Langsung ke konten utama

Berdemokrasi di Jalan Raya


PDF Cetak Email
Oleh : Dedy Hutajulu


Kesulitan dan penderitaan akan manusia hadapi kalau mereka tak mau berubah". Film On Deadly Ground dengan gamblang menjelaskan itu. Di tengah derasnya arus dehumanisasi yang mencoba menyandera zaman ini, keberanian untuk mau ‘berubah’ kuat diyakini sebagai jalan untuk melepas diri dari cengkraman pembodohan. Maka, terminologi ‘berubah’ dapat kita pakai membantu mencerna berita soal tingginya kasus kecelakaan di sumut. Karena hal ini bukan soal kecelakaan semata tetapi soal kedegilan hati.
Koran Analisa (9/6) membeberkan sebuah tulisan yang memuat data tentang tingkat kecelakaan. Di kota Medan tentunya. Sebagai bukti, dalam Januari sampai April 2011 lalu tercatat 456 kasus kecelakaan lalu lintas (Lakalantas). Dari rata-rata kasus tersebut per bulannya terdapat 100 kasus yang masuk RSU Pirngadi. Klasifikasi skala kecelakaan: 65 persen head injury (luka pada kepala), dan sisanya excoriate wound (luka lecet), haematom (pendarahan), lacerated wound (luka robek). Juga tercatat ada sebanyak 1245 kasus korban kecelakaan yang tidak meninggal dunia.
Itu baru data korban yang tidak mati. Artinya kalau ditambah data orang mati, otomatis jumlah korban kecelakaan lalu lintas pasti bertambah besar. Juga, itu baru data dari satu rumah sakit saja. Setidaknya ada sejumlah rumah sakit ditambah layanan kesehatan lainnya yang patut diperhitungkan. Kalau data dari rumah sakit lain itu digabung, kalkulasi kasus akan membuat kita tersentak melihat angka lakalantas yang semakin membengkak. Dan, hanya dalam waktu singkat (4 bulan) sudah terjadi banyak kasus yang barang tentu menelan banyak korban.
Sebenarnya, data yang paling valid tentu ada di tangan kepolisian. Jika data kepolisian itu kita cermati, tampak jelas bahwa kecelakaan lalu lintas sudah terkesan dianggap ‘wajar’. Benarkah tingginya tingkat kecelakaan lalu lintas yang terjadi hari-hari ini adalah hal lumrah, sehingga data itu bisa kita terima dengan begitu mudah? Benarkah tragedi kecelakaan lalu lintas tak perlu diatasi? Atau barangkali nurani kita yang sudah tumpul?
Sebagai pembanding, dulu, ketika operasi Patuh Toba 2010 digelar, dalam tujuh hari (10-24 April) di jajaran hukum Polresta Medan, pihak Satlantas menangani 19.115 kasus pelanggaran disiplin berlalu lintas yang dilakukan pengendara kendaraan roda dua maupun roda empat. Pelanggaran di antaranya: menerobos lampu merah, tidak sesuai TNKB, menaikkan dan menurunkan penumpang tidak pada tempatnya, sembarangan parkir/stop, tidak pakai helm, tidak menggunakan sabuk pengaman, tidak ada STNK, tidak memiliki SIM, ugal-ugalan dan lainnya.
Kasus Pelanggaran
Bahkan, dari 19.115 kasus pelanggaran itu 628 pelanggaran diantaranya dilakukan oleh aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI)/Polri sendiri. Sedangkan untuk jumlah kecelakaan lalu lintas ada sebanyak 95 kasus dengan rincian: meninggal dunia 34 orang, luka berat 81 orang, dan luka ringan 84 orang (Waspada, 3/5/2010). Pendek kata, aparat TNI belum sepenuhnya menjadi teladan tertib berlalu lintas bagi masyarakat. Lantas, bagaimana caranya mengharap masyarakat berlaku bijak berlalu lintas?
