Langsung ke konten utama

Bukan Parasit Biasa



Oleh : Dedy Hutajulu

Mengapa saya menuliskan topik ini? Gara-gara membaca berita kompas selasa, 22/2 lalu. Headlinenya begini: Korupsi tahan pertumbuhan. Membaca berita tersebut, saya jadi teringat karikatur Jitet Koestana di harian kompas yang lalu-lalu (maaf saya lupa tanggalnya). Tapi saya akan coba ceritakan sedikit.
Begini. Dalam karikaturnya digambarkan sebuah pohon berbadan besar daunnya meranggas. Pohon itu sedang terkulai lemas akibat dililit benalu bernama  KKN, dari bawah sampai ujung. Punggungnya remuk, akarnya lemas, bahunya pegal dan tangan-tangannya jatuh tersungkur ke tanah, lantaran tertekan batin akibat lilitan kuat sibenalu.
Pohon itu pucat pasi dan telah kehabisan tenaga. Ia seperti tak berdaya sama sekali menghadapi kekuatan benalu. Padahal, tubuh si benalu tergolong cungkring  bila disejajarkan dengan si pohon. Tetapi karena cengkraman benalu begitu kuat dan serangannya dilancarkan dari semua penjuru, pohonpun dibuat tak berkutik.
Tak ada rasa ampun sedikitpun. Benalu tak punya belas kasih. Tak punya nurani. Baginya, menindas adalah pekerjaan yang amat menyenangkan untuk dilakukan. Lambat laun, pohon itu tampak hanya tinggal tulang belulang. Daun hijau dipucuk pohon dengan membentuk pola ’lima pulau besar” yang serupa miniatur Indonesia, itu bukanlah daun-daun yang muncul dari ranting-ranting pohon, tetapi daun itu adalah mahkota (daunnya) si benalu.
Pohon yang terjepit, terlilit, diperas mati terpaku. Ia tak bisa berbuat apa apa. Hanya bisa pasrah menyaksikan daun-daunnya jatuh terkulai ke tanah, meranggas, kering dan keropos. Sibenalu pun tertawa sumringah di atas penderitaan tumpangannya. Ia senang, mekar, dan bersinar. Padahal, di tingkar akar, pohon bekerja keras mencari makanan, tetapi energinya habis dipersembahkan sebagai upeti bagi si benalu.
Sementara di bagian batang hingga ujung, si benalu telah memastikan bahwa kekuatannya tetap terjaga aman. Dengan patantang-patenteng, Ia pun kerap membanggakan diri dengan mencitrakan diri sebagai sosok pahlawan, padahal dari tubuhnya menyebar aroma kerakusan, penindasan dan kuasaan.
Singkat cerita. Indonesia tak ubahnya pohon besar yang gagal menuai buahnya sendiri, bahkan layu ditangan sendiri. Benalu KKN-lah penyebabnya. Maka kasus korupsi yang hari ini ramai dibicarakan mudah dipahami dengan analogi pohon dan benalu tadi.
Mari kita simak sejumlah kasus korupsi yang menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia sesuai data ICW yang dilansir harian Kompas, (kompas, 22/2/1011). Korupsi bak tikus rakus yang menggerogoti beberapa sektor penting di negeri ini dalam rentang semester I – 2010: sektor keuangan daerah (38 kasus), sektor infrastruktur (32 kasus), sektor sosial kemasyarakatan (20 kasus). Tak ketinggalan di sektor pendidikan (ada 17 kasus),  di bidang pertahanan (8 kasus), di ranah kesehatan (ada 6 kasus).
Catatan merah lainnya juga menyentuh sektor layanan publik seperti di sektor energi/listrik (5 kasus), Pajak (5 kasus), Transportasi/Perhubungan (4 kasus), Olahraga (4 kasus), Perbankan (3 kasus), Peradilan (3 kasus), Peternakan (3 kasus), Pertambangan (2 kasus), dan di sektor perumahan (2 kasus).
Dalam hal kerugian negara, tentulah negara mengalami kerugian yang besar dan berlipat-lipat. Begitu pula dengan efek yang ditimbulkannya. Segi moralitas, bangsa ini dipandang moralnya runtuh sidah. Segi penegakan hukum, negeri ini dianggap loyo. Dari kaca mata ekonomi, kita dianggap bangsa dungu. Negeri kaya sumber alam, tapi miskin? Itu artinya bodoh. Sekiranya data ini valid dan ditambahkan dengan beberapa kasus yang masih terbengkalai, tentulah perkara korupsi ini semakin ngeri membayangkannya.
Katakanlah data diatas dibayangkan seperti tentakel gurita korupsi yang terbentang panjang, jalin-menjalin, melilit hingga ke mana-mana yang merasuki semua sektor, dapat diprediksi bahwa bangsa ini adalah bangsa yang sedang sakit parah. Korupsi bukan hanya sudah merusak individu, tetapi juga komunitas, lingkungan sosial, merusak pranata masyarakat, menghantam hukum dan mencekik mati leher perekonomian rakyat.
Tidak terbantahkan, korupsi benar-benar menjadi ancaman laten bangsa ini. Para pemimpin negeri seperti telah terbius dan tak sadarkan diri bahwa kekuatannya dikendalikan oleh koruptor. Bayangkan saja, lebih dari 60 persen kepala daerah di tanah air tersandera kasus korupsi. Itu artinya, hampir semua potensi daerah ditanah air telah digadaikan kepada korupsi. Bahkan, bisa dibilang jika beberapa kepala daerah telah menjual kewenangannya demi sebuah kepentingan sendiri. Mereka melacurkan diri terjun ke kubangan korupsi. Amanah rakyat dilacurkan dengan harga murah.
Bersandingan dengan data diatas, kompas juga melansir data BPS soal kemiskinan di Indonesia dari tahun 2006 sampai tahun 2010. Tahun 2006 jumlah rakyat miskin sekitar 39,30 juta orang dengan persentase kemiskinan 17 persen, maka negara menganggarkan dana sebesar 42 triliun rupiah untuk mendongkrak kemiskinan. Alhasil, tahun 2007, tingkat kemiskinan berkurang menjadi 16,6 persen dengan jumlah orang miskin sebanyak 37,17 juta. Untuk mengobati penyakit kemiskinan  tersebut negara menggelontorkan uang sebesar 51 triliun rupiah.
Kemiskinan hanya bisa beranjak sedikit dari tahun sebelumnya, yakni 15,4 persen dengan jumlah orang miskin 34,96 juta orang. Maka, lagi-lagi negara harus merogoh kocek lebih besar yakni 63 triliun rupiah. Di 2009 kemiskinan sudah tinggal 14,2 persen (sebanyak 32,53 juta orang) dan anggaran kemiskinan 66,2 persen. Dan di tahun 2010, kemiskinan juga terus berkurang. Tercatat hanya tinggal 31,02 juta orang miskin. Dengan tingkat kemiskinan 13,3 persen. Dan negara menyediakan uang sebesar 94 triliun rupiah untuk ongkos kemiskinan.
Secara statistik, kemiskinan memang berkurang. Tapi ada yang aneh. Mengapa setiap tahun negara selalu meningkatkan anggaran untuk memperbaiki kemiskinan padahal  tingkat kemiskinan bisa ditekan dan jumlah orang miskin terus berkurang? Dari tahun 2009 ke 2010 saja, pemerintah menambah sekitar 28, 8 triliun rupiah dari anggaran sebelumnya untuk memperbaiki kemiskinan, namun kemiskinan hanya bisa ditekan sebesar 0,9 persen (hanya mampu mengurangi 1,51 juta orang miskin). Seharusnya, dana yang terus meningkat dianggarkan mestinya mampu menekan kemiskinan yang jauh lebih besar.
Anehnya lagi, ketika kemiskinan mengalami penurunan secara grafik, tetapi keluhan rakyat miskin malah terasa lebih nyaring. Dimana-mana, masyarakat mengeluh karena terancam tak makan cabe. Di beberapa daerah, masyarakat hanya bisa makan tiwul dan nasi aking. Maka, data kemiskian ini tidak berbanding lurus dengan realitas kemiskinan hari ini.

