranya di mata masyarakat. Institusi polri semakin bopeng akibat sering tercoreng oleh kasus-kasus dimana anggotanya melacurkan wewenangnya terhadap ketidakbenaran. Seperti kasus ’rekening gendut’ polri, Tersangkut kasus Gayus HP Tambunan, kasus pembunuhan, penindasan, dan pemerasan dan lain-lain.
Institusi Kejaksaan Agung juga bernasib sama. Terhempas. Popularitasnya telah digusur. Berita kasus-kasus suap di persidangan, berkeliarannya ’jaksa-jaksa nakal’, kasus ’dana talangan century’ dan kasus-kasus hukum lainnya yang gagal ditangani jaksa dengan benar semakin menguatkan tesis kita bahwa penyalahgunaan wewenang adalah salah satu akar masalah yang perlu dicermati serius.
Kasus lain yang membuktikan betapa mudahnya wewenang itu dilacurkan adalah kasus yang menyangkut para wakil rakyat kita. Bukan kepalang tanggung jika 155 kepala daerah di tanah air ini yang tersandung kasus korupsi menjadi titik perhatian kita. Bukan main-main pula KPK telah menangkap 19 anggota DPR secara massal dan menjebloskannya ke penjara kalau bukan karena tersandung kasus korupsi. Mereka yang ditangkap KPK itu, tak lain dan tak bukan adalah karena menghianati wewenangnya sendiri. Wewenang yang dulu dengan sadar mereka anggap sebagai amanah rakyat.

Wewenang Mewajibkan Kepatuhan
Gagasan Bruce Milne tentang wewenang relevan sekali untuk kita renungkan kembali. Ia (dalam bukunya Mengenali Kebenaran, hal 30) mengatakan bahwa wewenang adalah hak atau kuasa untuk mewajibkan kepatuhan. Jika wewenang menuntut kepatuhan, lalu mengapa orang-orang kini mudah ’jatuh dalam ketidakbenaran’ dengan melacurkan wewenangnya?
Seperti kita tahu, para pemangku jabatan saat memilih wewenangnya selalu dipastikan dalam keadaan sadar. Sadar dalam arti sehat jasmani dan rohani, jauh dari tekanan/intervensi orang lain. Sadar juga bisa dimaknai sebagai manifestai atas tugas tertentu yang sudah mengkristal di hati dan di pikiran yang akan dikerjakannya kelak. Kesadaran itulah yang menyalakan nalar dan hati seseorang untuk bekerja dengan kinerja yang produktif dalam arti yang sesungguhnya, sehingga ia mampu bergerak mengalahkan banyak rintangan demi tugas dan tanggung jawabnya.
Dengan kata lain, sadar akan wewenangnya berarti seseorang yang tergerak hatinya untuk mengerjakan sesuatu demi tugas dan tanggung jawab yang telah dipilihnya dengan pertimbangan matang. Dan ia sendiri akan patuh pada wewenangnya itu. Ia tak akan mengkhianati wewenang itu sedikitpun.
Kita tahu, tanpa kesadaran yang dalam akan wewenang, seseorang yang diberi kesempatan menjabat, akan imun terhadap godaan melacurkan wewenang. Ia akan rentan terhadap godaan uang dan kekuasaan yang menggiurkan. Kepercayaan yang diembannya hanya akan menjadi tameng untuk menyelubungi kejahatan demi kejahatannya.
Jadi, supaya pikiran kita semakin terbuka, tak perlu ragu menyebut, ”Negeri ini Darurat Narkotik” (kompas, 11/3), juga ”Negeri Darurat Korupsi”. Kita hanya perlu berbenah. Sebanyak ke-52.000 tahanan narkotik (40 persen dari 130.000 napi sesuai data BNN) perlu dibina dengan serius. Rehabilitasi perlu ditingkatkan dalam segi kualitas dan kuantitas. Pemerintah Kemenkumham harus mengembalikan wibawa penjara. Kita berharap, pemerintahpun harus mampu menempatkan orang-orang yang benar untuk tugas yang tertentu, seperti menjadi petugas LP
Sisi lain, kitapun secara kolektif dan masif memerangi korupsi. Untuk bisa berbenah, maka perilaku kompromistis dan koruptif harus kita lawan dari diri kita sendiri, bahkan bila perlu membencinya secara habis-habisan. Kalau kita menginginkan para pemimpin menghargai dan menjalankan wewenangnya sesuai fungsinya, kitapun haruslah demikian. Apapun pekerjaan kita, kecil-besar tidak menjadi persoalan. Marilah kita tunaikan tugas kita dengan baik dan menjalankan wewenang kita sesuai fungsinya. 

