Langsung ke konten utama

Mencari Dalang Mafia Pajak



Oleh : Dedy Hutajulu*


Gayus kembali mengulah, begitu isi berita beredar. Isu kepergiannya ke Singapura terbongkar sudah berkat isi tulisan Devina di bagian surat pembaca Kompas. Usut-punya usut kedokpun terbongkar. Dengan menggunakan passport atas nama “Sony Laksono” Gayuspun melenggang ke luar negeri. Kasus yang menyangkut mafia pajak ini seperti bola salju yang terus menggelinding, membentur sana-sini.
Sebelumnyapun, kontroversi soal foto ‘mirip Gayus’ yang menyaksikan pertandingan tennis di Bali juga ramai dibicarakan, apalagi saat itu Gayus tetap bersikukuh menyangkalnya (kompas, 16/11). Tak pelak, berita itupun memenuhi halaman utama di berbagai media.   Berawal dari ketidaksengajaan, berujung jadi kehebohan. Berkat dua orang photographer kompas, yang menjepret pertandingan tennis, tapi, sebuah foto bergambar seorang penonton “mirip Gayus” terasa janggal bila ada dipertandingan tersebut, sebab Gayus jelas-jelas berstatus tahanan. Namun, yang mau kita persoalkan bukan soal foto tersebut, tetapi soal mentalitas Gayus yang mencolok yang menggambarkan mentalitas bangsa yang begitu bobrok.
Mengapa seorang tahanan terdakwa kasus korupsi, bisa melenggang ke pertandingan tennis? Bagaimana mungkin seorang Gayus (seorang pegawai pajak golongan IIIA) yang dipenjara di rutan Mako Brimob, yang katanya begitu ‘ketat’ penjagaannya, tetapi dia bisa keluar-masuk bui bahkan sampai 68 kali. Bukankah ini aneh? Apakah Gayus menyogok penjaga? Apakah penjaga begitu mudah disogok? atau Gayus sengaja mengancam petinggi polisi agar diberi kebebasan dan jika dia tak diberi izin akan membukakan siapa-siapa saja yang tersandung dengan dia? Ketiga pertanyaan ini menghiasi benak kita semua.
Terkait kepergian Gayus ke Singapura, pertanyaan yang senada juga patut kita lemparkan: Mengapa Gayus mampu mendapat passpor dengan nama lain? Siapa orang terkait di dengannya? Apapun motif Gayus, yang lebih patut kita pertanyakan barangkali: Benarkah segala sesuatu di negeri ini masih begitu mudah untuk didapat dengan uang, termasuk melegalkan korupsi?
Menggiring opini public
Kepergian Gayus ke Singapura adalah bukti penegakan hukum yang begitu lemah. Sayangnya, opini kita juga mudah digiring ke satu titik. Sampai kini banyak pihak mengecam Gayus habis-habisan. Sehingga kita telah menghabiskan banyak energi untuk menyelesaikan kasus Gayus tapi lupa dengan ‘dalang’ dari Gayus itu sendiri. Gayus hanya satu terdakwa saja dan banyak lagi pelaku-pelaku korupsi yang kelasnya masih jauh di atas Gayus (yang terlibat dengan Gayus). Anehnya, seorang Gayus saja sudah mampu mengobrak-abrik penegakan hukum kita. Ini seharusnya tak bisa terjadi.