Solusi
Tak pelak, korupsi kukuh menghambat pertumbuhan bangsa. Mengkerdilkan moral dan menghempaskan idiologi bangsa ke titik paling bawah. Maka, tak ada jalan lain bagi kita selain bersama melawan korupsi dengan menguatkan kembali ikrar serta semangat melawan korupsi.
Kita harus menguatkan kampanye melawan korupsi. Korupsi yang subur harus dilawan dengan kampanye pemberantasan korupsi secara masif dan dengan gerakan kolektif. Di sisi lain, pemerintah harus bisa menjamin penegakan hukum yang adil.
Yakinlah, korupsi masih bisa diperangi. Buktinya, indeks prestasi korupsi terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Ini pertanda bukan mustahil korupsi tak bisa diberantas. Kelak. Indonesia bisa bersih dari korupsi. Maka, untuk menekan kekuatan korupsi, negara harus memberikan penguatan hukum secara luar biasa. Berikan hukuman yang berat dan sanksi sosial yang bisa menjerakan para koruptor.
Di sisi lain, penguatan karakter dan integritas pemimpin harus semakin terintegrasi. Para pemimpin di semua sektor harus menampilkan kinerja yang baik, jujur dan militansi yang tinggi memerangi korupsi. Integritas pemimpin itu harus mencerminkan semangat pemberantasan korupsi.
Biar bagaimanapun, lembaga penegak hukum masih kita percayai. Polisi, kejaksaan, dan KPK kita yakini punya kapasitas besar memerangi korupsi. Mereka kita harapkan bekerja sepenuh hati. Kasus-kasus korupsi yang mendera bangsa harus diselesaikan. Demi bangsa indonesia ini, kita semua juga mari bersama menantang diri untuk melawan korupsi. Kita mulai dari diri sendiri. Karena korupsi bukan parasit biasa. 

