Langsung ke konten utama

Konsisten Mempersiapkan Pahlawan



Oleh Dedy Hutajulu*


Tak bisa dipungkiri, alam kemerdekaan yang kita nikmati hari ini adalah warisan para pejuang pendahulu, yang gugur di medan perang, yang berjuang ‘demi Indonesia’.  Mereka-mereka yang berjuang di medan perang, yang berkontribusi sekecil apapun bagi bangsa ini patut kita kenang sebagai pahlawan.
Anda mungkin kurang sepakat dengan tulisan ini, tidak apa-apa! Dan menggugat saya dengan mengatakan: “jika kontribusinya kecil, tidaklah pantas disebut pahlawan” dan “tak pantas dikenang”. Perbedaan pendapat seperti itu wajar-wajar saja. Namun, saya berani bertaruh bahwa yang kontribusinya kecil itu, layak disebut pahlawan. Sebab, kemerdekaan mustahil bisa diraih hanya dengan prestasi-prestasi besar dan gemilang, tetapi juga dari kebiasaan dan tindakan-tindakan kecil.
Kemerdekaan bukan soal perang melawan penjajah, bukan sekedar cerita angkat senjata. Lebih dari itu, kemerdekaan adalah soal bagaimana menyatukan hati, menyatukan mimpi di dalam semangat kebangsaan, membangun nasionalisme sekaligus mewujudkan keadilan rakyat sekalipun diperhadapkan dengan masalah apapun.
Jika kemerdekaan dimaknai sebagai usaha mewujudkan keadilan dan menyelamatkan masa depan bangsa, maka peran sekecil apapun tak boleh dilupakan –apalagi diabaikan. Sebab, kebebasan dirajut dengan semangat kebangsaan, disulam dengan benang persaudaraan yang diukir dalam loh hati yang berasa senasib dan sepenanggungan.
Besar-kecilnya kontribusi seseorang tergantung pada kapasitasnya mengasah talentanya, kemauannya berkiprah dengan serius atas proses yang sedang membentuknya Dan ukuran besar kecil akan terasa nisbi, jika dilihat dari ketulusan hatinya untuk berkarya. Apakah ia rela meninggalkan yang lain, demi visi dan misinya bagi bangsa ini? Apakah ia mau melepaskan diri dari jerat kekuasaan, dan tekun membawa visi dan integritasnya kemanapun ia pergi, di bidang apapun yang ia geluti.