Opini publik jangan sampai digiring kepada Gayus semata. Ingat Gayus barangkali hanya ‘wayang’ saja. Sementara dalangnya masih melenggang bebas di negeri ini. Mungkin para koruptor ini sedang tertawa melihat kita yang sibuk mengurus Gayus. Saya berpikir ulah Gayus selama ini sudah direncanakan dengan matang. Gerakannya sudah didesain sehingga fokus pemberantasan mafia pajak bisa dibuat kabur dan runyam. Sebab sekarang ini, banyak diantara kita  yang menuding habis-habisan, mengecam sekeras-kerasnya, bahkan sampai menghakimi Gayus, sehingga tanpa kita sadari kita lupa bahwa masih banyak koruptor yang sesungguhnya lebih parah dari Gayus, tapi tidak kita pikirkan dan tidak kita kecam.
Beberapa nama terdakwa yang terkait praktek mafia pajak sesuai data yang dilansir Litbang Kompas (kompas, 13/11), antara lain: Maruli Pandapotan Manurung (Mantan rekan Gayus di ditjen Pajak, terdakwa terkait penanganan keberatan pajak PT Surya Alam Tunggal, oleh PN Jakarta Selatan, 19/10/2010), Humala Napitupulu (Mantan rekan Gayus, terdakwa kasus yang sama dengan Maruli manurung, di sidangkan di PN Jakarta Selatan pada 27/10/2010 ).
Beberapa nama mafia hukum lainnya, seperti Alif Kuncoro (pengusaha, didakwa menyuap penyidik Polri dan sudah divonis 1,5 tahun penjara oleh PN Jakarta Selatan,20/9/2010), Komisaris Arafat Enanie (penyidik Polri, didakwa menerima suap,  divonis 5 tahun oleh PN Jakarta Selatan, 20/9/2010), Ajun Komisaris Sri Sumartini (penyidik Polri, didakwa menerima suap, divonis 2 tahun oleh PN Jakarta Selatan, 6/10/2010), Muhtadi  Asnun (Ketua Majelin Hakim kasus Gayus di PN Tangerang, didakwa menerima uang, tuntutan 3,5 tahun oleh PN Jakarta Timur, 8/11/2010), Haposan Hutagalung (pengacara Gayus, didakwa menyuap penyidik Polri dan turut menyiasati uang Gayus sebagai milik Kosasih, terdakwa PN Jakarta selatan, 16/8/2010), Lambertus Palang Ama (anak buah Haposan, didakwa membuat kontra fiktif antara Gayus dan Andi Kosasih, terdakwa PN Jakarta Selatan, 16/8/2010), Andi Kosasih (didakwa turut menyiasati uang milik Gayus sebagai miliknya, terdakwa PN Jakarta Selatan, 23/8/2010), Cirus Sinaga (Jaksa, bersama Haposan Hutagalung menjadi tersangka dugaan pemalsuan dokumen petunjuk tuntutan atau rencana tuntutan kasus Gayus Tambunan, tersangka 12/11/2010).
Tambahan lagi, keluarnya Gayus dari rutan Brimob, maka kesembilan polisi yang bertugas di Rumah Tahanan Brimob, termasuk Kepala rutan Komisaris (Pol) IS, yang kini sudah ditetapkan tersangka sejak 19/11/2010, menambah daftar panjang bahwa praktek-praktek suap-menyuap begitu rentan di negera kita ini. Sejumlah nama diatas, dengan keragaman profesinya menunjukkan, siapapun begitu imun terhadap praktek suap-menyuap. Lantas, kenapa korupsi seperti ini bisa terjadi? Tudingan utama pastilah di arahkan kepada bobroknya mentalitas bangsa ini.

