31 May 2010
TIDAK ada yang menyangkal bahwa indikator paling sederhana tingginya kesadaran hukum suatu bangsa dinilai dari kepatuhan berlalu lintas. Sebab lalu lintas adalah urat nadi kehidupan suatu bangsa dan tertib berlalu lintas adalah cermin masyarakat yang sadar hukum. Jadi apakah bangsa kita ini bisa dikatakan sebagai bangsa yang kesadaran hukumnya tinggi?
Fakta di lapangan menceritakan dengan jelas betapa negeri ini penuh dengan keegoisan. Manusianya senang memaksakan kehendak, individualistis dan konsumeristis. Apa bukti? Lihat saja kota kita. Setiap hari ramai dengan bunyi klakson mobil yang semrawut, dan diperparah hiruk pikuk manusia dan ingar bingar kota yang hidup di tengah kebisingan dan debu jalanan. Semua itu mengarah ke tingkah laku yang buruk.
Kota semakin menggila!
Kita jenuh melihat kemacetan setiap hari dan lelah dengan polusi yang tak kenal kompromi. Mata perih akibat debu. Telingapun perlahan-lahan semakin tuli mendengar bunyi-bunyi yang klakson mobil yang bersahut-sahutan.
Kerusakan jalan menjadi faktor utama kemacetan lalu lintas. Sementara itu, kerusakan jalanan dipicu penggunaan dana perbaikan jalan yang kurang tepat sasaran. Faktor lainnya adalah jumlah kendaraan yang membludak. Hal itu karena tidak adanya kebijakan pemerintah daerah yang mengatur jumlah kendaraan bermotor, misalnya berapa jumlah normal angkutan, kepemilikan mobil pribadi, hingga jumlah pengendara sepeda motor. Hal itu sangat penting mengingat jumlah kendaraan sudah berlebih.
Selanjutnya adalah keegoisanpara pengguna jalan, khususnya para pengendara sepeda motor. Mereka sering sesuka hati, menelikung di sana-sini, menyalip kendaraan di depannya, dan menerobos saat lampu merah. Prinsipnya adalah asal kepala keretanya muat, langsung main serobot. Belum lagi masalah perbaikan jalan yang sekadar tambal sulam, rakyat tidak tahu-menahu kompleksitas masalah, tapi harus ikut menanggung dampak buruknya pelayanan publik.
Risih kedengarannya alasan yang mengatakan dana untuk perbaikan infrastruktur minim. Apalagi semenjak pemberlakuan otonomi daerah. Artinya setiap daerah punya anggaran dana tersendiri untuk membangun jalan raya di kota masing-masing.
Dedy Gunawan Hutajulu
Medan
Fakta di lapangan menceritakan dengan jelas betapa negeri ini penuh dengan keegoisan. Manusianya senang memaksakan kehendak, individualistis dan konsumeristis. Apa bukti? Lihat saja kota kita. Setiap hari ramai dengan bunyi klakson mobil yang semrawut, dan diperparah hiruk pikuk manusia dan ingar bingar kota yang hidup di tengah kebisingan dan debu jalanan. Semua itu mengarah ke tingkah laku yang buruk.
Kota semakin menggila!
Kita jenuh melihat kemacetan setiap hari dan lelah dengan polusi yang tak kenal kompromi. Mata perih akibat debu. Telingapun perlahan-lahan semakin tuli mendengar bunyi-bunyi yang klakson mobil yang bersahut-sahutan.
Kerusakan jalan menjadi faktor utama kemacetan lalu lintas. Sementara itu, kerusakan jalanan dipicu penggunaan dana perbaikan jalan yang kurang tepat sasaran. Faktor lainnya adalah jumlah kendaraan yang membludak. Hal itu karena tidak adanya kebijakan pemerintah daerah yang mengatur jumlah kendaraan bermotor, misalnya berapa jumlah normal angkutan, kepemilikan mobil pribadi, hingga jumlah pengendara sepeda motor. Hal itu sangat penting mengingat jumlah kendaraan sudah berlebih.
Selanjutnya adalah keegoisanpara pengguna jalan, khususnya para pengendara sepeda motor. Mereka sering sesuka hati, menelikung di sana-sini, menyalip kendaraan di depannya, dan menerobos saat lampu merah. Prinsipnya adalah asal kepala keretanya muat, langsung main serobot. Belum lagi masalah perbaikan jalan yang sekadar tambal sulam, rakyat tidak tahu-menahu kompleksitas masalah, tapi harus ikut menanggung dampak buruknya pelayanan publik.
Risih kedengarannya alasan yang mengatakan dana untuk perbaikan infrastruktur minim. Apalagi semenjak pemberlakuan otonomi daerah. Artinya setiap daerah punya anggaran dana tersendiri untuk membangun jalan raya di kota masing-masing.
Dedy Gunawan Hutajulu
Medan
Komentar