Itu baru 14 hari saja. Artinya dalam sebulan, pelanggaran pasti berlipat. Bagaimana dengan bulanan, lalu tahunan? Padahal, diharapkan waktu itu, Operasi Patuh Toba 2010 bisa menumbuhkan kesadaran pengemudi kendaraan. Nyatanya, hingga kini sikap kita, para pengguna jalan dalam berlalu lintas belum mencerminkan sikap sebagai pemakai jalan yang baik. Dan sama sekali belum mencerminkan sikap sebagai bangsa yang bermartabat. Sikap kita belum berubah. Mengapa kita enggan berubah?
Padahal, perubahan itu penting bagi kita semua. Dan yang akan menikmati hasil dari perubahan itu kita juga. Ditambah lagi, tantangan zaman kini bukan lagi ancaman yang datang dari luar, melainkan sikap keegoisan yang ada di dalam diri kita. Itulah yang kita pelihara dan dikedepankan selama ini. Itulah alasan mengapa kita enggan berubah.
Perubahan adalah agenda penting kita. Perubahan diri sendiri tidaklah akan berhasil dengan efektif bila proses perubahan itu sepenuhnya hanya menjadi milik sendiri. Perlu dibarengi dengan gerakan perubahan yang bisa bergulir ke tangan orang lain sebagai agen perubahan lainnya.
Rhenald Kasali (Change, 2006) mengatakan untuk menghasilkan perubahan dibutuhkan tiga kemampuan, yaitu: kemampuan untuk "melihat", bergerak
dan menyelesaikan perubahan itu sampai tuntas. Kemampuan ‘melihat’ itu adalah kemampuan menciptakan perubahan dengan cara bagaimana membuka mata orang-orang di sekitar kita untuk "melihat" arah perubahan. Tidak cukup hanya ‘melihat’, kita perlu membantu dan mengajak orang lain untuk melihat.
Setelah mampu "melihat", persoalan selanjutnya adalah "bergerak". Kalau kita sudah mulai ‘bergerak’, kita pun perlu mengajak orang lain bergerak. Dan terakhir adalah menyelesaikan perubahan itu sampai tuntas. Perubahan itu harus dikerjakan sampai tuntas. Tidak boleh tanggung, apalagi sampai melenceng dari arah dan tujuan yang dituju.
Tak banyak orang yang mampu ‘melihat’ arah perubahan, lebih tak banyak lagi yang tak ‘mau bergerak’. Jika yang ‘mau bergerak saja’ sudah sedikit sekali, maka yang mampu menyelesaikan perubahan itu sampai tuntas tinggal segelintir orang. Apalagi, yang ‘mau’ belum tentu ‘sanggup’ konsisten untuk melakukannya. Kesanggupan untuk bertahan melakukan perubahan bukan perkara mudah. Apalagi dalam berlalu lintas.
Pertanyaannya: siapa yang mau melakukannya? Andakah atau saya? Atau kita bersama? Jika kita tidak mau berubah pilihan di depan kita sudah pasti: terlindas zaman. Dan yang pada akhirnya, kita membiarkan kehidupan kita sendiri berjalan menuju tubir jurang kehancuran.
Perubahan sebagai proses menghadirkan pembaruan memang selalu membutuhkan keteguhan hati, karena itu butuh kerendahan hati untuk melakukannya. Kepolisian misalnya, mereka harus berbenah diri menjadi polisi abdi negara dengan mengabdi sepenuh hati dan untuk merubah citra buruk yang selama ini melekat di tubuh polri. Kredibilitas polisi lalu lintas harus ditegakkan. Dinas perhubungan juga harus bekerja memanajemen transportasi dengan efektif menciptakan keteraturan dan keseimbangan akomodasi dan transportasi. Program kesehatan masyarakat juga perlu dikelola dengan bijak.
Penciptaan atmosfer perubahan sikap dalam berlalu lintas amat penting supaya keselamatan dan kenyamanan serta kehormatan sebagai bangsa bermartabat dapat kita nikmati. Budaya berlalu lintas yang baik harus ditumbuhkan secara dinamis dikalangan semua pemakai jalan. Marilah kita bersikap bijak dan taat saat berlalu lintas. Kita tunjukkan sikap kita sebagai bangsa berbudaya yang mengedepankan kepentingan umum ketimbang kesenangan diri sendiri. Itulah sikap masyarakat cerdas yang kredibilitasnya sudah teruji. ***