Potret Mentalitas kita
Oleh sebab itu, kasus Gayus itu sebenarnya ‘biasa-biasa’ saja. Saya sebut ‘biasa biasa’ saja, karena hampir semua orang belakangan ini semakin geram dan semakin kesal melihat Gayus, sementara koruptor lain (yang menginisiasi korupsi kepada Gayus) tidak dikecam. Yang tidak biasa itu adalah ketika para penyogok (penyaru-penyaru) Gayus tidak diusut dan tidak dipenjarakan. Tak hanya Gayus, mari berkaca pada pelaksanaan Pilkada baru-baru ini. Bayangkan, seorang kepala daerah menggelontorkn uang ratusan miliaran rupiah untuk memenangkan pertarungan kekuasaan. Artinya, mereka-mereka yang sekarang tersandung korupsi, jelas tidak punya niat sedikitpun menjadi pemimpin, tetapi sedang mengejar kekuasaan, sehingga cara menyogok rakyat dianggap halal untuk mengejar  kekuasaan.
Tidak aneh jika banyak kepala-kepala daerah hasil pilkada terjerat korupsi. Meminjam data TvOne (TvOne, 8/11/2010), sebanyak 150 bupati tersandung korupsi dan telah masuk bui dan tujuh gubernur sudah ditetapkan sebagai tersangka. Inipun bentuk-bentuk mentalitas yang tidak benar. Jika ‘para pemimpin’ saja sudah seperti ini, bukankan cerminan mentalitas pemimpin itu biasanya memantul sampai ke bawah? Tentu, hal ini patut dipersoalkan.
Gayus itu adalah kita. Gambaran mentalitas kita yang menyogok kapanpun dan dimanapun. Ini soal mentalitas anak bangsa. Contoh lain, kita sebenarnya tidak sedang mau mengurus KTP, tetapi sedang perang urat syaraf melawan diri sendiri. Kita bergumul memikirkan berapa uang harus kita sediakan dan siapa yang bisa disogok agar KTPnya  selesai cepat. Mahasiswa sering ‘pusing’ memikirkan jumlah ‘amplop’ yang diselipkan di dalam skripsi, untuk memperlancar proses ujian meja hijau, atau masyarakat begitu mudah membayar uang ‘pelicin’ supaya cepat lepas dari jerat birokrasi. Padahal, semuanya itu bisa dihadapi dengan akal sehat dan dengan cara-cara yang benar tanpa harus bayar.
Itu sekedar contoh-contoh kecil saja. Kita semua bisa menyebut contoh-contoh lainnya, sebagai masyarakat yang merasakan dan melakukannya barang kali. Maka, alangkah baiknya kita bercermin, bahwa kita ini perlu membenahi diri. Mentalitas kita perlu dibaharui setiap saat. Kita harus berani menantang diri, menghadapi dunia yang serba rusak ini.
Kita perlu berbenah diri. Membangun mental yang berintegritas dan berani bertindak benar. Jangan sampai menghakimi orang lain, tapi lupa intropeksi diri. Karena kita mungkin memakai ‘topeng Gayus’ setiap hari. Atau Gayus itu adalah diri kita sendiri. Anda dan saya lebih tahu. Akhirnya, terimakasih Gayus, karena sudah membuka tabir mentalitas bangsa ini yang sangat bobrok.
Kontrol masyarakat.
             Gayus ke Bali terungkap berkat potograper kompas, yang tanpa sengaja menjepret seseorang ‘mirip Gayus’ di pertandingan tennis di Nusa Dua, Bali. Gayus melenggang ke Singapura terungkap berkat tulisan kecil Devina  di harian nasional. Dua kejadian di atas ada pesannya: kontol masyarakat begitu ampuh dalam mengungkap kasus korupsi.
            Satu contoh lain yang bisa menguatkan argument ini adalah terungkapnya korupsi di Mahkamah Konstitussi (MK) juga berkat tulisan opini Refly Harun di kompas. Kita patut bersyukur ada orang-orang yang rasa kepeduliannya tinggi untuk Indonesia ini. Tentu saja, tanpa mereka barangkali pemerintah dan para penegak hukum belum tentu akan segera turun tangan dengan kasus ini. Jadi, kontrol masyarakat menjadi salah satu alat ampuh untuk mencegah dan mengungkap kasus korupsi.
Peran masyarakat dalam memerangi korupsi adalah dengan mengontrol kekuasaan. Kekuasaan jika tak dikontrol begitu rentan dengan korupsi. Masyarakat mulai sekarang harus lebih berani, seperti Devina dan teman-teman yang lain yang berjuang lewat tulisan. Apakah itu hanya surat pembaca atau lewat opini. Yang penting tujuannya satu: Demi mewujudkan Indonesia yang bersih dari korupsi, jujur dan adil, serta masyarakat yang sejahtera.
Kita sangat berharap, lewat kasus ini pemerintah semakin serius mencari Siapa dalang Mafia pajak. Dan kita semua harus lebih peduli dan peka terhadap kasus korupsi. kontrol terhadap kekuasaan ada ditangan kita. Demi Indonesia, mari kita bersama mengontrol kekuasaan. 

