Oleh: Deddi Gunawan Hutajulu*
“dia selalu menantang dunia dalam setiap langkahnya. dia satu-satunya burung yang merdeka dalam penjara virus…Kami semua hanyalah robot yang dikendalikan oleh profesor, mungkin dialah satu-satunya yang bukan robot”. (Dikutip dari mozaik film 3 idiots, produksi Vinod Chopra Films)
Salut buat Sayfa Aulia Achidsti atas tulisannya di harian ini (kompas, 12/7). Opininya yang berjudul “Peran Mahasiswa Hari Ini” sungguh mengusik rasa kepemudaan saya untuk turut terlibat berkiprah. Dan rasa salut itu telah menggerakkan tangan saya menulis artikel ini.
Tentu saja rasa salut itu dialaskan pada beberapa argumen. Pertama, mencermati latar belakang (back ground) sipenulis. Sulit rasanya menerima kenyataan jika seseorang mampu menulis di koran seraksasa kompas kalau bukan seorang profesor atau peneliti atau orang besar lainnya. Sayfa ternyata bukan diantara yang disebutkan. Ternyata ia hanya seorang mahasiswa. Mahasiswa kelasnya tidak jauh beda dengan mahasiswa lain di tanah air, yaitu sama-sama mengenyam dunia pendidikan tinggi.
Tetapi, lewat tulisan, ia telah berhasil mematahkan semua pesimisme mahasiswa selama ini yang mengamini bahwa menulis itu sebuah aniaya dan menganggap mustahil tulisan seorang mahasiswa bisa dimuat di koran legendaris bertaraf nasional. Sebab, tipikal tulisan yang biasa dimuat di kolom ini memposisikan kualitas sebagai keharusan. Selain itu, orisinalitas ide harus menjadi lencana. Seperti laiknya orang besar yang sudah biasa tulisannya dimuat, Sayfa membuktikan bahwa siapapun bisa menulis asal berkemauan. Jika tulisan berkualitas, ide orisinil dan digarap dengan rapi, peluang untuk diterbitkan terbuka lebar.
Sekalipun iklim kompetisi diantara para penulis, akademisi, peneliti, politikus dan jurnalis begitu kencang, serta seleksi atas tulisan yang masuk ke meja redaksi amat ketat, yang semakin menjadikan harian ini sebagai koran tersulit ditembus. Tapi, mahasiswa UGM ini mebuktikan bahwa mahasiswa yang mampu berpikir mandiri akan bisa ‘duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi’ dengan para penulis terkemuka lainnya di ruang media.
Kita patut bersyukur, dinamika tulis-menulis di kalangan mahasiswa dan pelajar di tanah air semakin tumbuh subur. Dan berbagai media, baik lokal maupun nasional membuka ruang ekspresi menulis bagi mahasiswa untuk ikut terlibat.
Sekali lagi, Sayfa, satu teladan mahasiswa yang mampu berpikir out of the box (di luar kotak berpikir orang banyak). Ia meretas jalan dengan menghambakan diri dengan dunia jurnalistik, berjibaku dengan ilmu pengetahuan, akan militansi mahasiswa dan gerakan politik, serta tentang hal-hal yang njelimet, ia siap bertarung mengalahkan kebosanan demi sebuah maksud: berkarya bagi bangsa.
Salut kedua, dari segi isi. Artikel Sayfa memiliki orisinalitas ide yang cemerlang. Lewat tulisannya ia bertaruh bahwa bukan bangsa Indonesia yang carut-marut melainkan karakter dan moral para pejabat kitalah yang bermasalah. Belakangan ini isu korupsi mengemuka. Sejumlah nama pejabat public, elit politik dan para pengadil terseret pada pusaran korupsi. Bahkan partai penguasapun tak putus-putusnya didera isu tak sedap. Kadernya bermasalah karena korupsi.
Itu belum terhitung soal dan buruknya kinerja yang mengakibatkan nasib rakyat terabaikan. Kalau dikalkulasikan tentu kebobrokan pejabat kita berlipat. Dan sebagai akibatnya, jutaan rakyat miskin harus kehilangan hak-haknya untuk hidup, merelakan kesempatannya untuk mengenyam pendidikan. Pula ratusan ribu TKI tak berdaya ketika darahnya ditumpahkan sekalipun alinea keempat pembukaan UUD 1945 menjamin kejadian itu tak bakal terjadi. Realitanya tidak.
Ironisnya, dalam kondisi situasional bangsa yang sedemikian krisis, mahasiswa yang diharap sebagai agen perubahan malah terjebak dualisme siapa benar siapa salah. Terkungkung pada romantisme sejarah. Bukannya, berani keluar dari kandang dan menantang diri untuk berkarya bagi masyarakat.
