Oleh: Dedy Hutajulu
Menontonton acara kongres PSSI sabtu (9/7) menghangatkan ingatan saya pada semua kejadian yang belakangan menyeret PSSI ke ranah perbincangan publik. Mulai dari kisah pemakzulan Nurdin Halid dari kursi presiden PSSI sampai kongres yang selalu berakhir gagal. Gagal karena selain diwarnai perhelatan politik dan tarik-menarik kepentingan, bahkan nyaris selalu ricuh. Adegan demi adegan menandaskan bahwa perebutan kekuasaan masih mendominasi ketimbang niat memajukan bangsa lewat sepak bola.
Daya tarik magnet kekuasaan yang menggiurkan telah menyeret Nurdin Halid terhisap arus utama pusaran politisasi sepak bola. Dan iapun terimbas haus kekuasaan yang mengakibatkannya merasa enggan melepaskan kekuasaannya. Mundur dari jabatan secara elegan terasa janggal.
Tak hanya Nurdin Halid, di kancah politik serta pemerintahan menjadi pemandangan biasa bahwa mundur dari kekuasaan hanya dipandang sebagai sebuah aniaya. Tabu. Sehingga bila ada yang lain, yang berniat maju untuk membangun sepak bola, pintu kesempatan terasa amat sempit. Akibatnya pertarungan kekuasaanpun tak terhindarkan. Dan akibat yang kelak ditimbulkan tak jauh dari apa yang telah digariskan orang bijak: manajemen organisasi PSSI ibarat kucing dan anjing, sewaktu kecil kompak sudah dewasa selalu bertengkar. Tak bisa akur.
Tentu yang lebih menyebalkan adalah, setiap kali kongres yang terjadi adalah pemborosan, karena setiap itu pula tak menghasilkan apa-apa padahal uang yang digelontorkan dalam jumlah besar. Ibarat membuang garam ke lautlah. Sia-sia. Syukurlah, kongres usai sudah. Bahkan. Kongres bertajuk “luar biasa” itu alhasil berjalan lancar, damai, tanpa interupsi, dan jauh dari perdebatan meski melalui dua putaran.
Dan yang jauh lebih penting, rembuk nasional PSSI itu berlangsung tanpa kericuhan sebagaimana sebelumnya telah diprediksi dan dikawatirkan oleh banyak kalangan. Pesta hajatan kali ini selain berhasil menjaring Djohar Arifin Husein sebagai ketum dan Farid Rahman sebagai pasangannya. Rembuk kali ini juga berhasil memberi spirit baru bagi bangsa.
Hal ini tampak ketika Farid Rahman selaku sekjen PSSI sepertinya begitu memahami cara membangun tim yang solid. Ia terang-terangan di depan publik berterima kasih kepada pengurus sebelumnya. Ia mengatakan bahwa pengurus sebelumnya telah memberikan yang terbaik bagi PSSI dan masa depan persepak-bolaan Indonesia. Saya percaya, bahwa sikap rendah hati seperti ini mampu menumbuhkan kultur yang sehat dan iklim dinamis di tubuh PSSI dalam rangka mendorong kreativitas tiap pengurus baru PSSI serta menghadirkan kembali spirit kebangsaan.
Kiranya dengan pemerintahan baru di PSSI, persepakbolaan tanah air semakin jaya. Dan mudah-mudahan dengan dua figur yang diamanahkan menjalankan roda pemerintahan PSSI, mampu membawa sepak bola kita keluar dari zona kekelaman. Kiranya, restu seluruh masyarakat Indonesia yang meluap bagi mereka menjadi obor yang membakar semangat pengurus baru PSSI bekerja.
Namun, pembaca jangan sampai keliru. Kongres luar biasa tidaklah bisa disebut luar biasa jika hanya diukur dari seberapa ramai orang yang menghadiri hajatan, berapa pemirsa yang ikut menyaksikan jalannya kongres lewat tivi dan seberapa damai kongres itu berjalan atau di hotel termewah mana kongres itu digelar.
‘Keluarbiasaan’ kongres itu harus dinilai setelah kongres berlalu, yakni di hari-hari selanjutnya. Apakah kinerja dan kepemimpinan periode Djohar Arifin Husein-Farid Rahman selaku pengurus baru PSSI mampu menunjukkan tajinya sebagai organisasi yang mampu memajukan persepakbolaan di tanah air? Beranikah Djohar Arifin Husein mereformasi PSSI? Dan akankah PSSI membina usia muda atas nama sebak bola kita? Jika berhasil, berarti kongres itu benar-benar layak disebut luar biasa dan patut diapresiasi.
