Langsung ke konten utama

Pidato SBY dan Nasib Demokrat

Oleh: Dedy Hutajulu

Menyikapi dinamika politik terkini yang menyoal krisis Partai Demokrat (PD), SBY selaku penasihat PD segera menggelar jumpa pers di Cikeas. Sebagai rakyat biasa, saya hanya bisa mencermatinya lewat menonton tivi. Selama mengikuti jalannya berita, bukannya mendapat pencerahan, perasaan tidak nyaman justru memenuhi kepala saya, memuncak hingga ke ubun-ubun. Namun, karena beritanya krusial, saya urungkan niat mengganti ke saluran lain.
Perasaan tak nyaman itu saya coba urai. Pertama, ketika melihat Anas Urbaningrum selaku ketum PD dan Marzuki Ali yang kita tahu sebagai pejabat public berdiri mematung di belakang SBY yang sedang berpidato. Saya tak mengerti menagap mereka berdiri di sana. Merak tak ubahnya dua ajudan yang sedang mengawal inspektur upacara saat memerankan upacara bendera. Padahal, inikan acara jumpa pers bukan upacara bendera.
Kejanggalan kedua, yang paling mencolok dari acara itu adalah bahwa pidato SBY gregetnya tidak terasa. Meski SBY menyampaikan empat hal, yaitu: (1) Banyaknya pemberitaan media, termasuk media yang selama ini memiliki kredibilitas telah mendiskreditkan PD; (2) Munculnya berita-berita oleh SMS yang tak diketahui sumbernya dengan jelas. Yang dikawatirkan ingin memecah-belah PD; (3) Isu Anas gulingkan SBY yang diedarkan oleh tangan-tangan yang tak kentara adalah berita bohong; (3) klarifikasi bahwa kader demokrat tidaklah kebal hukum, karena kabarnya saat ini sedang dikampanyekan di kalangan muda dan masyarakat bahwa kader-kader PD yang bermasalah tidak tersentuh hukum bila tersandung korupsi;
Meski diujung pidatonya, SBY memberi peringatan kepada kader-kader demokrat supaya jangan menambah masalah, juga peringatan agar tetap bersikap cerdas dan bisa menahan diri. Namun, peringatan itu tidak disampaikan secara lantang. Yang akhirnya semakin melengkapi betapa pidato SBY itu tak memiliki gereget yang tajam.
Harus diakui bahwa penilai paling jitu atas pidato SBY itu tetaplah pemirsa. Apakah pidato itu memiliki gereget atau tidak. Karena pemirsa (rakyat) memiliki dasar berpikir sendiri, pertimbangan sendiri yang mungkin punya persepsi berbeda dengan SBY. Namun, boleh kita katakan bahwa pidato tersebut masih tergolong tipikal normatif. Tidak ada yang baru dari pidato tersebut, seperti sudah bisa ditebak. Memang ada bagian refleksi terhadap internal partai, tetapi tembakan refleksinya atas kinerja buruk kader PD, sikap politik kader demokrat yang belakangan ini banyak tersangkut kasus korupsi kurang mendalam disorot. Rakyat mengharapkan sesuatu yang lebih dari pidato itu.
Sesuatu yang lebih maksudnya, pertama, SBY semestinya mengurangi penekanan menebar kesalahan ke pihak lain dan ke media. Tak semestinya SBY menuding media semakin tidak sehat karena justru semakin menampilkan sikap politik PD yang tidak legowo terhadap kritik. Sebagaimana pidato itu mewakili sikap SBY selaku politisi dan orang paling berpengaruh di PD terhadap situasi perpolitikan di tanah air yang dalam tempo dua bulan ini sungguh memuakkan.
SBY tak semestinya menekankan bahwa PD menjadi objek pemberitaan media sebagai bagian dari gaya politik yang tidak sehat dari partai lain atau kencangnya pemberitaan soal krisis demokat sebagai desain politik media massa. Karena kritik atas kinerja partai adalah sebuah keniscayaan politik. Sesuatu yang wajar dan sah-sah saja.
Kedua, memang isi pidato itu ditujukan sebagai klarifikasi kepada seluruh masyarakat Indosesia terhadap pemberitaan media sekaligus sebagai koreksi terhadap internal PD. Tetapi, pidato itu tergolong masih normatif. Terasa hambar. Tawar. Karena rakyat menginginkan melalui jumpa pers itu, SBY bersikap tegas segera menjatuhkan sanksi kepada kader-kadernya yang sudah mencemarkan nama baik partai.
Ketiga, kita menjadi pesimis atas solusi PD yang utopis memerangi korupsi. Melalui sikap politik SBY ini kita menilai bahwa PD sepertinya tak punya banyak amunisi untuk menyelesaikan kasus korupsi Nazarudin ini. Ketakberdayaan itu tampak ketika SBY dan Anas tidak mampu mengontrol kinerja kadernya dengan baik. Buruknya citra demokrat akibat diterpa badai korupsi yang ditabur oleh kader Demokrat menandaskan lemahnya kepemimpinan SBY maupun Anas Urbaningrum.
Kita, sebelumnya sangat berharap besar ada kejutan dari pidato itu, seperti: proses pemecatan Nazaruddin atas apa yang dilakukannya selama ini. Pemecatan terhadap Nazaruddin semestinya segera dilakukan atas dasar telah melanggar kode etik dan norma politik partai Demokrat. Sikap tegas itu diharap bisa memberi efek kejut bagi setiap kader-kader yang memilih jalan menyimpang.
Teraknir, kita mengharap pula melalui pidato itu, SBY menyebut bagaimana langkah PD menghadirkan Nazarudin ke Indonesia untuk diperiksa KPK dalam tenggat waktu yang bisa dipercaya. Karena masyarakat sudah jenuh dibohongi dengan pidato retoris dan kata-kata diplomatis tapi minim bukti. Kalau kasus Nazarudin ini tak tuntas segera, itu sama saja dengan PD sedang menggarami kembali luka-luka di hati masyarakat yang sedang menganga.
Sikap korektif SBY atas krisis PD semestinya mampu mengurai benang kusut krisis Demokrat ini dengan terang. Karena apa yang dilakukan Nazaruddin dengan menyeret nama Anas tak kita tahu siapa yang benar dan siapa yang tak bisa dipercaya. Bisa saja pesan Nazarudin itu ada benarnya. Tetapi bisa pula itu bohong. Kemungkinannya masih fifty-fifty.
Itu sebabnya, kasus Nazaruddin ini menjadi pertaruhan besar partai Demokrat. Sikap SBY beserta kader PD hari ini menjadi acuan yang kelak bisa menentukan apakah PD mampu bertahan sebagai partai modern yang siap bertarung malah sedang tersesat menuju jurang kehancuran. Bila PD tidak mampu menyelesaikan kasus Nazaruddin ini dengan baik, nasib PD sedang di ujung tanduk: siap jatuh, terhempas, pecah dan terinjak.

