Oleh: Dedy Hutajulu*
Hanya mereka yang mungkin putus asa karena dirundung malang yang amat sangat beratlah barang kali yang ingin mati. Di luar itu, tak ada satupun yang ingin cepat-cepat mati. Bahkan sopir ugal-ugalan sekalipun itu. Mereka tak ada niat bunuh diri.
Pahit dan getirnya hidup rentan membuat frustasi, kehilangan arah bahkan bila pergumulan hidup sampai kelewat batas bisa membuat seseorang menjadi gila dan lebih memilih mengakhiri hidupnya saja. Tapi harap dimaklumi, kejadian tabrakan di jalanan bukanlah semata-mata dikarenakan sopir yang ugal-ugalan. Ada seribu satu alasan untuk hal itu.
Hari yang naas bagi penumpang angkot bisa saja datang dari sopir, bisa juga dari kendaraan lain, atau dari penumpang itu sendiri. Intinya factor luar dan factor dalam saling mempengaruhi dan berkaitan. Psikologis sopir misalnya yang tidak stabil ditambah cerewetan, plus jalan yang berlobang-lobang serta cuaca ekstrem. Tentu jalanan menjadi amat berbahaya.
Tapi, jika gara-gara hal sepele seperti ugal-ugalan, memotong kendaraan lain, menerobos lampu merah sampai menghilangkan nyawa, sopir yang ugal-ugalan tersebut tak bisa dimaafkan. Memang, pekerjaan sebagai sopir angkot bukanlah pilihan, tetapi karena keterpaksaan. Meski demikian siapapun yang bekerja sebagai pengemudi, hendaklah menyadari ada tanggung jawab besar saat dia memegang setir. Nyawa penumpang jauh lebih berharga dari setorang yang ingin didapat.
Para pengemudi (sopir) perlu terus mengingat bahwa keselamatan penumpang jauh lebih berharga dari apapun, bahkan para sopir harus meletakkan keselamatan penumpang ketimbang keselamatan dirinya sendiri. Itu idealnya.
Komentar