Salut ketiga, kepiawaian pegiat jurnal mahasiswa Tradem ini menggagas idenya dengan apik nan rancak menjadi hidangan siap-santap yang membuat ngiler para pembaca. Penutupnya menawarkan saran konkret begitu menghujam ke ulu hati. Saran agar mahasiswa tidak hanya jadi penonton tetapi menjadi para pelaku sejarah. Tidak hanya menjadi pengkritik tapi pemberi saran, tidak hanya sebagai konsumen tetapi menjadi produsen ide, supaya jangan ditolak di masyarakat lantaran hanya ‘asbun’ tanpa mau bertindak dan berkontribusi nyata di dalam masyarakat.
Sederhana sekali sarannya. Konkret. Jika, ia jurusan pendidikan maka sejak mahasiswa alangkah baiknya terjun mengajar mendidik anak-anak untuk menanamkan kejujuran di tengah bangsa yang sedang didera korupsi dan cengkraman kebohongan. Menjadi guru sejak diri dengan kerelaan hati tanpa mengharap imbalan bukankah itu mulia. Tetapi niat memang pada awalnya mulia, hanya waktu yang akan mengujinya. Mahasiswa kedokteran juga boleh terlibat dalam penelitian-penelitian terhadap penyakit sepagi mungkin, mengembangkan ilmu pengetahuan sebagai bekal untuk membantu kualitas layanan kesehatan di tanah air agar ke depan layanan kesehatan bermutu dapat dinikmati rakyat miskin. Pun masyarakat tak perlu lagi jauh-jauh ke Penang hanya untuk berobat. Tentu hal itu hanya bisa terjadi jika kualitas layanan kesehatan sudah memadai di tanah air. Apalagi, paradigma orang miskin dilarang sakit masih belum terbantahkan.
Salut terakhir, Sayfa membuktikan mahasiswa punya senjata yang sangat ampuh melawan gempuran kekuatan pihak asing. Senjata itu adalah pena. Sayang pena itu masih tumpul. Majal. Kita enggan mengasahnya karena takut akan mengalami rasa sakit dikikis, dirunjingkan. Karena proses penajaman itu wajib mengorbankan bagian diri kita untuk dibuang, disayat, diiris-iris dan dicincang supaya luar-dalam menjadi tajam. Supaya nurani kita lebih peka, pikiran lebih jernih.
Sebab, bila hati nurani sudah mati dan pikiran gelap bagaimana kita bisa menjadi terang. Seperti pelita tak mungkin menyala tanpa sumbu dan persediann minyak yang cukup. Artinya, untuk menjadi seperti pelita, menyalakan hati dan nalar menjadi keniscayaan.
Ini zaman yang butuh keseriusan dan kemendesakan. Idealnya, bangsa ini harus menawarkan insan-insan serius, konsisten, berintegritas dan rela berkarya bagi bangsa untuk bisa keluar dari segala problema yang sedang membelenggu bangsa ini. Dan harapan itu diletakkan dipundak mahasiswa selaku agen perubahan. Karena arus perubahan senantiasa digelindingakan oleh jiwa muda.
Mahasiswa jurusan lain janganlah mau kalah. Apapun spesifikasi ilmu kita bila kita mau terlibat dan bukan sekedar menceburkan diri dengan permasalahan bangsa ini tetapi dengan sesuatu yang bisa kita tawarkan. Dan itu menjadi kado terindah buat bangsa Indonesia. Jadi, sudilah kiranya mahasiswa mau berkiprah sejak pertama menginjak bangku kuliah.
Namun, sepak-terjang mahasiswa tidaklah sempurna tanpa campur tangan pihak lain. Soal anggaran pendidikan misalnya, pemerintah adalah pihak paling bertanggung jawab atas alokasi anggaran. Pembinaan juga tak kalah penting. Perguruan tinggi mesti serius menjaring mahasiswa. Fleksibilitas civitas akademika memfasilitasi mahasiswa amat penting agar kampus tumbuh menjadi rumah nyaman bagi mahasiswa untuk mengembangkan diri, mengasah keterampilan dan menajamkan integritas.
Universitas mesti menjadi mesin pencetak manusia-manusia unggul. Tantangan kampus masa kini adalah mampu melahirkan mahasiswa-mahasiswa cerdas yang mampu memproduksi ide dan berbagai terobosan baik dalam ilmu pengetahuan, sastra, seni maupun teknologi sehingga ketika kelak menjadi alumni, mereka siap mengabdi dan berkarya demi Indonesia tercinta.
*Penulis adalah Guru matematika di Medan, bergiat di komunitas Perhimpunan Suka Menulis (Perkamen).
