Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2011

Berani Bermimpi Kuliah ke LN?

Oleh: Dedy Hutajulu Minggu sore, tepatnya pukul 3 lewat 22 menit, sahabat saya datang ke rumah. Ia mengajak saya ke kampus yang hampir 6 bulan tak pernah lagi saya kunjungi semenjak diwisuda. Keasyikan mengajar di sekolah membuat saya lupa melihat kampus yang jaraknya bisa ditempuh dengan berjalan kaki dengan memakan waktu cuma lima menit dari rumah. Jadi, karena temanya menyinggung soal beasiswa ke luar negeri, saya pun ikut. Hitung-hitung, dapat informasi bagaimana mencari beasiswa ke LN. Meski telat hampir setengah jam dan telah kehilangan beberapa sesi, namun demi ilmu, kami tetap berani masuk menceburkan diri ke dalam diskusi. Kami duduk manis mendengar kuliah umum yang disampaikan oleh dua pemateri yang masih belia sambil menikmati hembusan angin diselingi kicauan burung. Awalnya, saya tak yakin jika saya akan mendapat sesuatu yang baru dari seminar itu. Saya justru berasumsi bila seminar itu justru akan membosankan mengingat tampang kedua pemateri yang masih muda. Tap

Mahasiswa: Kemendesakan dan Keseriusan

Oleh: Deddi Gunawan Hutajulu* “dia selalu menantang dunia dalam setiap langkahnya. dia satu-satunya burung yang merdeka dalam penjara virus…Kami semua hanyalah robot yang dikendalikan oleh profesor, mungkin dialah satu-satunya yang bukan robot”. (Dikutip dari mozaik film 3 idiots, produksi Vinod Chopra Films) Salut buat Sayfa Aulia Achidsti atas tulisannya di harian ini (kompas, 12/7). Opininya yang berjudul “Peran Mahasiswa Hari Ini” sungguh mengusik rasa kepemudaan saya untuk turut terlibat berkiprah. Dan rasa salut itu telah menggerakkan tangan saya menulis artikel ini. Tentu saja rasa salut itu dialaskan pada beberapa argumen. Pertama, mencermati latar belakang (back ground) sipenulis. Sulit rasanya menerima kenyataan jika seseorang mampu menulis di koran seraksasa kompas kalau bukan seorang profesor atau peneliti atau orang besar lainnya. Sayfa ternyata bukan diantara yang disebutkan. Ternyata ia hanya seorang mahasiswa. Mahasiswa kelasnya tidak jauh beda dengan mahasiswa l

Pengganggu dan Sahabat

Oleh: Dedy Hutajulu Jika kita melihat padi menguning, kita cenderung melihatnya dari satu sisi, yaitu tentang keberhasilan para petani. Padahal di balik semua itu, petani harus berupaya dengan gigih agar panen berhasil. Setidaknya, para petani harus dibekali pengetahuan tentang serangga pengganggu dan serangga sahabat. Sejak mulai tampak merekah, padi-padi pun harus dijauhkan dari jangkaun serangga pengganggu. Jika tidak, serbuan serangga pengganggu bisa merusak bakal bulir, mengoyak daun-daun dan mengayak batang-batang padi. Pada akhirnya yang tinggal hanya lapung saja. Sedang serangga sahabat, seperti kupu-kupu perlu dipelihara untuk membantu proses serbuk sari. Jadi, tanpa pengetahuan yang memadai soal hama, serangga pengganggu dan serangga sahabat, bisa-bisa petani kewalahan dan panen bisa gagal. Dalam demokrasi kita juga begitu. Keberhasilan negara juga bisa gagal total karena ulah para penggangguorang (koruptor) itu. Panen ‘kesejahteraan’ yang diharap, menjadi gagal karen

