Langsung ke konten utama

Negeri Segudang Absurditas



Oleh Dedy Hutajulu

Bak perempuan renta yang sedang hamil tua, begitulah Indonesia. Perutnya yang membuncah berisi segudang masalah, siap meletus melahirkan kehancuran demi kehancuran. Bangsa yang limbung karena tak tahan akan rasa sakit yang berkepanjangan tanpa ada penyelesaian atas rasa sakit itu sendiri.
Rasa sakit yang dari dalam itu memancing kita untuk merenung: ada apa dengan bangsa ini? Hasil perenungan kita membuktikan bahwa kristalisasi dari kejadian yang muncul di tanah air belakangan ini, semua rasa sakit, ketidaknyamanan, dan penderitaan itu adalah buah dari getolnya pemerintah melahirkan absurditas demi absurditas.
            Di luar nalar, kejadian itu datang susul-menyusul. Seolah-olah dibalik satu kejadian sudah mengantre sederet panjang problema lain yang tak kalah sengitnya akan mendera. Kasus yang satu masih menggantung, kasus lain sudah ditelurkan. Masalah seperti beranak-pinak, membiak dan berkembang sangat pesat seperti virus.
Bahkan, semua masalah itu seperti tak terhindarkan. Sebutlah benih korupsi yang berkecambah di semua sektor, ada yang sudah jelas-jelas berstatus terdakwa korupsi malah dilantik menjadi walikota. Ada pula kejadian tukar-menukar tahanan, ada yang bebas keluar-masuk bui sampai 68 kali, kasus menyuap kepala lapas, sindikat narkoba yang dipelopori kepala penjara.
Di tambah lagi, ribut-ribut soal hak angket yang jelas-jelas telah menimbulkan kegaduhan politik. Hak angket diperdepatkan seputar apakah hak angket itu penting atau tidak, serta keberhasilan presiden SBY dan partai demokrat yang menang tipis (selisih 2 suara) justru berujung pada politik saling mengancam. Wakil rakyat yang suaranya berseberangan dengan pihak pemenang—yang menolak hak angket—diancam akan didepak dari koalisi.
Pihak yang merasa posisinya terancam, kerap memilih jalan meributi politik demi mengelabui musuh politiknya. Bahkan, sikap balas mengancam ’siap keluar dari koalisi’ seperti mempengaruhi psikologi partai pemenang. Dan cara mengantisipasi keributan politik seperti itu justru diselesaikan dengan cara berdamai. Tidak ada yang siap ambil resiko. Kedua belah pihak ’terpaksa’ berdamai demi kepentingan politik masing-masing yang menyiratkan bakal meminta jatah kekuasaan. Buntutnya bisa diprediksi, lagi-lagi nasib rakyat diabaikan.
Jadi, apa gunanya kegaduhan politik itu? Kita tidak tahu. Yang pasti, kegaduhan itu tidak mengasilkan apa-apa bagi rakyat Indonesia, justru hiruk-pikuk politik semakin menandaskan bahwa nasib rakyat benar-benar dipinggirkan.
wajar-wajar saja keributan politik terjadi, asal tetap berada dalam koridor yang benar. Jangan sampai kesejahteraan rakyat diabaikan. Kepentingan dan nasib rakyat haruslah yang utama. Oleh sebab itu arah politik kebangsaan tidak boleh menyimpang dari tujuan utama: mewujudkan kesejahteraan rakyat. Karena kesejahteraan rakyat adalah di atas segala kepentingan.
Ada lagi yang tak kalah seru. Konon kabarnya, pertumbuhan ekonomi sebesar enam persen itu (yang sering digembar-gemborkan sebagai keberhasilan pemerintah) dinilai banyak kalangan bukanlah prestasi pemerintah, melainkan pencapaian atas kerja keras masyarakat itu sendiri. Ekonomi bertumbuh bukanlah karena prestasi pemerintah melainkan buah kerja keras rakyat, yang setiap hari bekerja membanting tulang, sedang pemerintah terjebak dengan politik yang saling mengunci.
Kita juga masih ingat berita teror bom yang dinilai sebagai pengalihan isu atas berita yang menyangkut presiden dan sejumlah pihak istana negara. Apakah benar presiden SBY menggunakan kekuasaannya (abuse of power) untuk melanggengkan rezimnya? Apakah benar mantan presiden Jusuf Kalla juga terlibat politik uang dalam pemilihan ketua umum Golkar periode lalu? Tak ada kebenaran yang bisa diungkap. Yang pasti teror bom telah menyita perhatian pemerintah dan berhasil membuat rakyat hidup dalam ketakutan.
Terlepas dari wacana terorisme atau pengalihan isu, teror bom jelas erat kaitannya dengan ketidaktegasan pemerintah saat ini. Ketegasan pemerintah yang terlalu tolerir terhadap masalah penegakan hukum telah memberi ruang gerak bagi teroris untuk bertindak leluasa. Terbukti, kinerja koordinasi inteligen lambat, lapas menjadi pasar perdagangan narkotika, penegakan hukum yang tumpul ke atas adalah pertanda kendornya sikap tegas pemerintah, khususnya presiden SBY.
Muara paling nyata dari ketidaktegasan itu adalah maraknya kasus korupsi. Banyaknya kasus korupsi, kerugian yang ditimbulkan, dan pemimpin yang tersandung, serta efeknya bagi keutuhan bangsa kini menjadi bahan perenungan bagi kita semua.
Jadi, bila pemerintah tidak segera berubah sikap dan tetap tolerir atas semua masalah hukum di negeri ini, maka harapan perubahan hanya seujung kuku. Kita berharap, kepada semua pemimpin di negeri ini dari atas sampai bawah hendaklah bersikap tegas dalam memimpin bangsa ini. Tindak tegas segala kecurangan. Pemerintah dan semua penegak hukum bekerjalah membela rakyat. Jangan sampai negeri ini dicap bangsa lain sebagai ”Negeri Segudang Absurditas”.***

