Oleh : Dedy Hutajulu
Fenomena plagiarisme mencuat lagi. Kali ini juga dilakukan oleh orang pintar. Tanpa bermaksud memperburuk citra, mari kita sebut saja AR, dosen pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Gorontalo. Otomatis saja, kasus ini menjadi tamparan bagi universitas Gorontalo sekaligus menambah buram wajah pendidikan kita
Dikabarkan bahwa AR dua kali menjiplak karya tulis orang lain. Pertama: tulisan asli karya bung Dion Eprijum Ginanto dan kedua, tulisan bung Muh Rizal Siregar. Yang paling meresahkan adalah kabarnya, selama ini AR dikenal aktif menulis di berbagai media dan menjadi contoh bagi dosen lain (Kompas, 3/6).
Kalau dicermati isi berita tersebut, ternyata AR bukan saja seorang terdidik, ia juga dikabarkan seorang pendidik yang mungkin sehari-harinya mendorong anak didiknya supaya tidak melakukan tindakan-tindakan curang seperti: mengopi, menjiplak, sekadar mengganti judul bahkan memanipulasi tulisan orang lain. Tetapi, ia juga menjadi aktif menulis. Tetapi mengapa ia bisa 'jatuh' pada kubangan plagiarisme?
Ada tiga alasan yang bisa kita gali. Pertama, tak ada manusia yang sempurna. Semua orang juga tak ada yang lepas dari godaan. Semua orang pasti pernah mengalami godaan, apalagi godaan plagiat. Orang pintar sasarannya. Namun, godaan plagiasi bukan berarti tak bisa dihadapi. Bisa. Dan sangat bisa. Tergantung pada kita apakah kita mau melawannya atau tidak.
Kedua, hilangnya konsistensi. Dunia tulis menulis pada kenyataannya banyak godaan dan jebakan plagiat. Semakin pintar orang bisa jadi semakin pula ia cerdik dan licik mewujudkan akal bulusnya. Kalau tidak konsisten membawa visi dan integritas seorang penulis, bisa-bisa seseorang itu akan mudah takluk pada teori sikon (situasi dan kondisi).
Sikon di sekeliling kita jelas menggoda untuk berbuat curang. Uang, prestise, reputasi nama baik, ambisi dan kekuasaan adalah godaan yang menggiurkan. Namun, menjalani hidup sebagai seorang penulis harus diakui banyak pengorbanannya. Dan jangan berharap mendapatkan uang atau kekuasaan. Tetapi, menghasilkan karya-karya bermakna bagi orang lain, itulah sukacitanya. Sukacita itu melebihi harta kekayaan atau melebihi nama yang terkenal.
Ketidakkonsistenan juga dipengaruhi oleh ketidakmandirian berpikir. Menulis membutuhkan pemikiran bahkan kemampuan daya pikir untuk merajut pikiran itu menjadi tulisan yang menarik sekaligus bermakna. Tingkat paling tinggi dari menulis bukanlah kepiawaian menulis tetapi kemandirian dalam berpikir. Dan supaya bisa mandiri, kebiasaan menulis harus terus dilatih. Tujuannya mengasah otak semakin terampil berpikir. Tanpa latihan yang rutin dan konsisten, seseorang akan mudah limbung, idenya mudah kabur dan tak terbiasa mengkristalkan ide supaya kentara.
Ketiga, tradisi menulis di kampus semakin memprihatinkan. Bukan hanya kampus di Gorontalo saja yang marak plagiasi. Di kampus-kampus lain juga. Dan tidak menutup kemungkinan dosen-dosen di kampus lain pun banyak yang tidak piawai menulis. Meskipun meneliti dan menulis adalah dua hal aktivitas ilmiah yang lumrah dalam dunia kampus.
Namun dalam kenyataannya, budaya menulis dan meneliti sudah lama tampak kurang darah. Lesu. Dan bahkan mulai redup dari penciptaan karya yang bermakna. Kebiasaan mencontek, mengopi makalah orang lain, sampai praktek meng'aspal' skripsi malah jamak terjadi di kampus. Kebiasaan itu kini menjadi potret kampus zaman sekarang. Sungguh memprihatinkan jika kampus hanya mampu melahirkan orang-orang pintar tapi plagiat.
