Oleh : Dedy Hutajulu*
Siapapun, selaku manusia yang berkepercayaan, bertanggung jawab atas kondisi bangsa, bahkan dunia dimana dia berada. Tak terkecuali mahasiswa, statusnya sebagai warga negara Indonesia, turut-serta bertanggung jawab atas keberlangsungan demokrasi di republik ini.
Sayangnya, mendiskusikan pernyataan di atas dengan melihat realita hari ini, memberi perasaan yang sangat tidak mengenakkan, bahkan menyesakkan dada. Kenyataan pahit ini terkait erat dengan berbagai permasalahan pelik bangsa yang tak henti-hentinya mendera pancasila dalam hiru-biru perkembangan politik Indonesia saat ini. Beberapa diantaranya adalah kasus rekening bendut Polri, makelar hukum, reformasi ditubuh polri yang masih tersendat, tingkah-pongah wakil rakyat yang kian tak tertebak, dan maraknya korupsi, dan aneka permasalahan lainnya.
Rasanya, para petinggi negeri ini, para elit politik di DPR dan para penegak hukum tak mampu membangun demokrasi yang seutuhnya. Mereka tak lagi hadir sebagai presentasi rakyat, sehingga ketimpangan antara rakyat dengan wakilnya kian lebar. Rasa kepedulian dan keberpihakan DPR kepada konstituennya runtuh sudah hingga akhirnya mosi tak percaya selalu menyelimuti pikiran rakyat saat DPR mencoba melemparkan usulan. Fenomena ini sangat membahayakan nasib demokrasi kita.
Yang paling mengecewakan adalah maraknya kasus korupsi dewasa ini. Di tengah gencarnya ikhtiar pemberantasan korupsi hingga SBY-Boediono meletakkannya sebagai salah satu agenda utama dalam masa pemerintahannya 2009-2014, namun perilaku busuk ini tak kunjung berkurang. Menurut data ICW, pada semester I dari 1 januari 2010 hingga juli 2010, perkara korupsi yang terbongkar ada sebanyak 176 kasus dengan 441 tersangka dan kerugian negara mencapai Rp. 2,1 triliun (kompas, 5/8/210). Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa penegakan hukum belum mampu membuat efek jera bagi para koruptor. Yang paling menggegerkan adalah laporan ICW saat memberitakan provinsi-provinsi terkorup di negeri ini (metrotv live, 5/8/2010). Menyebarnya korupsi ke daerah dan banyaknya kepala daerah yang terjerat korupsi mengindikasikan ada yang salah dalam proses pilkada, dengan pemilihan kepala daerah dan politik bagi-bagi hadiah menjadi tren korupsi yang paling banyak terjadi (kompas, 5/8/2010).
Refleksi dirgahayu 65 tahun Indonesia agustus lalu, korupsi telah mencoreng wajah republik, memukul telak tubuh demokrasi kita hingga terhuyung-huyung. Umur panjang yang Sang Khalik telah anugerahkan bagi demokrasi kita, semestinya mampu menunjukkan kedewasaan moral bagi kita semua dalam menyikapi setiap masalah bangsa dan membangun bangsa ini. Dalam kacamata pancasila sebagai ideologi dan haluan bangsa, korupsi jelas sangat ditentang. Bukan hanya karena memukul sendi-sendi perekonomin rakyat, tetapi juga sebagai perilaku busuk, yang gagah merusak moral bangsa, bahkan kuat menjatuhkan martabat bangsa kita di mata dunia.
Semua kondisi tersebut dimungkinkan sebagai akibat ketiadaan visi dan kepemimpinan yang berani. Tanpa visi yang jauh ke depan dan kepemimpinan yang berani bertindak secara meyakinkan melawan korupsi, maka masa depan bangsa ini seumpama bocah kecil yang buta sedang berjalan menuju jurang kehancuran.