*Penulis ketua Perkamen (Perhimpunan Suka Menulis)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dicari Caleg Perduli Parmalim*

Banyak calon legislatif menduga komunitas Parmalim bakal golput. Tetapi Parmalim menampiknya. Dugaan itu muncul karena para caleg ternyata sama sekali tak mengenal apa itu Parmalim. Celakanya, kaum Parmalim juga tidak mengenal kandidatnya. Bagaimana nasib pemilu kita nanti? Oleh Dedy Hutajulu Desi (kanan) dan rekan-rekannya di depan Bale Parsattian (rumah ibadah Parmalim) di Jalan Air Bersih, Medan, Sabtu (8/3).--foto dedy hutajulu  DESI SIRAIT malu-malu saat lensa kamera diarahkan kepadanya. Ia memalingkan wajah. Di depan Bale Parsattian ia bercengkerama bersama teman sebaya. Bale Parsattian sebutan bagi rumah ibadah komunitas Parmalim. Bale Parsattian ini terletak di Jalan Air Bersih, Medan. Desi Sirait baru berusia 19 tahun. Ini tahun pertama baginya mengikuti pemilu. Ketika ditanya: nyoblos atau tidak? Desi tak langsung menjawab. Ia berpikir dalam-dalam. “Aku takut nanti salah ­­bicara. Jadi masalah pula bagi ugamo kami,” katanya. Desi berasal dari Pemantang

Kalang Baru dan Kenangan di Bondar

aku cuma cuci muka di air bondar Kesal. Kesal banget terus dikibuli si Rindu Capah. Dia ajak kami , katanya cebur ke sungai. Aku sudah senang. Buru-buru keluar dari rumahnya. Berlari sambil bawa kamera dan sabun dan odol.  Aku berharap pagi ini dapat suasana sungai yang indah di Kalang Baru, Sidikalang. Poto unutk oleh-oleh ke Medan. Kami bertiga berjalan menyusuri kebun kopi. Masuk lewat jalan-jalan tikus. Melewati rerimbunan bambu. Turun ke bawah dengan tangga-tanggah tanah yang dibentuk sedemikian rupa supaya serupa tangga. Cukup curam turunan itu. Di bawah tampak aliran sungai melintasi selokan-selokan yang berdempetan dengan sawah.  Banyak remaja dan gadis-gadis di bawah sedang mencuci dan mandi. Kami harus teriak "Lewat..atau Boa" baru mereka menyahut dan kami bis alewat. Begitu tiba di bawah, kukira kami akan berjalan masih jauh lagi menuju sungai yang dibilang Rindu. Tahu-tahunya, sungai yang di maksud adalah selokan ini. Gondok benar hatiku. "I

Syawal Gultom: Unimed Bagi Negeri

Oleh Dedy Hutajulu   Berkarir tinggi sampai ke Jakarta, tak membuat Syawal Gultom melupakan Unimed. Ia pulang membawa pengetahuan baru, biarKampus Hijau bisa menjadi pandu bagi negeri. Syawal Gultom LELAKI itu bangkit dari kursi. Ia tinggalkan setumpuk pekerjaan hanya demi menyambutku. Ruangan kami bertemu hanya seluas lapangan volley. Diisi banyak buku. Di tengah ruangan, ada sebuah meja dengan sofa yang disusun melingkar.Sofa itu biasa dipakai untuk menjamu paratamu.Laki-laki yang dimaksud adalah Syawal Gultom. Rektor baru Unimed.  Periode sebelumnya Syawal mengabdikan diri sebagai Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya   Manusia Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMPMP) Kemendikbud, Jakarta. Di pundak Syawal saat itu dibebankan tanggung jawab berat. Ia harus menjamin desain besar mutu pendidikan di Indonesia. Seperti merpati yang ingat pulang, Syawalpun kembali ke Unimed. Mayoritas anggota Senat mendukung Syawal sebagai nahkoda Unimed. Sampai 2019 nanti, gerak Lembaga P