Penulis adalah pengamat politik)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dicari Caleg Perduli Parmalim*

Banyak calon legislatif menduga komunitas Parmalim bakal golput. Tetapi Parmalim menampiknya. Dugaan itu muncul karena para caleg ternyata sama sekali tak mengenal apa itu Parmalim. Celakanya, kaum Parmalim juga tidak mengenal kandidatnya. Bagaimana nasib pemilu kita nanti? Oleh Dedy Hutajulu Desi (kanan) dan rekan-rekannya di depan Bale Parsattian (rumah ibadah Parmalim) di Jalan Air Bersih, Medan, Sabtu (8/3).--foto dedy hutajulu  DESI SIRAIT malu-malu saat lensa kamera diarahkan kepadanya. Ia memalingkan wajah. Di depan Bale Parsattian ia bercengkerama bersama teman sebaya. Bale Parsattian sebutan bagi rumah ibadah komunitas Parmalim. Bale Parsattian ini terletak di Jalan Air Bersih, Medan. Desi Sirait baru berusia 19 tahun. Ini tahun pertama baginya mengikuti pemilu. Ketika ditanya: nyoblos atau tidak? Desi tak langsung menjawab. Ia berpikir dalam-dalam. “Aku takut nanti salah ­­bicara. Jadi masalah pula bagi ugamo kami,” katanya. Desi berasal dari Pemantang

Kalang Baru dan Kenangan di Bondar

aku cuma cuci muka di air bondar Kesal. Kesal banget terus dikibuli si Rindu Capah. Dia ajak kami , katanya cebur ke sungai. Aku sudah senang. Buru-buru keluar dari rumahnya. Berlari sambil bawa kamera dan sabun dan odol.  Aku berharap pagi ini dapat suasana sungai yang indah di Kalang Baru, Sidikalang. Poto unutk oleh-oleh ke Medan. Kami bertiga berjalan menyusuri kebun kopi. Masuk lewat jalan-jalan tikus. Melewati rerimbunan bambu. Turun ke bawah dengan tangga-tanggah tanah yang dibentuk sedemikian rupa supaya serupa tangga. Cukup curam turunan itu. Di bawah tampak aliran sungai melintasi selokan-selokan yang berdempetan dengan sawah.  Banyak remaja dan gadis-gadis di bawah sedang mencuci dan mandi. Kami harus teriak "Lewat..atau Boa" baru mereka menyahut dan kami bis alewat. Begitu tiba di bawah, kukira kami akan berjalan masih jauh lagi menuju sungai yang dibilang Rindu. Tahu-tahunya, sungai yang di maksud adalah selokan ini. Gondok benar hatiku. "I

Syawal Gultom: Unimed Bagi Negeri

Oleh Dedy Hutajulu   Berkarir tinggi sampai ke Jakarta, tak membuat Syawal Gultom melupakan Unimed. Ia pulang membawa pengetahuan baru, biarKampus Hijau bisa menjadi pandu bagi negeri. Syawal Gultom LELAKI itu bangkit dari kursi. Ia tinggalkan setumpuk pekerjaan hanya demi menyambutku. Ruangan kami bertemu hanya seluas lapangan volley. Diisi banyak buku. Di tengah ruangan, ada sebuah meja dengan sofa yang disusun melingkar.Sofa itu biasa dipakai untuk menjamu paratamu.Laki-laki yang dimaksud adalah Syawal Gultom. Rektor baru Unimed.  Periode sebelumnya Syawal mengabdikan diri sebagai Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya   Manusia Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMPMP) Kemendikbud, Jakarta. Di pundak Syawal saat itu dibebankan tanggung jawab berat. Ia harus menjamin desain besar mutu pendidikan di Indonesia. Seperti merpati yang ingat pulang, Syawalpun kembali ke Unimed. Mayoritas anggota Senat mendukung Syawal sebagai nahkoda Unimed. Sampai 2019 nanti, gerak Lembaga P