Pidato SBY dan Nasib Demokrat

Oleh: Dedy Hutajulu Menyikapi dinamika politik terkini yang menyoal krisis Partai Demokrat (PD), SBY selaku penasihat PD segera menggelar jumpa pers di Cikeas. Sebagai rakyat biasa, saya hanya bisa mencermatinya lewat menonton tivi. Selama mengikuti jalannya berita, bukannya mendapat pencerahan, perasaan tidak nyaman justru memenuhi kepala saya, memuncak hingga ke ubun-ubun. Namun, karena beritanya krusial, saya urungkan niat mengganti ke saluran lain. Perasaan tak nyaman itu saya coba urai. Pertama, ketika melihat Anas Urbaningrum selaku ketum PD dan Marzuki Ali yang kita tahu sebagai pejabat public berdiri mematung di belakang SBY yang sedang berpidato. Saya tak mengerti menagap mereka berdiri di sana. Merak tak ubahnya dua ajudan yang sedang mengawal inspektur upacara saat memerankan upacara bendera. Padahal, inikan acara jumpa pers bukan upacara bendera. Kejanggalan kedua, yang paling mencolok dari acara itu adalah bahwa pidato SBY gregetnya tidak terasa. Meski SBY menyampaik

PSSI dan Masa Depan Pembinaan Usia Muda

Oleh: Dedy Hutajulu Menontonton acara kongres PSSI sabtu (9/7) menghangatkan ingatan saya pada semua kejadian yang belakangan menyeret PSSI ke ranah perbincangan publik. Mulai dari kisah pemakzulan Nurdin Halid dari kursi presiden PSSI sampai kongres yang selalu berakhir gagal. Gagal karena selain diwarnai perhelatan politik dan tarik-menarik kepentingan, bahkan nyaris selalu ricuh. Adegan demi adegan menandaskan bahwa perebutan kekuasaan masih mendominasi ketimbang niat memajukan bangsa lewat sepak bola. Daya tarik magnet kekuasaan yang menggiurkan telah menyeret Nurdin Halid terhisap arus utama pusaran politisasi sepak bola. Dan iapun terimbas haus kekuasaan yang mengakibatkannya merasa enggan melepaskan kekuasaannya. Mundur dari jabatan secara elegan terasa janggal. Tak hanya Nurdin Halid, di kancah politik serta pemerintahan menjadi pemandangan biasa bahwa mundur dari kekuasaan hanya dipandang sebagai sebuah aniaya. Tabu. Sehingga bila ada yang lain, yang berniat maju untuk

Tinjau Ulang Kebijakan Subsidi

07 Jun 2010 Media Indonesia Opini MENCABUT BBM subsidi bagi sepeda motor di tengah mahalnya ongkos angkutan umum dan tidak adanya transportasi altematif adalah kebijakan salah arah. Apalagi kita tahu bahwa sepeda motor adalah roda kehidupan masyarakat miskin. Maka, rencana pemerintah untuk melakukan pencabutan subsidi BBM untuk sepeda motor sungguh tidak adil. Hadirnya ketentuan baru itu dinilai tidak berpihak pada rakyat miskin. Meski baru sebatas wacana, sudah menuai kritik keras dari berbagai elemen masyarakat. Betapa tidak, kebijakan tersebut tentu akan berdampak psikologis bagi masyarakat lapisan menengah bawah. Khususnyamasyarakat ekonomi lemah. Sebab mereka akan berpikir keras untuk menghemat pengeluaran sementara pendapatantidaklah menentu bila subsidi BBM dicabut. Pada dasarnya subsidi diberikan kepada masyarakat miskin ketika negara melihat ada kesenjangan ekonomi yang cukup jauh. Rakyat miskin harus ditolong dan dicarikan jalan kelua