“dia selalu menantang dunia dalam setiap langkahnya. dia satu-satunya burung yang merdeka dalam penjara virus…Kami semua hanyalah robot yang dikendalikan oleh profesor, mungkin dialah satu-satunya yang bukan robot”. (Dikutip dari mozaik film 3 idiots, produksi Vinod Chopra Films)
Salut buat Sayfa Aulia Achidsti atas tulisannya di harian ini (kompas, 12/7). Opininya yang berjudul “Peran Mahasiswa Hari Ini” sungguh mengusik rasa kepemudaan saya untuk turut terlibat berkiprah. Dan rasa salut itu telah menggerakkan tangan saya menulis artikel ini.
Tentu saja rasa salut itu dialaskan pada beberapa argumen. Pertama, mencermati latar belakang (back ground) sipenulis. Sulit rasanya menerima kenyataan jika seseorang mampu menulis di koran seraksasa kompas kalau bukan seorang profesor atau peneliti atau orang besar lainnya. Sayfa ternyata bukan diantara yang disebutkan. Ternyata ia hanya seorang mahasiswa. Mahasiswa kelasnya tidak jauh beda dengan mahasiswa lain di tanah air, yaitu sama-sama mengenyam dunia pendidikan tinggi.
Tetapi, lewat tulisan, ia telah berhasil mematahkan semua pesimisme mahasiswa selama ini yang mengamini bahwa menulis itu sebuah aniaya dan menganggap mustahil tulisan seorang mahasiswa bisa dimuat di koran legendaris bertaraf nasional. Sebab, tipikal tulisan yang biasa dimuat di kolom ini memposisikan kualitas sebagai keharusan. Selain itu, orisinalitas ide harus menjadi lencana. Seperti laiknya orang besar yang sudah biasa tulisannya dimuat, Sayfa membuktikan bahwa siapapun bisa menulis asal berkemauan. Jika tulisan berkualitas, ide orisinil dan digarap dengan rapi, peluang untuk diterbitkan terbuka lebar.
Sekalipun iklim kompetisi diantara para penulis, akademisi, peneliti, politikus dan jurnalis begitu kencang, serta seleksi atas tulisan yang masuk ke meja redaksi amat ketat, yang semakin menjadikan harian ini sebagai koran tersulit ditembus. Tapi, mahasiswa UGM ini mebuktikan bahwa mahasiswa yang mampu berpikir mandiri akan bisa ‘duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi’ dengan para penulis terkemuka lainnya di ruang media.
Kita patut bersyukur, dinamika tulis-menulis di kalangan mahasiswa dan pelajar di tanah air semakin tumbuh subur. Dan berbagai media, baik lokal maupun nasional membuka ruang ekspresi menulis bagi mahasiswa untuk ikut terlibat.
Sekali lagi, Sayfa, satu teladan mahasiswa yang mampu berpikir out of the box (di luar kotak berpikir orang banyak). Ia meretas jalan dengan menghambakan diri dengan dunia jurnalistik, berjibaku dengan ilmu pengetahuan, akan militansi mahasiswa dan gerakan politik, serta tentang hal-hal yang njelimet, ia siap bertarung mengalahkan kebosanan demi sebuah maksud: berkarya bagi bangsa.
Salut kedua, dari segi isi. Artikel Sayfa memiliki orisinalitas ide yang cemerlang. Lewat tulisannya ia bertaruh bahwa bukan bangsa Indonesia yang carut-marut melainkan karakter dan moral para pejabat kitalah yang bermasalah. Belakangan ini isu korupsi mengemuka. Sejumlah nama pejabat public, elit politik dan para pengadil terseret pada pusaran korupsi. Bahkan partai penguasapun tak putus-putusnya didera isu tak sedap. Kadernya bermasalah karena korupsi.
Itu belum terhitung soal dan buruknya kinerja yang mengakibatkan nasib rakyat terabaikan. Kalau dikalkulasikan tentu kebobrokan pejabat kita berlipat. Dan sebagai akibatnya, jutaan rakyat miskin harus kehilangan hak-haknya untuk hidup, merelakan kesempatannya untuk mengenyam pendidikan. Pula ratusan ribu TKI tak berdaya ketika darahnya ditumpahkan sekalipun alinea keempat pembukaan UUD 1945 menjamin kejadian itu tak bakal terjadi. Realitanya tidak.
Ironisnya, dalam kondisi situasional bangsa yang sedemikian krisis, mahasiswa yang diharap sebagai agen perubahan malah terjebak dualisme siapa benar siapa salah. Terkungkung pada romantisme sejarah. Bukannya, berani keluar dari kandang dan menantang diri untuk berkarya bagi masyarakat.
