Oleh: Dedy Hutajulu*
Foto bergandeng tangan tiga pendekar sakti penegak hukum dan pembela kebenaran yang terpampang gagah di koran Analisa (Rabu, 2/2) membuat hati senang. Dengan tangan saling menggenggam erat di balut kemeja necis dan senyum lebar menghias wajah ketiganya, foto itu seperti berbicara langsung pada kita, seraya mengatakan: ”Kami (atas nama lembaga penegak hukum) akan saling mendukung, tetap solid, dan akan bahu-membahu memerangi musuh bangsa ini.
Niat sudah bulat. Tak satupun yang bisa menghalangi mereka membasmi ’siluman’ bernama ’korupsi’. Itulah yang kita baca dan membuat kebahagiaan kita membuncah. Apalagi, ketiga sosok pendekar yang gagah itu bukanlah orang sembarangan. Ketiganya punya keahlian tersendiri, orang-orang pilihan dengan berbagai kelebihan. Salah satu kelebihannya: berintegritas tinggi.
Sebut saja, Busyro Muqoddas laskarnya KPK, Timur Pradopo pendekar bersenjata, dan kejagung Basrief Arief dengan jubah keadilannya yang setia menemaninya setiap kali menangani kasus di kejaksaan. Mereka adalah cermin penegakan hukum. Bila mereka berhasil membabat korupsi, mereka pantas disebut sebagai simbol kesaktian pancasila.
Kegagalan Parpol dan Lemahnya dukungan kepada KPK
Ironis bagi KPK. Saat KPK (dibawah kendali pemimpin barunya, Busyro) mulai unjuk gigi dengan menahan 19 politisi sekaligus, langkah itupun tak lepas dari kontroversi. Ada yang mendukung, ada juga yang mengecam dengan menyebutnya sebagai bukti tebang pilih. Dengan gugatan, mengapa hanya ’yang disuap’ yang ditahan KPK, sementara ’si penyuap’ (Miranda S Goletom) tidak ditahan? Sangat tidak fair memang jika si penyuap tidak dijebloskan ke penjara..
Ke-19 politisi yang terkait kasus suap pada pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGSBI) Miranda S Goeltom tahun 2004 diduga menerima suap berupa check perjalanan dari Miranda S Goeltom. Meski, KPK baru menahan ’yang disuap’ rasanya pantas KPK mendapat apresiasi, apalagi yang ditahan adalah elit politik.
Bukankah wajar jika pengurus partai politik bersyukur dengan langkah KPK itu? Mestinya parpol arif melihat anggotanya yang tidak berintegritas. Karena tindakan KPK telah membantu parpol untuk memperbaiki kredibilitas parpol itu sendiri. Sebab, sejatinya parpol berdiri adalah representasi suara rakyat. Suara parpol yang sehat mewakili aspirasi rakyat yang menderita.
Sebaliknya, parpol yang pesakitan ditandai dengan munculnya prilaku politikusnya yang berlaku menyimpang, seperti tersandung kasus korupsi, kolusi, nepotisme, narsisme, hedonisme, skandal seks. Sebagai representasi suara rakyat, parpol perlu dijaga agar tetap sehat dan jauh dari hal-hal yang tidak benar.
Selain harus menghindari diri dari hal-hal negatif, parpol juga seharusnya tetap konsisten dengan tujuan dan fungsi utamanya: lantang mengaspirasikan suara rakyat sekaligus konsisten mempersiapkan pemimpin. Parpol tidak boleh abai dengan tugas peregenerasiannya dengan mengkader pemimpin baru.
Regenerasi partai yang berkualitas akan menghasilkan pemimpin-pemimpin berkualitas. Jika parpol berhasil mewujudkannya, maka parpol akan dicap sebagai mesin produksi kepemimpinan sekaligus gudang pemimpin. Tetapi, kaderisasi partai yang asal-asalan hanya akan menghasilkan pemimpin-pemimpin karbitan. Pemimpin yang di kemudian hari akan berlaku pragmatis, mementingkan perut sendiri, tidak santun dalam berpolitik serta menyuburkan kebusukan politik. Buntutnya, pastilah korupsi tetap merajai dan bangsa ini berdiri di tubir kehancuran.
Oleh sebab itu, jika ada kader partai (anggota parpol) yang tersandung kasus korupsi, mestinya parpol langsung intopeksi diri. Bukan malah menutup diri dengan cara lempar batu sembunyi tangan. Wajar, jika ada yang mengatakan bahwa para koruptor kerap bersembunyi di balik parpol. Logika siapa yang tidak curiga dengan kelakuan para politikus dari parpol yang menyimpang (setidaknya begitu pesan berita).