Utamakan Keselamatan

24 May 2010 Media Indonesia Opini WACANA konversi gas kini menjadi isu menarik. Kabarnya pemerintah hendak menjadikan bangsa ini selangkah lebih maju. Pemerintah merencanakan secara terstruktur dan terorganisasi agar masyarakat perlahan-lahan bisa meninggalkan konsumsi minyak tanah, lalu menggantikannya dengan pemakaian LPG (konversi gas). Di tengah tingginya angka kemiskinan dan tingkat pengangguran, rencana mengonversi gas konyol rasanya. Karena hampir separuh dari jumlah penduduk kita adalah masyarakat yang miskin, yang masih bergantung pada konsumsi BBM. Untuk sesuatu yang baru, seperti konversi gas, masyarakat masih tergolong hijau. Selain itu, harga gas dan cara pemakaiannya belum disosialisasikan secara jelas. Ditambah lagi belakangan ini kita menyaksikan banyaknya kasus kebakaran yang terjadi akibat pemakaian LPG. Tentu bukan gasnya yang bermasalah, melainkan si pemakainya yang mungkin kurang berhati-,hati. Tabung yang berisi gas LPG te

Pendidikan itu Untuk Semua

Mengecap pendidikan murah adalah harapan semua orang, tak terkeculi orang tua. Mereka menginginkan anak-anaknya bisa sekolah setinggi-tingginya. Sayangnya, kini pendidikan kita semakin mati suri. Tetangga saya punya anak dua. yang satu kelas 4 SD, satu lagi baru masuk sekolah. Di tahun ajaran baru ini pengeluaran mereka sangat banyak untuk biaya sekolah. Sang ayah hanya bekerja sebagai buruh kasar berniat menyekolahkan anaknya sampai sarjana. sayangnya niat si bapak sirna seketika saat mengetahui bahwa si kecilnya tak bisa memakai buku kakaknya lagi, alasannya sekolah sudah menetapkan buku baru yang berbeda. menyedihkan! Itu baru kisah orang tua beranak dua. bagaimana dengan mereka yang benar-benar miskin? punya anak selusin, tak terbayang resahnya. Sekolah tentu tinggal mimpi, buku saja gonta-ganti. Rasanya sekolah semakin jauh dari jangkauan masyarakat. Janji pemerintah memberikan pendidikan gratis dan sekolah wajib bagi anak usia sekolah tak kunjung tiba. Kehadiran pendidikan tak

Ruang Publik yang Sekarat

31 May 2010 Media Indonesia Opini TIDAK ada yang menyangkal bahwa indikator paling sederhana tingginya kesadaran hukum suatu bangsa dinilai dari kepatuhan berlalu lintas. Sebab lalu lintas adalah urat nadi kehidupan suatu bangsa dan tertib berlalu lintas adalah cermin masyarakat yang sadar hukum. Jadi apakah bangsa kita ini bisa dikatakan sebagai bangsa yang kesadaran hukumnya tinggi? Fakta di lapangan menceritakan dengan jelas betapa negeri ini penuh dengan keegoisan. Manusianya senang memaksakan kehendak, individualistis dan konsumeristis. Apa bukti? Lihat saja kota kita. Setiap hari ramai dengan bunyi klakson mobil yang semrawut, dan diperparah hiruk pikuk manusia dan ingar bingar kota yang hidup di tengah kebisingan dan debu jalanan. Semua itu mengarah ke tingkah laku yang buruk. Kota semakin menggila! Kita jenuh melihat kemacetan setiap hari dan lelah dengan polusi yang tak kenal kompromi. Mata perih akibat debu. Telingapun perlahan-lahan