Bila memang ada niat membangun masa depan usia muda, maka restruktrurisasi di PSSi menjadi sebuah keniscayaan. Meski farid rahman dengan sikap rendah hati mengatakan bahwa pengurus (PSSI) sebelumnya telah berusaha dan telah berbuat yang terbaik bagi sepak bola Indonesia, dan tidak membuka borok pengusus sebelumnya, namun, saya yakin di dasar hatinya yang terdalam ia pasti mengakui bahwa masa kepengurusan Nurdin Halid telah membawa sepak bola tanah air ke masa-masa kelam. Dan kekelaman itu telah membekas begitu dalam.
Bekas itu menggariskan bahwa PSSI harus dibawa dari gelap kepada terang. Caranya, persepakbolaan kita menuntut banyak perubahan yang bukan sekedar tambal sulam. Tetapi, perlu perubahan mendasar seperti restrukturisasi, pematangan manajemen, serta pembinaan usia muda yang jelas-jelas sangat krusial.
Menjamurnya banyak liga di tanah air dewasa ini menandaskan bahwa betapa banyaknya jiwa muda yang cinta sepak bola, namun belum diakomodir secara utuh oleh PSSI. Sepakbola dan anak muda ibarat mata uang logam. Dua sisi hal yang saling berkaitan. Sisi pertama, pemaknaan atas sepak bola sebagai olahraga multiguna. Ia adalah simbol seperti kerja keras menjunjung tinggi sportivitas, berjiwa besar, sikap fair, teknik bermain, penempatan posisi yang benar sesuai kualifikasi tiap pemain serta solidaritas tim hingga ambisi merobek gawang lawan.
Sisi lain, pemaknaan kaum muda yang enerjik, kuat, kokoh, punya masa depan, dan bertanggung jawab atas masa depan bangsa. Dengan kata lain, sepak bola menjadi sarana jitu membina kaum muda untuk menjadi anak-anak Indonesia yang sportif, jujur, fair, mampu bekerja dalam tim, dan memiliki prinsip mau bekerja keras, saling mendorong, bahu membahu.
Tak sampai di situ, sepak bola dipercaya bisa menumbuhkan rasa nasionalisme yang dalam bagi kaum muda. Sepak bola satu permainan yang paling menarik dan anak muda jatuh cinta padanya. Begitu pertandingan dimulai semua pemain melakoni perannya dengan baik. Bola digelindingkan, sportivitas dilahirkan. Solidaritas ditabur, nasionalismepun dituai. Dan sorak penonton menjadi spirit bersama. Itulah bola dan cinta.
Dengan begitu, tak pelak pembinaan generasi muda (usia muda) diharapkan menjadi ujung tombak berkembangnya persepakbolaan kita. Jadi, PSSI amat perlu membenahi dulu fondasi-fondasinya. Tak perlu berambisi kuat untuk memenangkan kompetisi.
PSSI harus menyadari bahwa pemain-pemain muda adalah harta terbesar sepak bola Indonesia. Pemain muda memiliki kondisi yang tenang untuk berkembang. Tidak mudah diintervensi. Jika bijak Djohar A.H. selaku ketum PSSI terpilih tentu tidak akan menjadikan kemenangan sebagai prioritas utama, tetapi ia perlu memiliki kesabaran yang besar untuk mengembangkan kaum muda.
Pesan inilah yang harus dipahami oleh pengurus PSSI yang baru. Kalau tidak, bisa-bisa PSSI hanya sekedar berganti wajah. Ibarat wanita baru bangun pagi senangnya ber’make-up tanpa perlu mandi dan berbenah diri demi mendapat predikat: cantik.
Sepak bola memang mampu memberikan kesuksesan, ketenaran, popularitas. Tetapi, tanpa solidaritas terhadap Indonesia semuanya tak ada guna. Sepak bola juga punya daya magis yang mampu menghipnotis para mamak-mamak di kampung-kampung untuk melupakan harga sembako yang melejit ke angkasa. Menonton sepak bola membuat para mahasiswa terhibur dari segunung tugas kuliah yang menumpuk. Sepak bola juga memberi senyum lebar bagi para petani yang tiap hari dijerang matahari di sawah. Bagi para tukang becak, tukang cendol karena bola membuat mereka bisa melupakan tujuh sampai sepuluh masalah sehari-hari dan membuat rakyat melupakan semua rapor merah pemerintah.
Oleh sebab itu, kita berharap PSSI menjadi harapan rakyat. Kita percaya kepada pengurus baru akan bekerja memberikan yang terbaik untuk memajukan PSSI dan masa depan sepak bola kita di kancah regional maupun internasional. Selamat bekerja!