Memaknai arti Pahlawan
Mungkin kita terlanjur keliru memaknai arti pahlawan. Kita sering kurang menghargai mereka yang berprofesi sebagai guru (pendidik), sebagai pebisnis, sebagai akademisi, peneliti atau aktivis, penulis dan seterusnya dan seterusnya. Hanya segelintir saja diantara mereka yang kita beri predikat sebagai pahlawan. Padahal, mereka konsisten mempersembahkan yang terbaik bagi kita semua, sebuah masa depan Indonesia yang lebih baik.
Guru misalnya, kerap dimaknai sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Predikat yang jauh dari ideal, sebab darah pengabdian terhadap bangsa ini mengalir dalam nadi mereka, tapi, kesejahteraan guru hingga hari ini belum selaras dengan nilai-nilai pengabdian mereka itu. Siapa yang selalu berdoa, berkarya, berjerih lelah mengentaskan kebodohan, mencelikkan anak-anak dari buta aksara, buta ide, dan buta semangat? Bukankah Guru atau pendidik? Dan bisa anda bayangkan, apa jadinya sebuah negara tanpa guru?
Akademisi, peneliti dan penulis juga jarang dimaknai sebagai pahlawan. Padahal, ribuan bahkan mungkin jutaan karya mereka telah mewarnai negeri ini. Berbagai penelitian dilakukan, eksperimen terus digalakkan dan hasilnya dituliskan serta dipublish demi kebutuhan masyarakat. Semua karya orisinal mereka dipersiapkan dan dipersembahkan semata-mata demi perubahan yang lebih baik. Sebuah masa depan Indonesia yang sarat harapan, harapan dimana seluruh masyarakat merasakan sukacita karena tegaknya keadilan, bersih dari korupsi, sejahtera dan kelak bisa terbang ke bulan dan mungkin ikut piala dunia. Itu baru segelintir mimpi kita.
Aktivis setali tiga uang. Tanpa kritikan dan gerakan progress mereka dalam mengkritisi segala macam kebijakan pemerintah ataupun kebijakan kampus, mungkin akan sekian lama kita tersandera kemelaratan. Kita patut bersyukur, dewasa ini banyak bermunculan aktivis, akademisi, peneliti dan penulis yang konsisten membela rakyat, mengedepankan kebenaran dan keadilan. Aktivis anti korupsi misalnya, lembaga penelitian
Lebih dalam, sebagai penulis tetap konsisten menggeluti profesinya sebagai kuli tinta. Siap menyabung pena setiap hari, mengalahkan kebosanan, kelelahan, dan rutinitas yang menjemukan demi untuk membawa pencerahan. Keluar dari lingkaran berpikir kebanyakan orang. Menulis juga membuat bangsa ini bisa lepas dari cengkraman pemikiran asing.
Pebisnis dan pengusaha juga bisa menjadi pahlawan. Ide-ide kreatif dalam mengelola bisnis (usaha) perlu ditularkan bagi masyarakat. Pun, kekayaan mereka juga perlu dibagi-bagi kepada orang-orang miskin. Sebab mereka diberkati adalah untuk memberkati orang lain. Mungkin yang menjadi penghalang mereka menjadi pahlawan adalah keengganan untuk rendah hati. Tanpa kerendahan hati, tiada belas kasih.
Profesi lain juga demikian, baik sektor public service maupun wirausaha bisa mendatangkan kebaikan bagi Indonesia, asal ketika kita bekerja, kita mau mencucurkan keringat terbaik kita dan mempersembahkannya bagi bangsa ini. Tak peduli, siapapun dan apapun talenta kita. Anda dan saya bisa berkarya bagi Indonesia.

Tidak sekadar mengheningkan cipta
Memperingati hari pahlawan setiap tahunnya memang amat perlu, sebagai bukti bahwa kita menghargai jasa-jasa pahlawan. Dan belakangan ini, peringatan seperti itu terasa semakin penting, mengingat bangsa Indonesia yang kini berada di tengah kondisi krisis multidimensi, baik krisis ekonomi, krisis kepemimpinan, krisis moral dan krisis-krisis lainnya.
Maka momentum 10 November sebagai peringatan hari pahlawan, kiranya membuat mata kita terbuka atas kondisi bangsa hari ini. Tak terbantahkan, tantangan berat bangsa kita hari ini adalah melawan korupsi. Bisa disaksikan, setiap hari media ramai memberitakan kasus korupsi. Mulai dari elit politik, pemerintah dari tingkat pusat hingga daerah, dari yang kelas kakap hingga kelas teri.
Juga bukan hanya soal berapa jumlah uang yang dikorupsi, tetapi juga soal efek dari perilaku korupsi yang kian merajalela di republik ini, kian memiskinkan rakyat ditengah kehidupan masyarakat yang masih jauh dari sejahtera. Sementara elit politik dan elit pemerintah bergelimang harta, rakyat justru kian melarat. Kehadiran elit politik dan elit pemerintah sebagai pemimpin di negeri ini sepertinya tidak mendatangkan dampak signifikan atas penegakan keadilan sekaligus perwujudan kesejahteraan rakyat. Dan khusyuknya hening cipta menegaskan betapa negeri ini kuat tersandera korupsi.
Oleh sebab itu, kita tidak butuh sekadar mengheningkan cipta. Kita perlu menajamkan asa. Sebagai pemuda bangkitlah menantang diri menjadi pemimpin. Para akademisi, politisi, peneliti, aktivis, dan penulis pun perlu bekerja berintegritas sembari mempersiapkan regenerasinya. Guru juga perlu mendidik dengan serius.
Para peneliti, akademisi, dan penulis sebagai pemikir tulen sekaligus ahli komunikasi yang baik bagi publik sedang dan akan terus mewujudkannya. Mereka telah bekerja dengan sungguh-sungguh dan tetap konsisten mempersiapkan pahlawan. Lalu bagaimana dengan kita? maukah kita konsisten mempersiapkan pahlawan?

