Langsung ke konten utama

Menghadiahkan Gedung Mewah bagi Pembolos?


Oleh: Dedy Hutajulu

Belakangan ini, wacana pembangunan gedung baru mulai diungkit balik. Sejumlah elit politik dari partai penguasa seperti Sutan Batu Ghana bersikukuh mengatakan bahwa pembangunan gedung adalah hal yang mutlak. Dari perdebatannya dengan Emerson Junto, peneliti ICW (dalam diskusi di TVOne, 28/3) seolah-olah mengatakan bahwa pembangunan gedung tidak bertentangan dengan prosedur yang ditentukan.
Emerson Junto memang sangat cerdik menampik semua keterangan praktisi politik dari Partai demokrat itu dengan mengkalkulasikan dana Rp 1 M itu dan membandingkannya terhadap ribuan sekolah yang bisa dibangun. Apalagi, fakta bahwa gedung lama masih layak pakai. Jadi, tidak ada alasan kuat yang mengharuskan wakil rakyat menggolkan pembangunan gedung baru.
Kalau kita kaitkan dengan syarat pembangunan gedung yang mengharuskan lokasi pembangunan gedung harus memiliki minimal 30 persen ruang terbuka hijau (RTH), maka gedung baru harus kandas di tengah jalan, sebab, RTH DKI Jakarta tinggal sembilan persen saja. Itu berarti, pembangunan gedung 36 tingkat itu sangat bertentangan. Lahan hijau yang tinggal sedikit adalah efek dari pembangunan yang kebablasan. Pertimbangan RTH tidak boleh disepelekan begitu saja.
Namun, ada pertimbangan lain yang membuat masyarakat benar-benar merasa siap menolak mentah-mentah pembangunan gedung itu. Pertama, perilaku buruk seperti tanpa etika di saat sidang dan rajin bolos kerap dipertontonkan wakil rakyat. Bukan hanya itu, berulang kali anggota DPR mengulah. Mereka telah menghambur-hamburkan uang milyaran rupiah untuk kegiatan yang tak tentu hasilnya apa, seperti study banding ke luar negeri.
Jadi, bukan hanya karena sering bolos dari sidang sehingga DPR menjadi buah bibir banyak orang, tetapi juga karena sepanjang tahun 2010 yang lalu DPR minim prestasi. Sejak semester pertama hingga hari ini, anggota DPR hanya mampu menyelesaikan sedikit sekali undang undang. Dari 70 RUU yang ditargetkan. DPR hanya mampu menggodok tujuh UU dan dari ketujuh UU tersebut hanya satu yang masuk program legislasi nasional (PROLEGNAS). Nafsu besar tenaga kurang. Seperempat dari targetpun tak tercapai. Sungguh memalukan!
Namun, meski minim prestasi dan dicap berprilaku buruk, DPR masih saja terus berulah. Sejak awal DPR ngotot membangun gedung barunya. Mereka sering mendengung-dengungkan maket gedung baru sebagai symbol perubahan. Perubahan apa? Nyata-nyatanya, di tengah kemiskinan dan getirnya penderitaan rakyat, anggota DPR malah sibuk memikirkan sarana-dan prasarana tanpa ada tindakan yang berarti bagi rakyat. Inilah alasan kedua, bahwa maket gedung baru sebagai simbol perubahan hanyalah kebohongan semata.
Kita masih ingat bagaimana kisah DPR yang menginginkan dibentuknya dana aspirasi tapi ditolak keras oleh masyarakat. Seperti tak patah arang, untuk memuluskan jalan mereka menikmati kekuasaan, DPR kemudian mengubah rencananya dengan menggulirkan isu rumah aspirasi. Hasilnya, sama saja: Ditolak!
Lantas, pembangunan masih perlu dilanjutkan? Masyarakat sudah gerah. Melihat kinerja wakil rakyat yang minim prestasi tapi minta fasilitas yang serba mewah,  rasanya wajar jika masyarakat pesimis-skeptis. Karena itu, wakil rakyat bercerminlah dulu. Jika masyarakat menuntut keras, itu karena kinerja wakil rakyat belum kelihatan. Seandainya, beberapa masalah yang melilit rakyat selama ini telah dicarikan jalan keluar, kita pamor wakil rakyat akan dengan sendirinya mekar.
Sayangnya, wakil rakyat terjebak dalam pencitraan yang digalinya sendiri. Lebih banyak energi dan waktu tercurah untuk mendulang citra diri ketimbang menyelesaikan masalah bangsa. Alasan DPR membangun gedung baru untuk perubahan dan perbaikan kinerja adalah jalan pintas yang dianggap pantas. Fasilitas bukanlah jawaban tepat. Bagus-tidaknya kinerja seseorang tidaklah seutuhnya ditentukan oleh ketersediaan fasilitas yang memadai. Justru, ketika seseorang mampu menunjukkan hasil yang benar-benar berdampak bagi orang lain, meski fasilitasnya serba terbatas (bahkan sangat memprihatinkan), disitulah kinerja pantas disebut luar biasa.
Maka, seharusnya tuntutan pembatalan gedung baru segera direalisasikan DPR. Bukan malah sekedar meredam kemarahan rakyat. DPR harus membuka telinga lebar-lebar. Tak baik jika DPR hanya sekedar mengulur-ulur waktu dengan menunda-nunda pembangunan gedung, mencari celah hingga masyarakat lengah, lalu mewujudkan akal bulus mereka untuk mendapat gedung yang nyaman.
Para wakil rakyat perlu kita pertanyakan sesuatu. Anggota dewan terpilih rajin diskusi di sana-sini, studi banding keluar negeri, studi case, dan mampu membangun wacana. Itu wajar-wajar saja dilakukan wakil rakyat. Tapi, evaluasi: bagaimana cara bernalar mereka sekarang? Adakah peningkatan cara berpikir yang lebih baik dari tahun ke tahun? Apakah setelah mereka studi banding ke luar negeri maka kemampuan berpikirnya makin tajam? Pertanyaan lebih sederhana adalah: Apakah mereka kini mampu menyelesaikan Undang-undang yang lebih banyak dari target yang ditetapkan?
Perilaku buruk wakil rakyat harus segera diakhiri. Sebab DPR bukan hanya mengingkari amanah rakyat tetapi sikap tidak benar demikian telh ikut menciderai kemanusiaan. Wakil rakyat adalah teladan masyarakat. Oleh sebab itu, yang terpenting  dilakukan wakil rakyat saat ini adalah kinerja yang berkualitas. Kita tidak sudi menghadiahkan sesuatu yang berharga bagi para pembolos. Karena kita masih menaruh harapan besar terhadap wakil rakyat. Langkah yang mesti ditempuh adalah hentikan pembangunan gedung baru DPR. Dan tuntaskanlah tugas pelayanan kepada rakyat. Hentikan pembangunan. Sekarang, saatnya melayani.
 