Menontonton acara kongres PSSI sabtu (9/7) menghangatkan ingatan saya pada semua kejadian yang belakangan menyeret PSSI ke ranah perbincangan publik. Mulai dari kisah pemakzulan Nurdin Halid dari kursi presiden PSSI sampai kongres yang selalu berakhir gagal. Gagal karena selain diwarnai perhelatan politik dan tarik-menarik kepentingan, bahkan nyaris selalu ricuh. Adegan demi adegan menandaskan bahwa perebutan kekuasaan masih mendominasi ketimbang niat memajukan bangsa lewat sepak bola.
Daya tarik magnet kekuasaan yang menggiurkan telah menyeret Nurdin Halid terhisap arus utama pusaran politisasi sepak bola. Dan iapun terimbas haus kekuasaan yang mengakibatkannya merasa enggan melepaskan kekuasaannya. Mundur dari jabatan secara elegan terasa janggal.
Tak hanya Nurdin Halid, di kancah politik serta pemerintahan menjadi pemandangan biasa bahwa mundur dari kekuasaan hanya dipandang sebagai sebuah aniaya. Tabu. Sehingga bila ada yang lain, yang berniat maju untuk membangun sepak bola, pintu kesempatan terasa amat sempit. Akibatnya pertarungan kekuasaanpun tak terhindarkan. Dan akibat yang kelak ditimbulkan tak jauh dari apa yang telah digariskan orang bijak: manajemen organisasi PSSI ibarat kucing dan anjing, sewaktu kecil kompak sudah dewasa selalu bertengkar. Tak bisa akur.
Tentu yang lebih menyebalkan adalah, setiap kali kongres yang terjadi adalah pemborosan, karena setiap itu pula tak menghasilkan apa-apa padahal uang yang digelontorkan dalam jumlah besar. Ibarat membuang garam ke lautlah. Sia-sia. Syukurlah, kongres usai sudah. Bahkan. Kongres bertajuk “luar biasa” itu alhasil berjalan lancar, damai, tanpa interupsi, dan jauh dari perdebatan meski melalui dua putaran.
Dan yang jauh lebih penting, rembuk nasional PSSI itu berlangsung tanpa kericuhan sebagaimana sebelumnya telah diprediksi dan dikawatirkan oleh banyak kalangan. Pesta hajatan kali ini selain berhasil menjaring Djohar Arifin Husein sebagai ketum dan Farid Rahman sebagai pasangannya. Rembuk kali ini juga berhasil memberi spirit baru bagi bangsa.
Hal ini tampak ketika Farid Rahman selaku sekjen PSSI sepertinya begitu memahami cara membangun tim yang solid. Ia terang-terangan di depan publik berterima kasih kepada pengurus sebelumnya. Ia mengatakan bahwa pengurus sebelumnya telah memberikan yang terbaik bagi PSSI dan masa depan persepak-bolaan Indonesia. Saya percaya, bahwa sikap rendah hati seperti ini mampu menumbuhkan kultur yang sehat dan iklim dinamis di tubuh PSSI dalam rangka mendorong kreativitas tiap pengurus baru PSSI serta menghadirkan kembali spirit kebangsaan.
Kiranya dengan pemerintahan baru di PSSI, persepakbolaan tanah air semakin jaya. Dan mudah-mudahan dengan dua figur yang diamanahkan menjalankan roda pemerintahan PSSI, mampu membawa sepak bola kita keluar dari zona kekelaman. Kiranya, restu seluruh masyarakat Indonesia yang meluap bagi mereka menjadi obor yang membakar semangat pengurus baru PSSI bekerja.
Namun, pembaca jangan sampai keliru. Kongres luar biasa tidaklah bisa disebut luar biasa jika hanya diukur dari seberapa ramai orang yang menghadiri hajatan, berapa pemirsa yang ikut menyaksikan jalannya kongres lewat tivi dan seberapa damai kongres itu berjalan atau di hotel termewah mana kongres itu digelar.
‘Keluarbiasaan’ kongres itu harus dinilai setelah kongres berlalu, yakni di hari-hari selanjutnya. Apakah kinerja dan kepemimpinan periode Djohar Arifin Husein-Farid Rahman selaku pengurus baru PSSI mampu menunjukkan tajinya sebagai organisasi yang mampu memajukan persepakbolaan di tanah air? Beranikah Djohar Arifin Husein mereformasi PSSI? Dan akankah PSSI membina usia muda atas nama sebak bola kita? Jika berhasil, berarti kongres itu benar-benar layak disebut luar biasa dan patut diapresiasi.