(Penulis adalah ketua Perkamen)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dicari Caleg Perduli Parmalim*

Banyak calon legislatif menduga komunitas Parmalim bakal golput. Tetapi Parmalim menampiknya. Dugaan itu muncul karena para caleg ternyata sama sekali tak mengenal apa itu Parmalim. Celakanya, kaum Parmalim juga tidak mengenal kandidatnya. Bagaimana nasib pemilu kita nanti? Oleh Dedy Hutajulu Desi (kanan) dan rekan-rekannya di depan Bale Parsattian (rumah ibadah Parmalim) di Jalan Air Bersih, Medan, Sabtu (8/3).--foto dedy hutajulu  DESI SIRAIT malu-malu saat lensa kamera diarahkan kepadanya. Ia memalingkan wajah. Di depan Bale Parsattian ia bercengkerama bersama teman sebaya. Bale Parsattian sebutan bagi rumah ibadah komunitas Parmalim. Bale Parsattian ini terletak di Jalan Air Bersih, Medan. Desi Sirait baru berusia 19 tahun. Ini tahun pertama baginya mengikuti pemilu. Ketika ditanya: nyoblos atau tidak? Desi tak langsung menjawab. Ia berpikir dalam-dalam. “Aku takut nanti salah ­­bicara. Jadi masalah pula bagi ugamo kami,” katanya. Desi berasal dari Pemantang

Kalang Baru dan Kenangan di Bondar

aku cuma cuci muka di air bondar Kesal. Kesal banget terus dikibuli si Rindu Capah. Dia ajak kami , katanya cebur ke sungai. Aku sudah senang. Buru-buru keluar dari rumahnya. Berlari sambil bawa kamera dan sabun dan odol.  Aku berharap pagi ini dapat suasana sungai yang indah di Kalang Baru, Sidikalang. Poto unutk oleh-oleh ke Medan. Kami bertiga berjalan menyusuri kebun kopi. Masuk lewat jalan-jalan tikus. Melewati rerimbunan bambu. Turun ke bawah dengan tangga-tanggah tanah yang dibentuk sedemikian rupa supaya serupa tangga. Cukup curam turunan itu. Di bawah tampak aliran sungai melintasi selokan-selokan yang berdempetan dengan sawah.  Banyak remaja dan gadis-gadis di bawah sedang mencuci dan mandi. Kami harus teriak "Lewat..atau Boa" baru mereka menyahut dan kami bis alewat. Begitu tiba di bawah, kukira kami akan berjalan masih jauh lagi menuju sungai yang dibilang Rindu. Tahu-tahunya, sungai yang di maksud adalah selokan ini. Gondok benar hatiku. "I

Syawal Gultom: Unimed Bagi Negeri

Oleh Dedy Hutajulu   Berkarir tinggi sampai ke Jakarta, tak membuat Syawal Gultom melupakan Unimed. Ia pulang membawa pengetahuan baru, biarKampus Hijau bisa menjadi pandu bagi negeri. Syawal Gultom LELAKI itu bangkit dari kursi. Ia tinggalkan setumpuk pekerjaan hanya demi menyambutku. Ruangan kami bertemu hanya seluas lapangan volley. Diisi banyak buku. Di tengah ruangan, ada sebuah meja dengan sofa yang disusun melingkar.Sofa itu biasa dipakai untuk menjamu paratamu.Laki-laki yang dimaksud adalah Syawal Gultom. Rektor baru Unimed.  Periode sebelumnya Syawal mengabdikan diri sebagai Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya   Manusia Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMPMP) Kemendikbud, Jakarta. Di pundak Syawal saat itu dibebankan tanggung jawab berat. Ia harus menjamin desain besar mutu pendidikan di Indonesia. Seperti merpati yang ingat pulang, Syawalpun kembali ke Unimed. Mayoritas anggota Senat mendukung Syawal sebagai nahkoda Unimed. Sampai 2019 nanti, gerak Lembaga P