Butuh Penanganan yang Luar Biasa

Kemacetan di kota Jakarta kini semakin menggila. Banyak pengamat mengkhawatirkan jika kemacetan tersebut tak segera ditangani, bisa-bisa ibu kota negara kita ini akan mengalami kelumpuhan total. Dalam kondisi seperti akhir-akhir ini, mengatasi kemacetan tentu butuh tindakan yang serba ekstra. Langkah utama yang harus dikerjakan adalah berani memutuskan pemberlakuan kebijakan pembatasan kendaraan bermotor sekarang juga.  Meskipun imbas negatif dari pembatasan jumlah kendaraan tersebut pasti ada, namun tanpa pemberlakuan terobosan tersebut, maka kemacetan akan semakin menjadi-jadi. Bayangkan saja, Jakarta sebelumnya diperkirakan akan macet total pada 2014 ternyata terjadi lebih cepat, yaitu 2011/2012, padahal proyek besar pembangunan jalan, pelebaran badan jalan, pembangunan jalan layang, jalan susun serta mass rapd transit (MRT) masih dalam proses pengerjaan. Akibatnya fatal.  Bagaimanapun, sudah saatnya jumlah kendaraan dipangkas. Namun pemerintah harus jeli mengakomodasi keluhan m

Berawal dari Sakit Hati

Oleh : Dedy Hutajulu Tak selamanya sakit hati berujung pada dendam kesumat. Juga tak hanya meninggalkan kesan sedih. Tapi, sakit hati adalah awal sebuah perjuangan. Begitulah pesan   yang kita petik dari kisah hidup Franky Sahilatua. Kesejahteraan rakyat adalah harapannya yang menggunung kepada bangsa ini. Tapi, antara mewujudkan harapan menjadi kenyataan bukanlah perkara gampang. Manakala kenyataan itu jauh melenceng dari harapan yang telah digariskan, kekecewaanlah yang dituai. Dan kekecewaan itulah yang dirasakan oleh Franky di negeri ini. Ia melihat luka kemiskinan mengaga lebar di sana- sini, pemarjinalan masih marak, orang-orang pinggiran yang semakin terpinggirkan, quovadis pemerintahan, ketidakadilan menjadi praktek sehari-hari, korupsi, dst, dst. Tapi, bagi Franky, kekecewaan itu justru menjadi titik awal perjuangannya untuk berkarya bagi bangsa ini.   Pelantun lagu ‘kapal retak’ itu telah menorehkan sejumlah lagu-lagu bertemakan kritik

Negara, TKI, dan Pohon Bambu

Oleh: Dedy Hutajulu*             “ Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial ”... (Pembukaan UUD RI 1945)             Hidup memang ibarat pohon bertumbuh, semakin ia dewasa semakin kencang angin godaan. Tapi jangan lupa, ada pohon yang kian diterpa angin, ia justru semakin kuat. Namanya pohon bambu.             Bagi pohon bambu, angin, hujan dan badai bukanlah sesuatu yang patut dikhawatirkan. Mana kala angin datang, bambupun bergoyang. Bila badai mengguncang ia pun meliuk-liuk menari mengikuti irama sang badai. Ia tidak rubuh dan limbung.  Gesekan dan godaan menjadi tarian kehidupan untuk mengencangkan jalinan persaudaraan dan membangun semangat kekeluargaan.     

Berpolitiklah Seperti Yusuf

Oleh: Dedy Hutajulu             Mengubah bangsa Indonesia pun sulit rasanya terwujud kalau perubahan itu tidak dimulai dari ‘puncak’. Seperti Yusuf. Ia dikenal banyak orang setelah ia men jabat sebagai   Perdana Menteri Mesir. Cerita soal Yusuf tentu kita tahu. Sejarah mencatat bahwa ketika kemudian kelaparan menyerang seluruh dunia, orang-orang dari seluruh bumi datang ke Mesir untuk mencari kehidupan di sana. Mesir berhasil menjadi lumbung makanan bagi banyak orang, karena kebijakan Yusuf. Ia berhasil menjadi pemimpin sekalipun di sebuah negeri yang asing.             Bermimpi menjadi kepala desa untuk mengubah desa, mustahil. Desa tidak mungkin bisa berubah karena masyarakat tak mau diajak. Bukan sedang pesimis, justru optimis. Kita hanya pesimis terhadap solusi yang utopis.             Sekarang ini, rakyat tak berdaulat. Karena rakyat berusaha mengejar uang. Padahal sekian lama kita dibohongi rezim dan   kita justru hidup terlena dalam penind