Fenomena plagiarisme terjadi lantaran kampus tak mampu menumbuhkan iklim percaya diri dikalangan akademisi dan pengabaian terhadap pelatihan-pelatihan menulis. Tampaknya, mahasiswa merasa jika ia sudah mendapat pendidikan di kampus otomatis mampu menulis dengan baik dan benar.
Fenomena lain yang tak kalah seru adalah kita seperti memaklumi bahwa setiap dosen sudah otomatis bisa menghasilkan karya tulis ilmiah yang baik. Dan tak akan lepas dari bahaya 'plagiarisme'. Kenyataannya tidak! Plagiarisme justru marak dilakukan orang pintar.
Plagiarisme adalah penyakit bagi dunia akademik yang mengedepankan kejujuran dan kehormatan, khususnya kampus. Maka, memplagiasi karya orang lain adalah tindakan sangat tidak terpuji. Ilmu pengetahuan, seni dan sastra sangat anti dengan plagiarisme. Sebab tindakan jiplak menjiplak itu bisa mematikan kreativitas bangsa. Hanya ide orisinal saja yang mendapat tempat di dunia pendidikan. dan tabiat plagiat melumpuhkan semangat berkompetisi di antara generasi. Memandulkan akal sehat. Hal itu sangat buruk bagi kemajuan bangsa kita.
Perlu dipahami bahwa dunia kampus mengedepankan semangat pembaruan dan sikap percaya diri. Sementara plagiarisme itu anti pembaruan dan tak punya harga diri. Maka, orang-orang yang tak cinta perubahan (positif) cenderung menghalalkan segala cara untuk bisa mendongkrak popularitasnya. Termasuk melakukan plagiat. Ketidakmandirian berpikir membuatnya tak ulet untuk berlelah-lelah berpikir, malas mengembangkan kreativitas, dan enggan membebaskan daya imajinasi melanglang buana mencari ide di jagat ilmu. Akhirnya, ia dengan mudahnya menjiplak karya orang lain. Plagiarisme adalah bukti hilangnya penghormatan kepada ilmu pengetahuan dan penghormatan kepada ide orisinal.
Kasus plagiarisme di Gorontalo ini harus menjadi cermin bagi setiap kampus untuk mau mengembangkan pelatihan-pelatihan menulis dikalangan dosen dan mahasiswa secara serius dan komprehensif. Berlatih menulis itu perlu dan harus. Tak ada ruginya merendahkan hati belajar menulis.
Bagi kalangan akademik, sesungguhnya menulis tidaklah akan terasa begitu sulit karena modal untuk bisa menulis sudah ada. Dengan bermodalkan pengetahuan dan pengalaman tentu dua langkah lebih maju untuk bisa menulis karya ilmiah secara piawai dibanding dengan mereka yang tidak pernah mengecap dunia perguruan tinggi sama sekali.
Dengan pelatihan menulis tentu teknik menulis akan bisa didapat. Namun, kepiawaian menulis hanya bisa terjadi jika kita setiap hari merelakan diri untuk terus menulis. Terus menulis hari demi hari akan mendongkrak kepiawaian menulis secara cepat. Karena, dengan latihan menulis mengasah kita terampil dalam merajut ide menjadi tulisan yang bermakna.
Plagiat harus dicegah dengan serius. Caranya, kampus harus mengembangkan pelatihan menulis secara serius. Mestinya, kampus bisa menelurkan ratusan bahkan ribuan komunitas-komunitas penulis. Kampus adalah gudang mencetak penulis-penulis baru. Maka, setiap akademisi perlu latihan menulis secara konsisten. Kemudian, banggalah dengan karya sendiri. Dengan kata-kata yang ditabur ditulisan karya sendiri. Karya sendiri betapapun jeleknya, jauh lebih berharga daripada karya yang tampak sempurna namun hasil plagiasi.***
Penulis bergiat di Perkamen
Komentar