Mereka (19 politikus yang ditahan KPK) itu adalah orang pintar dan memiliki pengaruh besar di masyarakat. Sebut saja Panda Nababan, politisi senior PDIP. Tentu saja nama itu tak asing di parpol yang berlambang banteng hitam alias ”si moncong putih’ yang digembalakan Megawati, putrinya Soekarno sampai hari ini. Berbeda dengan mantan Ketua Komisi XI DPR periode 1999-2014, Paskah Suzetta. Dengan pengalaman pernah menduduki kursi kepemimpinan di komisi IX DPR, dipastikan kualitasnya pernah diperhitungkan. Tapi, karena tersandung kasus, beliau pasti mulai tidak dipercaya.
Dua contoh di atas mungkin belum cukup menjadi bahan diskusi soal korupsi. Masih ada bukti lain. 155 kepala daerah yang terjaring di 23 propinsi dari 33 propinsi di seluruh Indonesia juga adalah potret kegagalan parpol mengkader pemimpin berintegritas. Parpol juga terkesan lalai dalam memberantasan korupsi di tubuhnya sendiri.
Semua kepala daerah yang menang pilkada adalah diusung oleh parpol. Jadi, bila para kepala daerah tersandung korupsi, maka parpol harus evaluasi diri lebih dahulu. Ada apa dengan parpol? Mengapa kader-kadernya di DPR banyak tersandung kasus korupsi? Mengapa integritas menjadi barang ’murahan’ dan bukan menjadi agenda kepemimpinan bagi parpol? Bukan malah sibuk berdalih untuk menutupi kelemahan.
Masih ada bukti lainnya
Tekad pemberantasan korupsi belumlah bulat. Pemberantasan korupsi baru sekedar niat. Meski niat pada awalnya kedengaran manis. Mulia. Jauh dari kesan main-main. Apa boleh dikata, nasib hak angket mafia pajak kini terkatung-katung. Tak terlihat semangat wakil rakyat menggolkan hak angket mafia pajak. Semula banyak yang memprediksi jika usulan hak angket akan berjalan mulus, alias tidak akan menghadapi jalan berliku, terjal, berbatu yang diujungnya buntu. Yang terjadi justru sebaliknya, nasib hak angket pupus ditengah jalan.
Seiring dengan dibatalkannya hak angket DPR, harapan publikpun kepada DPR layu sebelum mekar. Entahkah itu karena ada permainan politik atau tidak, yang jelas, semangat pemberantasan korupsi kian samar-samar. Wakil rakyat kita tidak solid. Tak kompak menggolkan hak angket. Padahal, dengan adanya hak angket mafia pajak, besar kemungkinan pembongkaran jaringan mafia perpajakan akan terungkap. Timbunan korupsi yang melibatkan elit politik yang tersandung kasus Gayus Tambunan bukan tidak mungkin akan terkuak. Tapi, bila diantara pemimpin saja tidak ada kekompakan, bagaimana mungkin mewujudkannya.
Realita pentas politik lokal maupun nasional kini menyajikan tujuan yang masih samar-samar, yang jauh dari semangat memberantas koprupsi. Tampaknya politik saling mengunci satu sama lain. Saling mengunci di antara kandidat parpol yang ditandai dengan pertarungan kekuasaan antar parpol akibat adanya unsur kepentingan yang sudah bermain di dalamnya. Sementara itu, parpol sendiri belum sepenuhnya memberikan dukungan kepada lembaga penegak hukum. Apalagi, simpang-siur kasus depoonering bibit-chandra menjadi kudeta merangkak untuk meruntuhkan KPK.
Penutup
Serangan balik koruptor perlu diwaspadai. Begitu pula serangan balik dari elit politik dari senayan. Adanya dugaan serangan dari para wakil rakyat di Senayan kepada KPK jangan dianggap remeh. Kita dukung terus KPK. Kita juga perlu mendukung polisi dan kejaksaan. Sementara ketiga lembaga Penegak hukum ini serius menuntaskan kasus korupsi, parpol tentu tidak akan tinggal diam.
Semangat kerjasama antara lembaga penegak hukum diharapkan mampu mendongkrak semangat pemberantasan korupsi dan parpol juga bergerak semakin gigih membersihkan dirinya dari kutu-kutu busuk yang memanfaatkan parpol sebagai tempat persembunyian semata. Dengan bersatunya tiga kekuatan besar penegak hukum ini, beserta dukungan parpol, semoga grafik pemberantasan korupsi meningkat tajam dan buahnya bisa dirasakan langsung oleh rakyat.
*Penulis ketua Perkamen
Komentar