Langsung ke konten utama

Pemerintah Jangan Terlalu Tolerir

PDF Cetak Email
Oleh : Dedy Hutajulu


Rasa nyaman seolah pupus. Teror bom terus muncul di mana-mana. Tentu, sejumlah kejadian teror bom beberapa hari ini memancing kita untuk merenung: ada apa dengan bangsa kita ini?
Pendapat kita bertumpu pada satu kesimpulan, yakni buah dari getolnya pemerintah melahirkan sikap terlalu tolerir.
Pemerintah acapkali menempatkan dirinya secara ambigu dengan melahirkan absurditas demi absurditas. Berbagai masalah di negeri ini seringkali tak tuntas diselesaikan. Program pemberantasan terorisme adalah salah satunya.
Sejatinya, program anti teror adalah program yang kontinu, pekerjaan yang berkesinambungan. Bukan penindakan secara momentuman. Jika penindakan kasus terjadi momentuman itu artinya polisi sedang main kucing-kucingan dengan teroris.
Program yang berkesinambungan harus dibangun dengan mengandalkan kekuatan yang ada. Oleh sebab itu, pemerintah harus bisa merangkul masyarakat. Sebab kerjasama masyarakat sangatlah diharapkan.
Tak perlu diperdebatkan soal mengedepankan program anti teror dengan memerangi kemiskinan, menegakkan hukum dan keadilan sosial, mengurangi pengangguran, serta membangun jejaring anti terorisme yang solid. Sebab, bila kesejahteraan rakyat belum terwujud, maka terorisme akan terus marak.
Manakala rakyat lapar, menderita, kehilangan arah dan negara mengabaikannya, maka akan begitu mudah bagi teroris untuk merangkulnya. Orang-orang seperti ini akan ’diselamatkannya’ lalu dijadikan sebagai anggota.
Persoalan melawan terorisme juga bukan sekadar mencari siapa dalang dibalik bom bunuh diri. Mari kita cermati dari sudut pandang lain, yakni kesejahteraan sosial dan keadilan sosial yang masih memprihatinkan. Kita harus menyadari bahwa kekuatan terbesar bangsa ini adalah ketika rakyat berdaulat.
Bila rakyat tidak sejahtera dan keadilan sosial belum terwujud maka dalam keadaan seperti ini rakyat tidak berdaulat. Dan negara berada lemah. Rakyat miskin adalah cermin negara yang tak berdaya. Dan para teroris akan memanfaatkan keadaan ini untuk merongrong bangsa.
Oleh sebab itu, kebijakan utama pemerintah adalah mengedepankan program anti teror. Salah satunya adalah menegakkan keadilan hukum, memerangi kemiskinan, meningkatkan perekonomian rakyat serta membangun jaringan anti teror yang solid.
Melawan terorisme bukan hanya berada dipundak kepolisian. Tetapi atas kerjasama semua orang. Sebab memerangi terorisme seperti mencukur jenggot. Sekali dicukur tumbuh lagi.
Kita mengakui bahwa Indonesia memilih penegakan hukum sebagai jalan memerangi terorisme. maka, pemerintah bersama masyarakat harus mencegah program rekrutmen dan ’program ’cuci otak’ oleh teroris yang masih berjalan. Ini harus terus diantisipasi.
Apalagi, sasaran program ’cuci otak’ adalah kaum muda (anak-anak dan remaja). Sekali lagi, kejadian teror bom bisa marak adalah karena negara terlalu toleran. Negara membuka kran sebesar-besarnya bagi masuknya ideologi terorisme.
Harus disadari, pelaku teror bisa ditangkap, tapi selama paham terorisme belum diberantas. Maka, selama itu pula terorisme tidak akan mati.
Pemerintah berhentilah melahirkan segala macam absurditas. Karena ketidaktegasan pemerintah terhadap masalah penegakan hukum telah memberi ruang gerak bagi teroris untuk bertindak leluasa. Terbukti, kinerja koordinasi inteligen lambat, lapas menjadi pasar perdagangan narkotika, penegakan hukum yang tumpul ke atas adalah pertanda kendornya sikap tegas pemerintah.
Jadi, bila pemerintah tidak segera berubah sikap dan tetap tolerir terhadap semua masalah hukum di negeri ini, maka harapan perubahan hanya seujung kuku. Kita berharap, kepada semua pemimpin di negeri ini dari atas sampai bawah hendaklah bersikap tegas dalam memimpin bangsa ini. ***
Penulis Ketua Perkumpulan Suka Menulis (Perkamen)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dicari Caleg Perduli Parmalim*