Penulis bergiat dan berbahagia aktif di Perkamen

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dicari Caleg Perduli Parmalim*

Banyak calon legislatif menduga komunitas Parmalim bakal golput. Tetapi Parmalim menampiknya. Dugaan itu muncul karena para caleg ternyata sama sekali tak mengenal apa itu Parmalim. Celakanya, kaum Parmalim juga tidak mengenal kandidatnya. Bagaimana nasib pemilu kita nanti? Oleh Dedy Hutajulu Desi (kanan) dan rekan-rekannya di depan Bale Parsattian (rumah ibadah Parmalim) di Jalan Air Bersih, Medan, Sabtu (8/3).--foto dedy hutajulu  DESI SIRAIT malu-malu saat lensa kamera diarahkan kepadanya. Ia memalingkan wajah. Di depan Bale Parsattian ia bercengkerama bersama teman sebaya. Bale Parsattian sebutan bagi rumah ibadah komunitas Parmalim. Bale Parsattian ini terletak di Jalan Air Bersih, Medan. Desi Sirait baru berusia 19 tahun. Ini tahun pertama baginya mengikuti pemilu. Ketika ditanya: nyoblos atau tidak? Desi tak langsung menjawab. Ia berpikir dalam-dalam. “Aku takut nanti salah ­­bicara. Jadi masalah pula bagi ugamo kami,” katanya. Desi berasal dari Pemantang

Kalang Baru dan Kenangan di Bondar

aku cuma cuci muka di air bondar Kesal. Kesal banget terus dikibuli si Rindu Capah. Dia ajak kami , katanya cebur ke sungai. Aku sudah senang. Buru-buru keluar dari rumahnya. Berlari sambil bawa kamera dan sabun dan odol.  Aku berharap pagi ini dapat suasana sungai yang indah di Kalang Baru, Sidikalang. Poto unutk oleh-oleh ke Medan. Kami bertiga berjalan menyusuri kebun kopi. Masuk lewat jalan-jalan tikus. Melewati rerimbunan bambu. Turun ke bawah dengan tangga-tanggah tanah yang dibentuk sedemikian rupa supaya serupa tangga. Cukup curam turunan itu. Di bawah tampak aliran sungai melintasi selokan-selokan yang berdempetan dengan sawah.  Banyak remaja dan gadis-gadis di bawah sedang mencuci dan mandi. Kami harus teriak "Lewat..atau Boa" baru mereka menyahut dan kami bis alewat. Begitu tiba di bawah, kukira kami akan berjalan masih jauh lagi menuju sungai yang dibilang Rindu. Tahu-tahunya, sungai yang di maksud adalah selokan ini. Gondok benar hatiku. "I

Syawal Gultom: Unimed Bagi Negeri

Oleh Dedy Hutajulu   Berkarir tinggi sampai ke Jakarta, tak membuat Syawal Gultom melupakan Unimed. Ia pulang membawa pengetahuan baru, biarKampus Hijau bisa menjadi pandu bagi negeri. Syawal Gultom LELAKI itu bangkit dari kursi. Ia tinggalkan setumpuk pekerjaan hanya demi menyambutku. Ruangan kami bertemu hanya seluas lapangan volley. Diisi banyak buku. Di tengah ruangan, ada sebuah meja dengan sofa yang disusun melingkar.Sofa itu biasa dipakai untuk menjamu paratamu.Laki-laki yang dimaksud adalah Syawal Gultom. Rektor baru Unimed.  Periode sebelumnya Syawal mengabdikan diri sebagai Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya   Manusia Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMPMP) Kemendikbud, Jakarta. Di pundak Syawal saat itu dibebankan tanggung jawab berat. Ia harus menjamin desain besar mutu pendidikan di Indonesia. Seperti merpati yang ingat pulang, Syawalpun kembali ke Unimed. Mayoritas anggota Senat mendukung Syawal sebagai nahkoda Unimed. Sampai 2019 nanti, gerak Lembaga P