Oleh: Dedy Hutajulu
Jika kita melihat padi menguning, kita cenderung melihatnya dari satu sisi, yaitu tentang keberhasilan para petani. Padahal di balik semua itu, petani harus berupaya dengan gigih agar panen berhasil. Setidaknya, para petani harus dibekali pengetahuan tentang serangga pengganggu dan serangga sahabat.
Sejak mulai tampak merekah, padi-padi pun harus dijauhkan dari jangkaun serangga pengganggu. Jika tidak, serbuan serangga pengganggu bisa merusak bakal bulir, mengoyak daun-daun dan mengayak batang-batang padi. Pada akhirnya yang tinggal hanya lapung saja. Sedang serangga sahabat, seperti kupu-kupu perlu dipelihara untuk membantu proses serbuk sari. Jadi, tanpa pengetahuan yang memadai soal hama, serangga pengganggu dan serangga sahabat, bisa-bisa petani kewalahan dan panen bisa gagal.
Dalam demokrasi kita juga begitu. Keberhasilan negara juga bisa gagal total karena ulah para penggangguorang (koruptor) itu. Panen ‘kesejahteraan’ yang diharap, menjadi gagal karena pemerintah tak memiliki pengetahuan yang memadai untuk mengenali siapa pengganggu dan siapa sahabat. Itulah sebabnya belakangan ini marak benar kasus-kasus korupsi.
Negara kita berantakan karena salah urus. Pemilu tak berhasil menjaring para sahabat (pemimpin sejati), lantaran kita (rakyat) belum memiliki pengetahuan yang memadai tentang siapa figur calon secara utuh. Akhirnya pemilu hanya menjadi hajatan nasional menjaring para pengganggu.
Semua itu terjadi karena kita belum pemilih cerdas secara kolektif. Kita belum piawai menggunakan hak pilih kita secara rasional. Kita cenderung memilih berdasarkan pertimbangan kultural, seperti garis marga, merasa seagama, besarnya uang yang dibagi para kandiadat pas kampanye, atau adanya ikatan organisasi. Kita belum cerdas menggunakan hak pilih kita. Akibatnya jelas, hampir semua (153 orang) kepala daerah di tanah air tersandung kasus korupsi.
Contoh lain. Isu M. Nazaruddin dan kicauannya yang mencoba menyeret sejumlah nama petinggi partai Demokrat juga potret kegagalan kita mengenali siapa pengganggu dan siapa sahabat. Rekrutmen partai yang semestinya bertujuan untuk menjaring kader-kader muda yang berintegritas, militan, dan yang piawai berpolitik, serta pro rakyat.
Sayangnya, kaderisasi justru menjadi ajang mengkader para pengacau, perampok dan para begundal yang pintar bernegosiasi secara diplomatis, pintar bersilat lidah tapi yang hoby korupsi. Mereka tak sudi melepas kesempatan. Dan prinsip aji mumpung di pemilu menjadi sesuatu yang tak terelakkan.
Jika boroknya mulai terendus, sebelum terungkap para pengganggu itu segera menghilang dari peredaran. Dengan pundi-pundi uangnya, dengan mudah ia lari ke Singapura. Bila nasib mujur, sanak-keluarga bisa menduduki kursi kekuasaan. Politik dinasti pun digariskan. Dan bila naas atau hari sial menjelang, tinggal jalankan rencana lain.
Di depan media, siap pasang ‘air muka tak berdosa’ atau dengan mengirim pesan lewat twitter atau BBM sebagai bentuk serangan balik. Tujuannya mengaburkan isu supaya negara dilanda kebingungan. Contohnya saja, kicauan Nazaruddin yang mencoba menyeret nama Anas Urbaningrum, ketua PD. Opini masyarakat pun jadi terbelah.
Bila masuk bui, kuasa uang menjadi lencana. Paling banter hukuman satu-dua tahun. Lamanya kurungan pun bisa dinego. Bila perlu tahananpun bisa dibarter. Belum lagi potongan hukuman sebagai hadiah dari presiden. Yang lebih menyebalkan adalah ketika sebagian jaksa atau hakim bisa disuap. Tak pelak, perkara pun kerap dimenangkan oleh koruptor.
Padahal, jelas-jelas kita tahu. Korupsilah yang telah mengoyak-oyak dan merobek-robek negara ini.Begitu dasyat. Lihatlah pemerintah bekerja tidak produktif, minim prestasi, rapor merah selalu. Nilailah pelayanan publik yang carut-marut, cermati para pengadil yang suka melacurkan hukum. Ujilah wakil rakyat yang kian tak merakyat. Yang muaranya hanya satu: rakyat miskin semakin terpinggirkan. Jutaan jiwa terbelenggu kemiskinan. Lingkaran penderitaan silih berganti akan menjadi siksaan. Jutaan anak usia sekolah tak bisa menikmati pendidikan, mereka kehilangan semua hak-hak dasarnya sebagai manusia yang bermartabat. Ratusan ribu manusia Indonesia tiap tahun menceburkan diri dalam jerat siksa sebagai budak (TKI) di negeri Arab Saudi atau Malaysia.
