Langsung ke konten utama

Fenomena Plagiarisme Di Kampus



Oleh : Dedy Hutajulu*


Menarik mencermati pendapat menteri pendidikan kita, Muhammad Nuh terkait maraknya isu plagiarisme akhir-akhiri ini. Maraknya kasus penjiplakan (plagiat) karya ilmiah dan sejumlah kecurangan lainnya menunjukkan pendidikan karakter, budaya, dan moral perlu diterapkan di bidang pendidikan.
Pernyataan serius yang dilontarkan oleh bapak menteri, jelas bukan tanpa alasan Alasan pertama adalah belakangan ini ditemukan 1.820 kasus plagiarisme karya ilmiah yang disetor para guru di Riau. Kedua, terbongkarnya kasus plagiarisme yang dilakukan seorang guru besar sebuah perguruan tinggi. Meski hanya plagiarisme dari sebuah opini The Jakarta Post, tetapi perlu disikapi secara serius oleh semua pihak, khususnya lembaga pendidikan.
            Isu plagiarisme ibarat bola panas yang terus menggelinding. Bukan hanya di kalangan akademisi saja, tetapi hingga warung-warung kopi. Kasus penjiplakan karya ilmiah bukan sekali ini saja terjadi, sudah seperti fenomena gunung es. Hanya saja kedua kasus ini menjadi titik puncak plagiarisme kembali menguak ke permukaan. Sebenarnya, banyak kasus plagiarisme tumbuh subur di perguruan tinggi, tanpa terkecuali baik perguruan tinggi swasta maupun negeri.
Penyebab
            Suburnya praktik plagiarisme pembuatan karya tulis ilmiah, seperti skripsi tak terlepas dari lemahnya budaya menulis di dunia akademik kita. Sebab jika seseorang sudah terbiasa (habbit) menulis, otomatis dia pasti bisa menghasilkan sebuah karya tulis. Dalam dunia kampus misalnya, mahasiswa selalu dibiasakan dengan tugas-tugas makalah dan paper. Semuanya itu jelas diharapkan untuk membentuk mereka menjadi kaum yang militan dalam dunia tulis menulis, hingga akhirnya diharapkan mampu menghasilkan karya tulis hasil pemikiran sendiri.
            Amat disayangkan, kemampuan menulis kita masih amat rendah. Tak perlu dipaparkan secara statistik berapa tingkat kemampuan menulis kita. Gampang  menilainya. Lihat saja siapa-siapa saja yang sering menulis di media, pasti orangnya itu-itu saja.
            Sementara kemampuan menulis yang rendah tentu karena kualitas dan kuantitas membaca kita sangat memprihatinkan pula. Budaya membaca yang tidak dimulai sejak kecil, maka setelah dewasa efeknya akan sangat terasa. Sebab, dari sebuah bacaan bukan hanya pengetahuan yang dapat kita peroleh, tetapi manisnya nilai-nilai kejujuran dan prinsip-prinsip hidup yang mendasarpun juga kita petik.
Itu masih kemauan membaca, belum berbicara kuantitas dan kualitas membaca. Jika membaca saja kita masih malas, maka jangan berharap kita bisa menulis. Membaca memang bukanlah syarat satu-satunya seseorang bisa menulis, tetapi untuk menulis, membaca adalah hal yang amat penting mempengaruhi seseorang menulis, karena dari sebuah bacaan ada banyak inspirasi tulisan yang bisa  didapat, bahkan kualitas sebuah tulisan seseorangpun biasanya ditentukan oleh kualitas bacaannya.
Penyebab kedua adalah mentalitas serba instan. Sejak kecil anak-anak sekarang cenderung dibiasakan menonton televisi dan bermain, akibatnya sering melalaikan kebiasaan membaca buku. Ditambah lagi, generasi kita sekarang adalah generasi copypaste,  hanya doyan dengan hal-hal yang instan. Tugas kuliahpun sering dicopy dari temannya, tak mau bayar harga untuk menghasilkan yang terbaik. Itulah sebabnya, semakin dewasa maka semakin tidak mampu untuk menyaring hal-hal yang sifatnya tidak membangun moral. Mentalitas serba instan inilah yang memacu naluri kedagingan kita kompromis dengan ketidakbenaran untuk melanggengkan terjadinya plagiarisme.
Faktor lain adalah dalam dunia pendidikan kita, budaya kejujuran sudah merosot. Padahal bagi kaum akademisi, plagiarisme sangat dibenci karena bertolak belakang dengan kebenaran dan kejujuran. Dunia pendidikan sangat menjunjung tinggi kejujuran dan sangat menghargai kebenaran. Itulah sebabnya, pendapat tegas pak menteri patut untuk disikapi secara serius. Jika begini terus, maka  kita tidak perlu kaget jika di dunia pendidikan sendiripun marak budaya plagiarisme.
Terakhir adalah tumpulnya kemampuan menulis kita disertai budaya legal formal. Semua harus disertai dengan bukti ijazah padahal, apa yang tertulis di ijazah itu tidaklah seutuhnya mencerminkan kemampuan sipemilik ijazah tersebut. Namun tuntutan budaya legal formal akhirnya menuntut masyarakat mengejar dan mengumpulkan ijazah dan sertifikat sebanyak-banyaknya anya sekedar agar ada embel-embel dibelakang namanya. Kondisi yang situasional seperti inilah yang membuat mereka akhirnya mau menghalalkan segala cara. Padahal, buat apa mendapat banyak gelar jika itu diperoleh dengan cara yang tidak benar?
Tak ada kata terlambat untuk berubah, apalagi dalam dunia pendidikan. Semoga Kasus plagiarisme seperti ini tidak terulang lagi. Meminjam pendapat bung quit deli, Gelar berderet tapi contekan, jelas tak bermoral. Ke depan kita berharap, dunia pendidikan kita diperbaharui. Pendidikan moral, kejujuran perlu diterapkan kembali. Kepada pemerintah dan lembaga-lembaga pendidikanpun agar terus berani untuk membangun dan mendukung budaya menulis. Tanpa kerjasama dan peran semua pihak, maka pemberantasan plagiarisme niscaya hanya sebuah ilusi.

