Oleh : Dedy Hutajulu*
“Kehidupan kita dapat berkembang hanya jika kita berani mengambil kesempatan dan resiko yang terdahulu dan tersulit adalah jujur dengan diri sendiri.”
(Walter Anderson)
Ditengah tingginya polemik dan sikap skeptis masyarakat terhadap pelaksanaan UN, yang sudah diwarnai kecurangan, Depdiknas justru menampik berita yang beredar dengan dalih, itu hanya “isu.”
Menarik untuk disimak apa yang dikatakan Kadis Pendidikan Kota Medan, bapak Hasan Basri. Beliau berani berkata kepada wartawan di Kantornya, Jalan Pelita IV Medan, Rabu (17/3) seperti berita yang dilansir harian Analisa: “Tahun ini kita sudah turunkan tanda tangan untuk melakukan komitmen UN jujur. Semuanya elemen yang terkait, panitia, kepala sekolah, pengawas membuat pernyataan siap menyelenggarakan UN jujur,"(analisa, 20/3)
Mencermati pendapat pak Kadis tersebut, tiba-tiba muncul dua pertanyaan yang dibenak saya. Pertama, Benarkah Dinas Pendidikan Kota Medan tahun 2010 akan mengerjakan komitmennya, yakni komit menggelar ujian nasional secara jujur? Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah Dinas Pendidikan Kota Medan bisa menjamin pelaksanaan UN dapat dikawal dengan baik sehingga berlangsung jujur?
Sementara UN sampai hari ini keras ditolak. Ditolak karena dalam pelaksanaannya selama ini, kebijakan tersebut belum diletakkan pada hakikat UN sebagai alat pemetaan pendidikan, tetapi dijadikan sebagai satu-satunya alat penentu kelulusan siswa. Kemudian, karena dalam pelaksanaannya, selalu tak bisa lepas dari praktik-praktik curang-mencurangi. Selanjutnya, karena dinilai melanggar prinsip paedagogi pendidikan, yang menciderai hak-hak anak didik sebagai mahluk bebas ekspresi.
Maraknya kecurangan dan carut-marut UN beberapa tahun terakhir ini, mengakibatkan wajah pendidikan kita tercoreng. Banyak ditemukan pelanggaran, tetapi tidak direspon dengan tepat dan serius oleh pemerintah. Namun UN tetap digelar.
Fakta Kecurangan
Berkaca pada pengalaman sebelumnya, terlalu naïf rasanya jika kita berharap bahwa UN berlangsung dengan jujur. Alih-alih menggelar UN jujur, sebelum ujian berlangsung, 21 maret 2010 sudah ada praktik jual beli soal UN. Di tambah lagi, sejak dari awal KAMG sudah mencium adanya “bau kecurangan” dan apa yang mereka khwatirkan itupun terbukti sudah. Hari pertama penyelenggaran UN tingkat SMA di kota Medan kembali tercoreng. Pasalnya, KAMG melalui tim independennya menemukan sejumlah kecurangan, salah satunya beredarnya soal secara bebas. Mereka berhasil menemukan fotocopi soal dan kunci jawaban bahasa Indonesia, biologi dan sosiologi, persis sama dengan materi yang diujikan satu hari sebelum ujian berlangsung.(analisa, 23/3)
Persoalan lain yang tak kalah memalukan, yang terjadi hari pertama pelaksanaan UN antara lain (1) Ditemukannya soal bahasa Indonesia tertukar dengan bahasa Inggris di Bali; (2) Ditemukannya lembar jawaban UN yang rusak di Bali; (3) Jual beli soal UN yang belum diketahui asli atau palsu di Sumbar; (4) Naskah soal UN yang rusak di Yogyakarta; (5) ada guru mata pelajaran bahasa Indonesia ikut menjaga ujian bahasa Indonesia, padahal dalam standar operasional pelaksanaan, hal itu jelas-jelas dilarang; (6) Relokasi siswa di Bandung karena banjir; (7) Soal ujian ditunda beberapa waktu; (8) Ada laporan yang masuk di posko pengaduan UNAS di kemendiknas (Sumut post, 23/3).