Uraian penderitaan panjang nan berkelindan itu diakibatkan karena kegagalan kita memilah dan memilih dari ’pengganggu’ dan sahabat yang jadi pemimpin. Kita mudah terlena dengan kuat kuasa pencitraan yang menghanyutkan. Mata kita masih merah melihat uang banyak. Tetapi, itu semua bukan sepenuhnya kesalahan kita (rakyat). Tentu juga ulah penguasa yang lebih dominan.
Kita punya presiden, kita punya pemerintah tapi kita merasa yatim piatu. Yatim, ketika negara hanya datang saat menarik pajak. Saat TKI dibantai, pertolongan terasa sepi. Kalau datang biasanya selalu terlambat. Dan piatu, ketika pemerintah hanya datang saat kampanye. Ketika masa menagih janji tiba, mereka lupa.
Memang tidak semua pemerintah menjadi pengganggu, tidak semua pula DPR menjadi perampok. Hanya beberapa saja. Masih ada yang menjadi sahabat. Dan mereka itulah yang menjadi sahabat kita yang menaruh hati setiap waktu pada pergumulan bangsa ini, menjadi rekan kerja memerangi korupsi, melawan para pengacau dan para begundal itu.
Para pengganggu itu harus disingkirkan. Korupsi mesti dikikis. Setidaknya, dengan beberapa cara. Pertama, mari kita tanam kesadaran yang tinggi untuk peduli pada bangsa ini. Karena kinerja pemerintah buruk, mereka itu tetap utusan Allah bagi bangsa ini. Kitalah yang bertanggung jawab mengontrol setiap kebijakannya.
Kedua, ke depan marilah kita menjaring pemimpin yang sejati dengan rasionalitas, menggunakan akal sehat, dan bukan karena uang. Ketiga, marilah kita mendorong para sahabat kita memerangi korupsi. KPK kita dukung terus, MK kita pertahankan, DPR kita dorong, kepolisian kita rangkul.
Kemudian, kita dengan profesi masing-masing. Mari bekerja dengan sepenuh hati demi Indonesia. Para guru dan dosen berbahagia bisa menanamkan nilai-nilai luhur pancasila. para birokrat bekerja dengan produktif. Kita semua dengan perbedaan kultur, profesi maupun agama perlu saling berpegangan tangan. Erat. Menjadi sahabat untuk membangun kekuatan besar melawan korupsi dan melawan para pengganggu bangsa.
(Penulis ketua Perkamen)
Jika kita melihat padi menguning, kita cenderung melihatnya dari satu sisi, yaitu tentang keberhasilan para petani. Padahal di balik semua itu, petani harus berupaya dengan gigih agar panen berhasil. Setidaknya, para petani harus dibekali pengetahuan tentang serangga pengganggu dan serangga sahabat.
Sejak mulai tampak merekah, padi-padi pun harus dijauhkan dari jangkaun serangga pengganggu. Jika tidak, serbuan serangga pengganggu bisa merusak bakal bulir, mengoyak daun-daun dan mengayak batang-batang padi. Pada akhirnya yang tinggal hanya lapung saja. Sedang serangga sahabat, seperti kupu-kupu perlu dipelihara untuk membantu proses serbuk sari. Jadi, tanpa pengetahuan yang memadai soal hama, serangga pengganggu dan serangga sahabat, bisa-bisa petani kewalahan dan panen bisa gagal.
Dalam demokrasi kita juga begitu. Keberhasilan negara juga bisa gagal total karena ulah para penggangguorang (koruptor) itu. Panen ‘kesejahteraan’ yang diharap, menjadi gagal karena pemerintah tak memiliki pengetahuan yang memadai untuk mengenali siapa pengganggu dan siapa sahabat. Itulah sebabnya belakangan ini marak benar kasus-kasus korupsi.
Negara kita berantakan karena salah urus. Pemilu tak berhasil menjaring para sahabat (pemimpin sejati), lantaran kita (rakyat) belum memiliki pengetahuan yang memadai tentang siapa figur calon secara utuh. Akhirnya pemilu hanya menjadi hajatan nasional menjaring para pengganggu.
Semua itu terjadi karena kita belum pemilih cerdas secara kolektif. Kita belum piawai menggunakan hak pilih kita secara rasional. Kita cenderung memilih berdasarkan pertimbangan kultural, seperti garis marga, merasa seagama, besarnya uang yang dibagi para kandiadat pas kampanye, atau adanya ikatan organisasi. Kita belum cerdas menggunakan hak pilih kita. Akibatnya jelas, hampir semua (153 orang) kepala daerah di tanah air tersandung kasus korupsi.
Contoh lain. Isu M. Nazaruddin dan kicauannya yang mencoba menyeret sejumlah nama petinggi partai Demokrat juga potret kegagalan kita mengenali siapa pengganggu dan siapa sahabat. Rekrutmen partai yang semestinya bertujuan untuk menjaring kader-kader muda yang berintegritas, militan, dan yang piawai berpolitik, serta pro rakyat.