Bila memang ada niat membangun masa depan usia muda, maka restruktrurisasi di PSSi menjadi sebuah keniscayaan. Meski farid rahman dengan sikap rendah hati mengatakan bahwa pengurus (PSSI) sebelumnya telah berusaha dan telah berbuat yang terbaik bagi sepak bola Indonesia, dan tidak membuka borok pengusus sebelumnya, namun, saya yakin di dasar hatinya yang terdalam ia pasti mengakui bahwa masa kepengurusan Nurdin Halid telah membawa sepak bola tanah air ke masa-masa kelam. Dan kekelaman itu telah membekas begitu dalam.
Bekas itu menggariskan bahwa PSSI harus dibawa dari gelap kepada terang. Caranya, persepakbolaan kita menuntut banyak perubahan yang bukan sekedar tambal sulam. Tetapi, perlu perubahan mendasar seperti restrukturisasi, pematangan manajemen, serta pembinaan usia muda yang jelas-jelas sangat krusial.
Menjamurnya banyak liga di tanah air dewasa ini menandaskan bahwa betapa banyaknya jiwa muda yang cinta sepak bola, namun belum diakomodir secara utuh oleh PSSI. Sepakbola dan anak muda ibarat mata uang logam. Dua sisi hal yang saling berkaitan. Sisi pertama, pemaknaan atas sepak bola sebagai olahraga multiguna. Ia adalah simbol seperti kerja keras menjunjung tinggi sportivitas, berjiwa besar, sikap fair, teknik bermain, penempatan posisi yang benar sesuai kualifikasi tiap pemain serta solidaritas tim hingga ambisi merobek gawang lawan.
Sisi lain, pemaknaan kaum muda yang enerjik, kuat, kokoh, punya masa depan, dan bertanggung jawab atas masa depan bangsa. Dengan kata lain, sepak bola menjadi sarana jitu membina kaum muda untuk menjadi anak-anak Indonesia yang sportif, jujur, fair, mampu bekerja dalam tim, dan memiliki prinsip mau bekerja keras, saling mendorong, bahu membahu.
Tak sampai di situ, sepak bola dipercaya bisa menumbuhkan rasa nasionalisme yang dalam bagi kaum muda. Sepak bola satu permainan yang paling menarik dan anak muda jatuh cinta padanya. Begitu pertandingan dimulai semua pemain melakoni perannya dengan baik. Bola digelindingkan, sportivitas dilahirkan. Solidaritas ditabur, nasionalismepun dituai. Dan sorak penonton menjadi spirit bersama. Itulah bola dan cinta.
Dengan begitu, tak pelak pembinaan generasi muda (usia muda) diharapkan menjadi ujung tombak berkembangnya persepakbolaan kita. Jadi, PSSI amat perlu membenahi dulu fondasi-fondasinya. Tak perlu berambisi kuat untuk memenangkan kompetisi.
PSSI harus menyadari bahwa pemain-pemain muda adalah harta terbesar sepak bola Indonesia. Pemain muda memiliki kondisi yang tenang untuk berkembang. Tidak mudah diintervensi. Jika bijak Djohar A.H. selaku ketum PSSI terpilih tentu tidak akan menjadikan kemenangan sebagai prioritas utama, tetapi ia perlu memiliki kesabaran yang besar untuk mengembangkan kaum muda.
Pesan inilah yang harus dipahami oleh pengurus PSSI yang baru. Kalau tidak, bisa-bisa PSSI hanya sekedar berganti wajah. Ibarat wanita baru bangun pagi senangnya ber’make-up tanpa perlu mandi dan berbenah diri demi mendapat predikat: cantik.
Sepak bola memang mampu memberikan kesuksesan, ketenaran, popularitas. Tetapi, tanpa solidaritas terhadap Indonesia semuanya tak ada guna. Sepak bola juga punya daya magis yang mampu menghipnotis para mamak-mamak di kampung-kampung untuk melupakan harga sembako yang melejit ke angkasa. Menonton sepak bola membuat para mahasiswa terhibur dari segunung tugas kuliah yang menumpuk. Sepak bola juga memberi senyum lebar bagi para petani yang tiap hari dijerang matahari di sawah. Bagi para tukang becak, tukang cendol karena bola membuat mereka bisa melupakan tujuh sampai sepuluh masalah sehari-hari dan membuat rakyat melupakan semua rapor merah pemerintah.
Oleh sebab itu, kita berharap PSSI menjadi harapan rakyat. Kita percaya kepada pengurus baru akan bekerja memberikan yang terbaik untuk memajukan PSSI dan masa depan sepak bola kita di kancah regional maupun internasional. Selamat bekerja!
Komentar