Itu baru beberapa kasus yang terekam media. Kalau kita mau jujur, tentunya masih ada banyak lagi beberapa kecurangan yang belum diekspos. Cara-cara seperti ini, jelas sangat meresahkan dunia pendidikan kita, yang mengedepankan watak dan sikap jujur. Banyaknya kecurangan UN seperti tersebut diatas, tentu cukup untuk menjawab pertanyaan di awal tulisan ini. Kenyataan ini membuktikan: UN sudah ternoda, namun pemerintah tak menepati janjinya. Sejatinya, pemerintah harus mengambil sikap tegas dalam mengawal UN
Niat menggelar UN jujur tentulah amat baik. Sedari awal, niatnya adalah untuk memberi yang terbaik bagi dunia pendidikan kita. Namun waktu sudah mengujinya. Ternyata komitmen tidak bisa diukur dengan jumlah tandatangan yang dikumpulkan dan tidak sebanding dengan prestise yang disandang. Komitmen tidak bisa dinilai dengan tinggi-rendanya jabatan. Bahkan profesi dan kedudukan seseorang tidak menjamin tingkat komitmennya.
Berarti benar adanya, kebijakan UN jelas-jelas lebih banyak mengandung sisi mudarat daripada manfaat. Kebocoran soal UN sebelum ujian berlangsung membuktikan pemerintah tak siap menggelar UN jujur. Sebuah rahasia negara, tidak boleh bocor. Namun kenapa sampai terjadi? saya menyimpulakan bahwa UN lebih banyak mudarat daripada manfaat dan UN tidak mungkin jujur.
Tetapi anehnya Pemerintah sepertinya tak sudi untuk menghapus UN. Ada apa dengan kebijakan ini? Saatnya pemerintah dengan serius melihat ulang tentang UN ini. Karena kebijakan tersebut justru menghasil lebih banyak mudarat daripada manfaat bagi kita semua
Kejujuran
Harapan membangun pendidikan yang lebih baik dibutuhkan kejujuran. Dan menghadirkan kejujuran tidak gampang (sulit). Sulit karena harus menampilkan keadaan apa adanya. Meskipun sulit namun bukan berarti mustahil diwujudkan.
Kejujuran butuh proses. Proses longitudinal yang dimulai dari yang kecil dan sederhana, dari hal-hal yang biasa-biasa saja. Namun kita sering berlaku tidak jujur dalam hal-hal seperti itu, bahkan tidak jujur dengan diri sendiri. Kita sering membohongi hati nurani kita. Kita anggap hal itu biasa-biasa saja. Padahal perlu disadari, bila kitapun telah membohongi nurani kita, apalagi yang pantas kita banggakan? Bila sampai hal itu terjadi, benarlah adagium:”bukan batu besar yang membuat kita tersandung tetapi kerikil-kerikil kecil”. Nah, disinilah sulitnya.
Jujur kerap dimaknai dengan berintegritas. Integritas adalah harta yang paling mulia (Latin Proverb). Hidup berintegritas adalah proses hidup. Ketika datang godaan dan pencobaan maka orang jujur akan sanggup menghadapinya, karena ia yakin bahwa ia dipimpin oleh ketulusannya, tetapi pengkhianat dirusak oleh kecurangannya. Dalam bahasa Inggris kata yang dipakai untuk menjelaskan kata “jujur” adalah to speak the truth yang berarti mengatakan kebenaran. Kadang-kadang diterjemahkan kesetiaan/faithfulness atau dapat dipercaya (trustworthy).
Sekali lagi UN tidak mungkin jujur. Tapi kesempatan memperbaiki pendidikan kita belumlah terlambat. Ada banyak cara yang bisa kita lakukan untuk mendongkrak mutu pendidikan kita. Respon semua pihak pada dunia pendidikan kita turut membangun dan memberi andil bagi kemajuan bangsa ini.
Asal kita mau jujur, yakinlah jika negeri ini ingin keluar dari berbagai himpitan luka dan jerit lapar yang menganga, hingga multikrisis yang seakan tak berkesudahan, tidak ada jalan lain selain kita harus membangun pendidikan dengan komitmen kejujuran dalam kondisi apapun. Semua pihak harus memegang teguh komitmennya, bekerja keras untuk memberi yang terbaik demi masa depan dunia pendidikan kita. Semoga.*Penulis adalah mahasiswa matematika FMIPA Unimed, aktif di Perkamen
Komentar