Penulis adalah ketua Perkamen.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dicari Caleg Perduli Parmalim*

Banyak calon legislatif menduga komunitas Parmalim bakal golput. Tetapi Parmalim menampiknya. Dugaan itu muncul karena para caleg ternyata sama sekali tak mengenal apa itu Parmalim. Celakanya, kaum Parmalim juga tidak mengenal kandidatnya. Bagaimana nasib pemilu kita nanti? Oleh Dedy Hutajulu Desi (kanan) dan rekan-rekannya di depan Bale Parsattian (rumah ibadah Parmalim) di Jalan Air Bersih, Medan, Sabtu (8/3).--foto dedy hutajulu  DESI SIRAIT malu-malu saat lensa kamera diarahkan kepadanya. Ia memalingkan wajah. Di depan Bale Parsattian ia bercengkerama bersama teman sebaya. Bale Parsattian sebutan bagi rumah ibadah komunitas Parmalim. Bale Parsattian ini terletak di Jalan Air Bersih, Medan. Desi Sirait baru berusia 19 tahun. Ini tahun pertama baginya mengikuti pemilu. Ketika ditanya: nyoblos atau tidak? Desi tak langsung menjawab. Ia berpikir dalam-dalam. “Aku takut nanti salah ­­bicara. Jadi masalah pula bagi ugamo kami,” katanya. Desi berasal dari Pemantang

Kalang Baru dan Kenangan di Bondar

aku cuma cuci muka di air bondar Kesal. Kesal banget terus dikibuli si Rindu Capah. Dia ajak kami , katanya cebur ke sungai. Aku sudah senang. Buru-buru keluar dari rumahnya. Berlari sambil bawa kamera dan sabun dan odol.  Aku berharap pagi ini dapat suasana sungai yang indah di Kalang Baru, Sidikalang. Poto unutk oleh-oleh ke Medan. Kami bertiga berjalan menyusuri kebun kopi. Masuk lewat jalan-jalan tikus. Melewati rerimbunan bambu. Turun ke bawah dengan tangga-tanggah tanah yang dibentuk sedemikian rupa supaya serupa tangga. Cukup curam turunan itu. Di bawah tampak aliran sungai melintasi selokan-selokan yang berdempetan dengan sawah.  Banyak remaja dan gadis-gadis di bawah sedang mencuci dan mandi. Kami harus teriak "Lewat..atau Boa" baru mereka menyahut dan kami bis alewat. Begitu tiba di bawah, kukira kami akan berjalan masih jauh lagi menuju sungai yang dibilang Rindu. Tahu-tahunya, sungai yang di maksud adalah selokan ini. Gondok benar hatiku. "I

Syawal Gultom: Unimed Bagi Negeri

Oleh Dedy Hutajulu   Berkarir tinggi sampai ke Jakarta, tak membuat Syawal Gultom melupakan Unimed. Ia pulang membawa pengetahuan baru, biarKampus Hijau bisa menjadi pandu bagi negeri. Syawal Gultom LELAKI itu bangkit dari kursi. Ia tinggalkan setumpuk pekerjaan hanya demi menyambutku. Ruangan kami bertemu hanya seluas lapangan volley. Diisi banyak buku. Di tengah ruangan, ada sebuah meja dengan sofa yang disusun melingkar.Sofa itu biasa dipakai untuk menjamu paratamu.Laki-laki yang dimaksud adalah Syawal Gultom. Rektor baru Unimed.  Periode sebelumnya Syawal mengabdikan diri sebagai Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya   Manusia Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMPMP) Kemendikbud, Jakarta. Di pundak Syawal saat itu dibebankan tanggung jawab berat. Ia harus menjamin desain besar mutu pendidikan di Indonesia. Seperti merpati yang ingat pulang, Syawalpun kembali ke Unimed. Mayoritas anggota Senat mendukung Syawal sebagai nahkoda Unimed. Sampai 2019 nanti, gerak Lembaga P