Banyak calon legislatif menduga komunitas Parmalim bakal golput. Tetapi Parmalim menampiknya. Dugaan itu muncul karena para caleg ternyata sama sekali tak mengenal apa itu Parmalim. Celakanya, kaum Parmalim juga tidak mengenal kandidatnya. Bagaimana nasib pemilu kita nanti? Oleh Dedy Hutajulu Desi (kanan) dan rekan-rekannya di depan Bale Parsattian (rumah ibadah Parmalim) di Jalan Air Bersih, Medan, Sabtu (8/3).--foto dedy hutajulu  DESI SIRAIT malu-malu saat lensa kamera diarahkan kepadanya. Ia memalingkan wajah. Di depan Bale Parsattian ia bercengkerama bersama teman sebaya. Bale Parsattian sebutan bagi rumah ibadah komunitas Parmalim. Bale Parsattian ini terletak di Jalan Air Bersih, Medan. Desi Sirait baru berusia 19 tahun. Ini tahun pertama baginya mengikuti pemilu. Ketika ditanya: nyoblos atau tidak? Desi tak langsung menjawab. Ia berpikir dalam-dalam. “Aku takut nanti salah ­­bicara. Jadi masalah pula bagi ugamo kami,” katanya. Desi berasal dari Pemantang

Kalang Baru dan Kenangan di Bondar

aku cuma cuci muka di air bondar Kesal. Kesal banget terus dikibuli si Rindu Capah. Dia ajak kami , katanya cebur ke sungai. Aku sudah senang. Buru-buru keluar dari rumahnya. Berlari sambil bawa kamera dan sabun dan odol.  Aku berharap pagi ini dapat suasana sungai yang indah di Kalang Baru, Sidikalang. Poto unutk oleh-oleh ke Medan. Kami bertiga berjalan menyusuri kebun kopi. Masuk lewat jalan-jalan tikus. Melewati rerimbunan bambu. Turun ke bawah dengan tangga-tanggah tanah yang dibentuk sedemikian rupa supaya serupa tangga. Cukup curam turunan itu. Di bawah tampak aliran sungai melintasi selokan-selokan yang berdempetan dengan sawah.  Banyak remaja dan gadis-gadis di bawah sedang mencuci dan mandi. Kami harus teriak "Lewat..atau Boa" baru mereka menyahut dan kami bis alewat. Begitu tiba di bawah, kukira kami akan berjalan masih jauh lagi menuju sungai yang dibilang Rindu. Tahu-tahunya, sungai yang di maksud adalah selokan ini. Gondok benar hatiku. "I

Syawal Gultom: Unimed Bagi Negeri

Oleh Dedy Hutajulu   Berkarir tinggi sampai ke Jakarta, tak membuat Syawal Gultom melupakan Unimed. Ia pulang membawa pengetahuan baru, biarKampus Hijau bisa menjadi pandu bagi negeri. Syawal Gultom LELAKI itu bangkit dari kursi. Ia tinggalkan setumpuk pekerjaan hanya demi menyambutku. Ruangan kami bertemu hanya seluas lapangan volley. Diisi banyak buku. Di tengah ruangan, ada sebuah meja dengan sofa yang disusun melingkar.Sofa itu biasa dipakai untuk menjamu paratamu.Laki-laki yang dimaksud adalah Syawal Gultom. Rektor baru Unimed.  Periode sebelumnya Syawal mengabdikan diri sebagai Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya   Manusia Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMPMP) Kemendikbud, Jakarta. Di pundak Syawal saat itu dibebankan tanggung jawab berat. Ia harus menjamin desain besar mutu pendidikan di Indonesia. Seperti merpati yang ingat pulang, Syawalpun kembali ke Unimed. Mayoritas anggota Senat mendukung Syawal sebagai nahkoda Unimed. Sampai 2019 nanti, gerak Lembaga P