Oleh: Dedy Hutajulu*
‘Tak ada angin tak ada hujan, kok kelambu bergoyang?’ ungkapan ini pas untuk mencermati sikap presiden SBY yang terkesan ‘berlebihan’ terkait sms gelap yang beredar yang ditafsirnya sebagai bentuk fitnah atas dirinya. Apakah pesan itu benar mengandung fitnah atau tidak, kita tidak tahu. Namun, sikap berlebihan itu patut dikritisi.
Saya katakan berlebihan karena kita melihat betapa cepat rekasi beliau merespon isu ‘sms gelap’ itu, sampai-sampai menggelar jumpa pers di bandara Halim Perdana Kusuma (30/5), demi sebuah sms yang kebenarannya masih belum jelas. Bila presiden sampai gelar jumpa pers? Seberapa gentingkah?
Sementara untuk hal-hal yang menyangkut kedaulatan bangsa, kemiskinan, masalah korupsi, atau kasus TKI, rasanya respon presiden selama ini terkesan lamban. Kita menjadi bertanya-tanya: ada apa ya? Mestinya, presiden menyadari panggung dimana beliau berdiri sejatinya dijadikan sebagai panggung demokrasi dimana suara rakyat didengar dan dihimpun kemudian dipikirkan matang-matang lalu dicarikan jalan keluar, supaya rakyat terlepas dari segala penderitaan, bukan malah menjadikan panggung sebagai tempat menumpahkan isi hati.
Sebagai seorang negarawan, SBY tentu lebih paham bahwa tak satupun presiden di bumi ini yang terbebas dari cemooh, atau kritik bahkan dari demo. Wajar bila presiden mendapat ‘sms gelap’ atau surat kaleng. Pesan atau surat kaleng adalah salah satu bentuk kritik. Kritik atas kinerja pemerintah yang buruk barang kali tapi lebih mementingkan diri atau partai, atau juga kritik terhadap kekuasaan yang kian tak terkontrol.
Berita-berita di koran menceritakan bagaimana beberapa elit dari hampir semua partai yang korup tapi ‘terlindungi’ oleh kekuasaannya (kompas 30/5). Ada juga elit partai yang jadi ‘kutu loncat’. Katanya, mereka yang pindah partai murni demi kepentingan kekuasaan (kompas 31/5). Ada pula fenomena politik diaspora keberbagai parpol yang kini mulai trend dengan tujuan mengincar materi dan sumber ekonomi parpol (kompas, 31/5). Jadi, wajar kritik berhamburan kepada presiden.
Kritik selalu mencari bentuk yang lebih pas dengan tujuan ketajamannya semakin terasa. Kritik tak selamanya hadir dengan rupa demonstrasi atau sekumpulan tokoh agama berhimpun dan bersuara. Tergantung tujuan dan sasaran kritik itu disasar kepada siapa. Namun, sangat tidak wajar bila seorang kepala negara begitu serius mengklarifikasi soal ‘sms gelap’ tapi lamban dalam menyikapi masalah kebangsaan dan masalah yang mendera rakyat..
Tentunya, sebagai seorang presiden, SBY mestinya menyadari marwahnya sebagai negarawan. Artinya beliau sepenuhnya adalah milik rakyat. Sungguh tak elok pemandangan kita bila melihat presiden antusias untuk masalah yang remeh-temeh tapi menutup diri untuk masalah kemiskinan rakyat.
Ketimbang membahas soal ‘sms gelap’ itu mending presiden mengalihkan perhatian ke masalah lain. Masih banyak masalah yang mendera bangsa ini. Kasus lumpur sidoarjo misalnya. Sesudah lima tahun, lapindo apa cerita?
Lima tahun berlalu, lima tahun pula Lumpur sidorajo hilang dari halaman-halaman koran. Apakah kasus Lapinso sudah dilupakan? Yang jelas, ratusan ribu orang Sidoarjo yang hidup dalam pengungsian pasti tidak (bisa) melupakannya. Terlalu memilukan tragedi itu.
Terlalu hitam dan pekat ingatan itu. Kampung-kampung halaman yang dulu menjanjikan penghidupan, kini bagai neraka. Terlalu menyedihkan situasi yang mereka alami.
Di sidoarjo dan tentunya keluarga korban yang mungkin tersebar di luar Sidorjo pasti tak ada yang terlupa. Luka hati masih menganga, akar pahit bertambah pekat, perekonomian masih tertatih, masa depan tak ada arah dan masih tanda tanya. Jadi, SBY tak pantas gusar. Tak baik menambah luka rakyat. Jangan pula menjadikan kisruh ini sebagai bagian pencitraan.
Pengangguran apa pula ceritanya? Klaim pemerintah bahwa pengangguran menurun juga dipertanyakan. Secara statistik boleh jadi iya. Tapi, apa yang dialami rakyat saat ini? Adakah suara keluhan kemiskinan rakyat makin redup? Kedengarannya bertambah nyaring. Apalagi meningkatnya jumlah tenaga kerja tentu bukan karena pemerintah telah membuka lapangan kerja secara besar-besaran yang bisa menampung jutaan penganggur. Tetapi, karena semakin sadar masyarakat untuk berjuang hidup dan mengembangkan diri di sector informal demi perbaikan ekonomi.
Oleh sebab itu, sebagai seorang negarawan, presiden SBY mestinya lebih bijaksana bertindak menyikapi masalah kebangsaan, apalagi kasus yang menyangkut nasib rakyat. Bahkan, mestinya presiden lebih nyaring berbicara ketika terdengar kabar darah orang Indonesia ‘ditumpahkan’ bangsa lain, sekalipun itu darah dari seorang TKI. Pun, kasus yang menyangkut rapuhnya kedaulatan bangsa. Presiden harus bertindak ksatria. Pemberantasan korupsi harus terus dikuatkan secara sistemik dan kontinu.
Masih banyak PR yang harus diselesaikan presiden. Jangan sampai hal kecil seperti sms ini membuahkan kemuakan rakyat atas presidennya. Kita masih berharap presiden bisa menjalankan roda pemerintahan dengan bijaksana.
Presiden janganlah menghabiskan waktunya untuk hal-hal yang tak penting. Prioritaskanlah nasib rakyat banyak di atas segala kepentingan. Bersikaplah selayaknya seorang negarawan sejati.
*Penulis bergiat di Perkamen
Komentar