*Penulis adalah pengurus Perkamen

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dicari Caleg Perduli Parmalim*

Banyak calon legislatif menduga komunitas Parmalim bakal golput. Tetapi Parmalim menampiknya. Dugaan itu muncul karena para caleg ternyata sama sekali tak mengenal apa itu Parmalim. Celakanya, kaum Parmalim juga tidak mengenal kandidatnya. Bagaimana nasib pemilu kita nanti? Oleh Dedy Hutajulu Desi (kanan) dan rekan-rekannya di depan Bale Parsattian (rumah ibadah Parmalim) di Jalan Air Bersih, Medan, Sabtu (8/3).--foto dedy hutajulu  DESI SIRAIT malu-malu saat lensa kamera diarahkan kepadanya. Ia memalingkan wajah. Di depan Bale Parsattian ia bercengkerama bersama teman sebaya. Bale Parsattian sebutan bagi rumah ibadah komunitas Parmalim. Bale Parsattian ini terletak di Jalan Air Bersih, Medan. Desi Sirait baru berusia 19 tahun. Ini tahun pertama baginya mengikuti pemilu. Ketika ditanya: nyoblos atau tidak? Desi tak langsung menjawab. Ia berpikir dalam-dalam. “Aku takut nanti salah ­­bicara. Jadi masalah pula bagi ugamo kami,” katanya. Desi berasal dari Pemantang

Kalang Baru dan Kenangan di Bondar

aku cuma cuci muka di air bondar Kesal. Kesal banget terus dikibuli si Rindu Capah. Dia ajak kami , katanya cebur ke sungai. Aku sudah senang. Buru-buru keluar dari rumahnya. Berlari sambil bawa kamera dan sabun dan odol.  Aku berharap pagi ini dapat suasana sungai yang indah di Kalang Baru, Sidikalang. Poto unutk oleh-oleh ke Medan. Kami bertiga berjalan menyusuri kebun kopi. Masuk lewat jalan-jalan tikus. Melewati rerimbunan bambu. Turun ke bawah dengan tangga-tanggah tanah yang dibentuk sedemikian rupa supaya serupa tangga. Cukup curam turunan itu. Di bawah tampak aliran sungai melintasi selokan-selokan yang berdempetan dengan sawah.  Banyak remaja dan gadis-gadis di bawah sedang mencuci dan mandi. Kami harus teriak "Lewat..atau Boa" baru mereka menyahut dan kami bis alewat. Begitu tiba di bawah, kukira kami akan berjalan masih jauh lagi menuju sungai yang dibilang Rindu. Tahu-tahunya, sungai yang di maksud adalah selokan ini. Gondok benar hatiku. "I

Syawal Gultom: Unimed Bagi Negeri

Oleh Dedy Hutajulu   Berkarir tinggi sampai ke Jakarta, tak membuat Syawal Gultom melupakan Unimed. Ia pulang membawa pengetahuan baru, biarKampus Hijau bisa menjadi pandu bagi negeri. Syawal Gultom LELAKI itu bangkit dari kursi. Ia tinggalkan setumpuk pekerjaan hanya demi menyambutku. Ruangan kami bertemu hanya seluas lapangan volley. Diisi banyak buku. Di tengah ruangan, ada sebuah meja dengan sofa yang disusun melingkar.Sofa itu biasa dipakai untuk menjamu paratamu.Laki-laki yang dimaksud adalah Syawal Gultom. Rektor baru Unimed.  Periode sebelumnya Syawal mengabdikan diri sebagai Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya   Manusia Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMPMP) Kemendikbud, Jakarta. Di pundak Syawal saat itu dibebankan tanggung jawab berat. Ia harus menjamin desain besar mutu pendidikan di Indonesia. Seperti merpati yang ingat pulang, Syawalpun kembali ke Unimed. Mayoritas anggota Senat mendukung Syawal sebagai nahkoda Unimed. Sampai 2019 nanti, gerak Lembaga P