(*Penulis adalah mahasiswa matematika FMIPA Unimed, aktif di Perkamen)

--- ini tulisan pertamaku dan syukur bisa dimuat di harian waspada 13 Maret 2010 lalu---
             

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membuat Kerangka Tulisan

Amat perlu kita tahu bagaimana membuat kerangka tulisan untuk menolong kita membatasi apa yang hendak ditulis. Outline memudahkan kita untuk menentukan maksud dan arah tulisan. Dengan adanya kerangka, kita jadi mudah mengontrol alur berpikir tulisan kita seperti maksud tulisan yang kita harapkan sejak awal. Bahkan, kita juga akan terlatih membuat efektivitas kalimat. Membuat kerangka tulisan sama artinya dengan menentukan apa saja topik yang akan kita bahas. Jadi semacam tahapan pembahasan. Harapannya, orang yang baca jadi mudah paham dengan apa yang kita maksud dalam tulisan kita buat. Jelas alurnya. Perlu diketahui bahwa setiap tulisan lahir dari sebuah ide utama yang kemudian dikembangkan menjadi ide-ide kecil yang disebut dengan pokok-pokok pikiran. Artinya, setiap tulisan laiknya mengandung satu maksud utama. Kalaupun ada ide-ide lain, ide-ide tersebut hanyalah ide penunjang bagi ide utama agar kuat kuasa tulisan semakin tertancam dalam-dalam dibenak pembaca. Jadi, dari satu ...

Selamatkan Lapangan Merdeka Medan

Lapangan Merdeka (Vukoraido) BERKACA dari keberhasilan penyelamatan Gedung Nasional Medan, kini para sejarawan, akademisi, mahasiswa, budayawan, pengamat budaya, dan dosen serta aktivis di Medan makin merapatkan barisan. Mereka sedang mengupayakan penyelamatan Lapangan Merdeka Medan dari usaha penghancuran pihak tertentu. Gerakan ini bermaksud mendorong pemerintah agar menyelamatkan Lapangan Merdeka yang kini telah kopak-kapik sehingga merusak makna sejarah yang ada tentang kota ini. Pembangunan skybridge (jembatan layang) sekaligus city cek in dan lahan parkir di sisi timur Lapangan Merdeka, menurut Hamdani Siregar, pengamat sejarah, itu adalah bagian dari upaya penghancuran sejarah. Apalagi, ketika pembangunan tersebut malah makin memunggungi satu monumen bersejarah di Medan, yakni monumen proklamasi kemerdekaan RI. “Ini momentum bagi kita untuk bangkit melawan. Bangkit menyelamatkan Lapangan Merdeka. Karena pembangunan di situ telah merusak sejarah bangsa i...

Larut dalam Puisi

Tiada alasan untuk bodoh. Slogan "orang miskin dilarang sekolah" sudah saatnya dihela. Akses terhadap ilmu terbuka lebar. Siapa pun--khususnya orang kota, bisa cerdas dengan aneka bacaan. Banyak bacaan tersedia di toko buku. Hanya perlu kemauan untuk menyambanginya. KAlau terlalu sibuk dengan tugas kuliah atau pekerjaan, luangkanlah saat-saat akhir pekan. Seperti kebiasaanku dan adikku Ervan. Ervan menyempatkan melumat isi buku dengan matanya Satu-satunya cara yang kami gunakan untuk mengisi perayaan dirgahayu ke-68 RI adalah bersembunyi di balik-balik buku di Toko Buku Gramedia, jalan Gajah Mada, Medan. Setelah menerobos banyak kemacetan dari Pancing ke Gramed, akhirnya kami puaskan membaca sampai toko ini tutup.  bagiku sendiri, banyaknya bacaan di sini bikin kepala pusing memilih buku apa. Semuanya ada bagusnya. Tapi aku lebih tertarik membaca novel. sedang Ervan menyukai tokoh-tokoh selebritas Dunia. Diraihnyalah satu buku yang mengulas misteri kematian Michael Jac...