Salut ketiga, kepiawaian pegiat jurnal mahasiswa Tradem ini menggagas idenya dengan apik nan rancak menjadi hidangan siap-santap yang membuat ngiler para pembaca. Penutupnya menawarkan saran konkret begitu menghujam ke ulu hati. Saran agar mahasiswa tidak hanya jadi penonton tetapi menjadi para pelaku sejarah. Tidak hanya menjadi pengkritik tapi pemberi saran, tidak hanya sebagai konsumen tetapi menjadi produsen ide, supaya jangan ditolak di masyarakat lantaran hanya ‘asbun’ tanpa mau bertindak dan berkontribusi nyata di dalam masyarakat.
Sederhana sekali sarannya. Konkret. Jika, ia jurusan pendidikan maka sejak mahasiswa alangkah baiknya terjun mengajar mendidik anak-anak untuk menanamkan kejujuran di tengah bangsa yang sedang didera korupsi dan cengkraman kebohongan. Menjadi guru sejak diri dengan kerelaan hati tanpa mengharap imbalan bukankah itu mulia. Tetapi niat memang pada awalnya mulia, hanya waktu yang akan mengujinya. Mahasiswa kedokteran juga boleh terlibat dalam penelitian-penelitian terhadap penyakit sepagi mungkin, mengembangkan ilmu pengetahuan sebagai bekal untuk membantu kualitas layanan kesehatan di tanah air agar ke depan layanan kesehatan bermutu dapat dinikmati rakyat miskin. Pun masyarakat tak perlu lagi jauh-jauh ke Penang hanya untuk berobat. Tentu hal itu hanya bisa terjadi jika kualitas layanan kesehatan sudah memadai di tanah air. Apalagi, paradigma orang miskin dilarang sakit masih belum terbantahkan.
Salut terakhir, Sayfa membuktikan mahasiswa punya senjata yang sangat ampuh melawan gempuran kekuatan pihak asing. Senjata itu adalah pena. Sayang pena itu masih tumpul. Majal. Kita enggan mengasahnya karena takut akan mengalami rasa sakit dikikis, dirunjingkan. Karena proses penajaman itu wajib mengorbankan bagian diri kita untuk dibuang, disayat, diiris-iris dan dicincang supaya luar-dalam menjadi tajam. Supaya nurani kita lebih peka, pikiran lebih jernih.
Sebab, bila hati nurani sudah mati dan pikiran gelap bagaimana kita bisa menjadi terang. Seperti pelita tak mungkin menyala tanpa sumbu dan persediann minyak yang cukup. Artinya, untuk menjadi seperti pelita, menyalakan hati dan nalar menjadi keniscayaan.
Ini zaman yang butuh keseriusan dan kemendesakan. Idealnya, bangsa ini harus menawarkan insan-insan serius, konsisten, berintegritas dan rela berkarya bagi bangsa untuk bisa keluar dari segala problema yang sedang membelenggu bangsa ini. Dan harapan itu diletakkan dipundak mahasiswa selaku agen perubahan. Karena arus perubahan senantiasa digelindingakan oleh jiwa muda.
Mahasiswa jurusan lain janganlah mau kalah. Apapun spesifikasi ilmu kita bila kita mau terlibat dan bukan sekedar menceburkan diri dengan permasalahan bangsa ini tetapi dengan sesuatu yang bisa kita tawarkan. Dan itu menjadi kado terindah buat bangsa Indonesia. Jadi, sudilah kiranya mahasiswa mau berkiprah sejak pertama menginjak bangku kuliah.
Namun, sepak-terjang mahasiswa tidaklah sempurna tanpa campur tangan pihak lain. Soal anggaran pendidikan misalnya, pemerintah adalah pihak paling bertanggung jawab atas alokasi anggaran. Pembinaan juga tak kalah penting. Perguruan tinggi mesti serius menjaring mahasiswa. Fleksibilitas civitas akademika memfasilitasi mahasiswa amat penting agar kampus tumbuh menjadi rumah nyaman bagi mahasiswa untuk mengembangkan diri, mengasah keterampilan dan menajamkan integritas.
Universitas mesti menjadi mesin pencetak manusia-manusia unggul. Tantangan kampus masa kini adalah mampu melahirkan mahasiswa-mahasiswa cerdas yang mampu memproduksi ide dan berbagai terobosan baik dalam ilmu pengetahuan, sastra, seni maupun teknologi sehingga ketika kelak menjadi alumni, mereka siap mengabdi dan berkarya demi Indonesia tercinta.
*Penulis adalah Guru matematika di Medan, bergiat di komunitas Perhimpunan Suka Menulis (Perkamen).
Komentar