Seperti bocah buta itu, bangsa inipun telah kehilangan penglihatannya, buta dan tak tentu arah. Jamak diketahui, gairah untuk bekerja dari kalangan elit politik dan pemerintah amat sulit ditemukan. Kita tidak saja kehilangan semangat untuk maju, tetapi juga kehilangan visi. Kita mengabaikan sesuatu yang semestinya tak boleh dilalaikan.
Bukan menjadi pokok permasalahan siapa yang bertanggung jawab atas kelalaian tersebut, namun, mengugmulkan kembali visi bangsa ini rasanya amat relevan saat ini. Sebab tanpa visi yang jauh ke depan dan tanpa kepemimpinan yang berani, harapan perubahan ibarat gong yang gemerincing. Sebuah visi harus dijabarkan lalu ditularkan. Bila tidak, visi itu hanyalah mimpi (hayalan), tanpa hasil.
Kegagalan bangsa ini terjadi karena kegagalan menerjemahkan visi yang membawa perubahan. Gagal mentransformasi nilai-nilai pancasila di dalam sanubari setiap insan Indonesia. Pembaharuan akal-budi belum utuh terintegrasi, yang pada kkhirnya berujung pada hilangnya rasa nasionalisme di kalangan kaum muda. Inilah kegagalan yang amat gagal.
Gagalnya proses tranformasi tak lain karena alpanya pemerintah memaknai perannya sebagai pemimpin visioner, serta lemahnya kepemimpinan yang berani dalam mewujudkan masa depan bangsa ini. Para pemimpin di akhir periodenya tak jarang meninggalkan warisan korupsi yang kian busuk kepada penerus-penerusnya turun temurun. Regenerasi kepemimpinan seperti ini tentu sarat kebohongan dan rentan korupsi.
Barangkali, kita tak (lagi) bisa banyak berharap kepada para elit politik saat ini, mengingat tabiat buruk mereka pertontonkan belakangan ini—meski tidak semua elit seperti itu—namun, fakta berbicara bahwa selain usia mereka sudah banyak yang menanjak tinggi, juga banyak kasus mengindikasikan bahwa saat ini dalam segala hal, kita amat telah kehilangan kepercayaan kepada mereka.
Dengan realita ini, kita harus melihat ini sebagai sebuah kesempatan untuk berkiprah, bukan lagi memaknai kelemahan. Langkanya pemimpin teladan harus menjadi stimulus bagi kesadaran mahasiswa untuk berkiprah bagi negeri ini. Mahasiswa sebagai intelektual muda punya peran yang strategis dalam memberi solusi terhadap berbagai problema bangsa hari ini. Maka kampus sebagai lembaga pendidikan bertugas mencetak agen-agen pembaharu bangsa. Sebagai sarana strategis dan efektif untuk menjawab tantangan krisis multidimensional di tengah bangsa ini, semestinya berfungsi dengan efektif sebagai wadah untuk mendorong sekaligus mengasah kepemimpinan mahasiswa.
Gerbong-gerbong demokrasi harus digerakkan pada jalur yang benar, karena mahasiswa adalah generasi yang akan memimpin bangsa ini dengan kualitas dan kapasitas yang mereka miliki. Mahasiswa bukan pemimpin cadangan, tetapi pemimpin zaman, (the leader of historia), ujung tombak kepemimpinan bangsa ini.
Mahasiswa dengan keistimewaannya dalam masyarakat, sebagai intelektual muda, memiliki perspektif luas dan berpengaruh, tentu sangat diharapkan menjadi pemimpin bangsa ini suatu hari kelak. Dengan keistimewaan tersebut dan dibarengi kekudusan akhlaknya, niscaya mahasiswa mampu mentransformasi semua segi di bangsa ini. Sebab di tangan mahasiswalah masa depan bangsa ini dipertaruhkan. Oleh karena itu, mahasiswa mari kita bangkit dan berkiprah.
*Penulis adalah mahasiswa matematika Unimed, aktif di Perkamen
Komentar