Penulis adalah ketua Perkamen

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dicari Caleg Perduli Parmalim*

Banyak calon legislatif menduga komunitas Parmalim bakal golput. Tetapi Parmalim menampiknya. Dugaan itu muncul karena para caleg ternyata sama sekali tak mengenal apa itu Parmalim. Celakanya, kaum Parmalim juga tidak mengenal kandidatnya. Bagaimana nasib pemilu kita nanti? Oleh Dedy Hutajulu Desi (kanan) dan rekan-rekannya di depan Bale Parsattian (rumah ibadah Parmalim) di Jalan Air Bersih, Medan, Sabtu (8/3).--foto dedy hutajulu  DESI SIRAIT malu-malu saat lensa kamera diarahkan kepadanya. Ia memalingkan wajah. Di depan Bale Parsattian ia bercengkerama bersama teman sebaya. Bale Parsattian sebutan bagi rumah ibadah komunitas Parmalim. Bale Parsattian ini terletak di Jalan Air Bersih, Medan. Desi Sirait baru berusia 19 tahun. Ini tahun pertama baginya mengikuti pemilu. Ketika ditanya: nyoblos atau tidak? Desi tak langsung menjawab. Ia berpikir dalam-dalam. “Aku takut nanti salah ­­bicara. Jadi masalah pula bagi ugamo kami,” katanya. Desi berasal dari Pemantang

Kalang Baru dan Kenangan di Bondar

aku cuma cuci muka di air bondar Kesal. Kesal banget terus dikibuli si Rindu Capah. Dia ajak kami , katanya cebur ke sungai. Aku sudah senang. Buru-buru keluar dari rumahnya. Berlari sambil bawa kamera dan sabun dan odol.  Aku berharap pagi ini dapat suasana sungai yang indah di Kalang Baru, Sidikalang. Poto unutk oleh-oleh ke Medan. Kami bertiga berjalan menyusuri kebun kopi. Masuk lewat jalan-jalan tikus. Melewati rerimbunan bambu. Turun ke bawah dengan tangga-tanggah tanah yang dibentuk sedemikian rupa supaya serupa tangga. Cukup curam turunan itu. Di bawah tampak aliran sungai melintasi selokan-selokan yang berdempetan dengan sawah.  Banyak remaja dan gadis-gadis di bawah sedang mencuci dan mandi. Kami harus teriak "Lewat..atau Boa" baru mereka menyahut dan kami bis alewat. Begitu tiba di bawah, kukira kami akan berjalan masih jauh lagi menuju sungai yang dibilang Rindu. Tahu-tahunya, sungai yang di maksud adalah selokan ini. Gondok benar hatiku. "I

Syawal Gultom: Unimed Bagi Negeri

Oleh Dedy Hutajulu   Berkarir tinggi sampai ke Jakarta, tak membuat Syawal Gultom melupakan Unimed. Ia pulang membawa pengetahuan baru, biarKampus Hijau bisa menjadi pandu bagi negeri. Syawal Gultom LELAKI itu bangkit dari kursi. Ia tinggalkan setumpuk pekerjaan hanya demi menyambutku. Ruangan kami bertemu hanya seluas lapangan volley. Diisi banyak buku. Di tengah ruangan, ada sebuah meja dengan sofa yang disusun melingkar.Sofa itu biasa dipakai untuk menjamu paratamu.Laki-laki yang dimaksud adalah Syawal Gultom. Rektor baru Unimed.  Periode sebelumnya Syawal mengabdikan diri sebagai Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya   Manusia Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMPMP) Kemendikbud, Jakarta. Di pundak Syawal saat itu dibebankan tanggung jawab berat. Ia harus menjamin desain besar mutu pendidikan di Indonesia. Seperti merpati yang ingat pulang, Syawalpun kembali ke Unimed. Mayoritas anggota Senat mendukung Syawal sebagai nahkoda Unimed. Sampai 2019 nanti, gerak Lembaga P