Sayangnya, kaderisasi justru menjadi ajang mengkader para pengacau, perampok dan para begundal yang pintar bernegosiasi secara diplomatis, pintar bersilat lidah tapi yang hoby korupsi. Mereka tak sudi melepas kesempatan. Dan prinsip aji mumpung di pemilu menjadi sesuatu yang tak terelakkan.
Jika boroknya mulai terendus, sebelum terungkap para pengganggu itu segera menghilang dari peredaran. Dengan pundi-pundi uangnya, dengan mudah ia lari ke Singapura. Bila nasib mujur, sanak-keluarga bisa menduduki kursi kekuasaan. Politik dinasti pun digariskan. Dan bila naas atau hari sial menjelang, tinggal jalankan rencana lain.
Di depan media, siap pasang ‘air muka tak berdosa’ atau dengan mengirim pesan lewat twitter atau BBM sebagai bentuk serangan balik. Tujuannya mengaburkan isu supaya negara dilanda kebingungan. Contohnya saja, kicauan Nazaruddin yang mencoba menyeret nama Anas Urbaningrum, ketua PD. Opini masyarakat pun jadi terbelah.
Bila masuk bui, kuasa uang menjadi lencana. Paling banter hukuman satu-dua tahun. Lamanya kurungan pun bisa dinego. Bila perlu tahananpun bisa dibarter. Belum lagi potongan hukuman sebagai hadiah dari presiden. Yang lebih menyebalkan adalah ketika sebagian jaksa atau hakim bisa disuap. Tak pelak, perkara pun kerap dimenangkan oleh koruptor.
Padahal, jelas-jelas kita tahu. Korupsilah yang telah mengoyak-oyak dan merobek-robek negara ini.Begitu dasyat. Lihatlah pemerintah bekerja tidak produktif, minim prestasi, rapor merah selalu. Nilailah pelayanan publik yang carut-marut, cermati para pengadil yang suka melacurkan hukum. Ujilah wakil rakyat yang kian tak merakyat. Yang muaranya hanya satu: rakyat miskin semakin terpinggirkan. Jutaan jiwa terbelenggu kemiskinan. Lingkaran penderitaan silih berganti akan menjadi siksaan. Jutaan anak usia sekolah tak bisa menikmati pendidikan, mereka kehilangan semua hak-hak dasarnya sebagai manusia yang bermartabat. Ratusan ribu manusia Indonesia tiap tahun menceburkan diri dalam jerat siksa sebagai budak (TKI) di negeri Arab Saudi atau Malaysia.
Uraian penderitaan panjang nan berkelindan itu diakibatkan karena kegagalan kita memilah dan memilih dari ’pengganggu’ dan sahabat yang jadi pemimpin. Kita mudah terlena dengan kuat kuasa pencitraan yang menghanyutkan. Mata kita masih merah melihat uang banyak. Tetapi, itu semua bukan sepenuhnya kesalahan kita (rakyat). Tentu juga ulah penguasa yang lebih dominan.
Kita punya presiden, kita punya pemerintah tapi kita merasa yatim piatu. Yatim, ketika negara hanya datang saat menarik pajak. Saat TKI dibantai, pertolongan terasa sepi. Kalau datang biasanya selalu terlambat. Dan piatu, ketika pemerintah hanya datang saat kampanye. Ketika masa menagih janji tiba, mereka lupa.
Memang tidak semua pemerintah menjadi pengganggu, tidak semua pula DPR menjadi perampok. Hanya beberapa saja. Masih ada yang menjadi sahabat. Dan mereka itulah yang menjadi sahabat kita yang menaruh hati setiap waktu pada pergumulan bangsa ini, menjadi rekan kerja memerangi korupsi, melawan para pengacau dan para begundal itu.
Para pengganggu itu harus disingkirkan. Korupsi mesti dikikis. Setidaknya, dengan beberapa cara. Pertama, mari kita tanam kesadaran yang tinggi untuk peduli pada bangsa ini. Karena kinerja pemerintah buruk, mereka itu tetap utusan Allah bagi bangsa ini. Kitalah yang bertanggung jawab mengontrol setiap kebijakannya.
Kedua, ke depan marilah kita menjaring pemimpin yang sejati dengan rasionalitas, menggunakan akal sehat, dan bukan karena uang. Ketiga, marilah kita mendorong para sahabat kita memerangi korupsi. KPK kita dukung terus, MK kita pertahankan, DPR kita dorong, kepolisian kita rangkul.
Kemudian, kita dengan profesi masing-masing. Mari bekerja dengan sepenuh hati demi Indonesia. Para guru dan dosen berbahagia bisa menanamkan nilai-nilai luhur pancasila. para birokrat bekerja dengan produktif. Kita semua dengan perbedaan kultur, profesi maupun agama perlu saling berpegangan tangan. Erat. Menjadi sahabat untuk membangun kekuatan besar melawan korupsi dan melawan para pengganggu bangsa.
(Penulis ketua Perkamen)
Komentar