*Penulis adalah Ketua Perkamen

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dicari Caleg Perduli Parmalim*

Banyak calon legislatif menduga komunitas Parmalim bakal golput. Tetapi Parmalim menampiknya. Dugaan itu muncul karena para caleg ternyata sama sekali tak mengenal apa itu Parmalim. Celakanya, kaum Parmalim juga tidak mengenal kandidatnya. Bagaimana nasib pemilu kita nanti? Oleh Dedy Hutajulu Desi (kanan) dan rekan-rekannya di depan Bale Parsattian (rumah ibadah Parmalim) di Jalan Air Bersih, Medan, Sabtu (8/3).--foto dedy hutajulu  DESI SIRAIT malu-malu saat lensa kamera diarahkan kepadanya. Ia memalingkan wajah. Di depan Bale Parsattian ia bercengkerama bersama teman sebaya. Bale Parsattian sebutan bagi rumah ibadah komunitas Parmalim. Bale Parsattian ini terletak di Jalan Air Bersih, Medan. Desi Sirait baru berusia 19 tahun. Ini tahun pertama baginya mengikuti pemilu. Ketika ditanya: nyoblos atau tidak? Desi tak langsung menjawab. Ia berpikir dalam-dalam. “Aku takut nanti salah ­­bicara. Jadi masalah pula bagi ugamo kami,” katanya. Desi berasal dari Pemantang

Kalang Baru dan Kenangan di Bondar

aku cuma cuci muka di air bondar Kesal. Kesal banget terus dikibuli si Rindu Capah. Dia ajak kami , katanya cebur ke sungai. Aku sudah senang. Buru-buru keluar dari rumahnya. Berlari sambil bawa kamera dan sabun dan odol.  Aku berharap pagi ini dapat suasana sungai yang indah di Kalang Baru, Sidikalang. Poto unutk oleh-oleh ke Medan. Kami bertiga berjalan menyusuri kebun kopi. Masuk lewat jalan-jalan tikus. Melewati rerimbunan bambu. Turun ke bawah dengan tangga-tanggah tanah yang dibentuk sedemikian rupa supaya serupa tangga. Cukup curam turunan itu. Di bawah tampak aliran sungai melintasi selokan-selokan yang berdempetan dengan sawah.  Banyak remaja dan gadis-gadis di bawah sedang mencuci dan mandi. Kami harus teriak "Lewat..atau Boa" baru mereka menyahut dan kami bis alewat. Begitu tiba di bawah, kukira kami akan berjalan masih jauh lagi menuju sungai yang dibilang Rindu. Tahu-tahunya, sungai yang di maksud adalah selokan ini. Gondok benar hatiku. "I

Syawal Gultom: Unimed Bagi Negeri

Oleh Dedy Hutajulu   Berkarir tinggi sampai ke Jakarta, tak membuat Syawal Gultom melupakan Unimed. Ia pulang membawa pengetahuan baru, biarKampus Hijau bisa menjadi pandu bagi negeri. Syawal Gultom LELAKI itu bangkit dari kursi. Ia tinggalkan setumpuk pekerjaan hanya demi menyambutku. Ruangan kami bertemu hanya seluas lapangan volley. Diisi banyak buku. Di tengah ruangan, ada sebuah meja dengan sofa yang disusun melingkar.Sofa itu biasa dipakai untuk menjamu paratamu.Laki-laki yang dimaksud adalah Syawal Gultom. Rektor baru Unimed.  Periode sebelumnya Syawal mengabdikan diri sebagai Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya   Manusia Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMPMP) Kemendikbud, Jakarta. Di pundak Syawal saat itu dibebankan tanggung jawab berat. Ia harus menjamin desain besar mutu pendidikan di Indonesia. Seperti merpati yang ingat pulang, Syawalpun kembali ke Unimed. Mayoritas anggota Senat mendukung Syawal sebagai nahkoda Unimed. Sampai 2019 nanti, gerak Lembaga P