Langsung ke konten utama

Negara, TKI, dan Pohon Bambu



Oleh: Dedy Hutajulu*

            “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”... (Pembukaan UUD RI 1945)

            Hidup memang ibarat pohon bertumbuh, semakin ia dewasa semakin kencang angin godaan. Tapi jangan lupa, ada pohon yang kian diterpa angin, ia justru semakin kuat. Namanya pohon bambu.
            Bagi pohon bambu, angin, hujan dan badai bukanlah sesuatu yang patut dikhawatirkan. Mana kala angin datang, bambupun bergoyang. Bila badai mengguncang ia pun meliuk-liuk menari mengikuti irama sang badai. Ia tidak rubuh dan limbung.  Gesekan dan godaan menjadi tarian kehidupan untuk mengencangkan jalinan persaudaraan dan membangun semangat kekeluargaan.
            Itu sebabnya, orang batak jaman dulu kerap menanami pohon bambu disekeliling kampungnya. Tujuannya jelas sebagai benteng pertahanan dari badai, hujan, puting dan beliung. Juga untuk mencegah serangan para penjajah, pengacau dan para begundal yang mencoba menjarah kampung-kampung orang batak.
            Pohon bambu bisa juga dijadikan sebagai metapora hidup bernegara yang semestinya semakin solid ditengah gesekan dan tantangan yang mendera. Ketika para TKI terlunta-lunta atau ketika mereka mendapat perlakuan yang sangat tidak manusiawi dari bangsa lain, seperti pohon bambu, semestinya negara harus hadir untuk merangkul dan mengayomi mereka.
            Kedaulatan bangsa teruji manakala rakyatnya terlindungi, tidak ada darah TKI yang tumpah barang setetespun, tidak bengkak angka kemiskinan, dan tidak mahalnya ongkos pendidikan dan biaya kesehatan. Karena benteng pertahanan terbaik kita adalah kedaulatan rakyat.
            Buku Negara Paripurna karya Yudilatif yang sungguh menggetarkan itu setidak-tidaknya menandaskan satu argumentasi yang kuat bahwa negara RI adalah sebagai negeri yang berlimpah kebajikan dengan ridhla Tuhan, bertanggung jawab dalam melindungi rakyatnya. Negara memang sudah purna tapi tanggung jawab itu belumlah purna.
            Berangkat dari kutipan di atas, takaran keberhasilan pemerintahan negara kita seperti yang telah digariskan oleh para pendiri Republik Indonesia adalah: (1) terlindunginya segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah manusia indonesia; (2) kesejahteraan umum semakin maju; (3) mencerdaskan bangsa tanpa pandang bulu dan tanpa pengecualian apakah ia miskin atau kaya, anak pejabat atau anak orang melarat; (4) bangsa kita bermartabat di mata dunia dan diperhitungkan di kancah politik, sosial, budaya, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi demi majunya peradaban dunia.
            Poin (1) menandaskan bahwa tujuan negara hadir salah satunya adalah untuk melindungi rakyatnya. Ikhtiar melindungi manusia Indonesia dari segala ancaman tak bisa disepelekan. Bahkan, digariskan dengan jelas penggunaan “dan” diantara melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia.
            Artinya antara tugas melindungi segenap bangsa dengan tugas menjaga agar jangan sampai darah manusia Indonesia tumpah harus dikerjakan berbarengan. Bukan sebagian demi sebagian atau dikerjakan satu demi satu. Sekarang ini orang-orang mengatakan bahwa ‘ada kelalaian’ dari negara dalam melindungi TKI. Pernyataan ‘ada kelalaian’ terasa nyaman di telinga. Kenapa? Seolah kesalahan negara itu sangat wajar dan manusiawi sehingga tak perlu diperdebatkan.
            Berbeda sekali jika kita ganti pernyataan menjadi: negara melalaikan TKI. Subjeknya jelas bahwa negara dalam hal ini pemerintah sebagai regulator tidak hadir sebagaimana mestinya. Dan ‘melalaikan’ sebagai predikat menandaskan ada unsur kesengajaan untuk dari negara untuk mengabaikan nasib TKI. TKI menjadi objek yang terang-terangan menjadi korban kebrutalan, kecuekan dan keegoisan negara sampai-sampai terjadi pertumpahan darah.
            Brutal karena negara mengorbankan rakyatnya. Cuek karena negara tak peduli dengan kesejahteraan mereka dan egois karena negara tak mampu berbuat apa-apa saat nyawa TKI sudah diujung pancung. Jiwa dan raga bukankah simbol kehidupan? Bukankah tanpa nyawa berarti mati? Tanpa perasaan juga binasa?
            Boleh juga dibilang pemerintah tidak mau peduli dengan nasib TKI  sehingga masuk akal bila derita TKI terus berkepanjangan dan tak kunjung putus. Padahal, pembukaan UUD tersebut amat lantang menyerukan bahwa melindungi rakyat adalah tugas negara. Itu artinya, bahwa darah manusia Indonesia tak terkecuali darahnya para “TKI” dimanapun mereka berada, tidak boleh tumpah barang setetespun sebagai akibat ketidakmanusiawian.
            Dalam “TKI” berdiri tegak tiga huruf kapital. Dua huruf raksasa “TK” yang popularitasnya semakin mendunia kukuh menggendong  huruf “I” dibelakangnya. Jadi  huruf ‘I” itu tidak sekadar menempel begitu saja. Tetapi “I” itu adalah sebuah identitas bangsa kita. Identitas yang mengandung moralitas dan martabat yang hanya dimiliki  bangsa kita saja.
            Ada kebanggaan, ada harga diri, ada kekuatan besar yang melindunginya. Yaitu kekuatan sang Khalik sebagaimana kita yakini dan telah ditorehkan rancak di sila pertama dari lima sila Pancasila yang kait-mengait.
            Maka kemanapun para TKI itu pergi mengadu nasib atau dimanapun mereka berada dan apapun pekerjaan mereka, baik sebagai profesional, atau sebagai tukang cuci, tukang masang, juru rawat, penyapu jalanan, pemulung atau apapun itu, selama di nadi mereka mengalir darah Indonesia, maka negara wajib melindunginya.
            Melindungi seluruh tumpah darah Indonesia bisa ditafsir bahwa hukuman pancung atau siksaan apapun namanya yang mengindikasikan bahwa darah para TKI akan ditumpahkan, harus ditentang habis-habisan. Sebab penumpahan darah TKI sangat bertentangan dengan pancasila dan fungsi keberadaan negara.
            Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, bukan pula bermakna sekedar mengirim para TKI ke luar negeri supaya kepergian mereka bisa mengecilkan angka kemiskinan di tanah air. Tetapi implikasi dari UUD 1945 harus membuktikan bahwa bangsa Indonesia harus dapat menanggulangi tantangan-tantangan yang dihadapi sekarang, termasuk kesejahteraan TKI. Impian negara ini agar terjamin haknya serta kesejahteraan manusia Indonesia.
            Lebih tegasnya, tidak boleh lagi ada manusia Indonesia yang bekerja sebagai tukang cuci di negeri orang. Tidak boleh ada budak yang siap melayani nafsu birahi para majikan hidung belang bangsa manapun, bahkan orang Indonesia tidak boleh direndahkan. Namun, harus bisa ‘duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi’ dengan bangsa-bangsa lain. Manusia yang bermartabat dan dihargai suaranya dikancah internasional. Itulah mimpi bangsa ini.
              Kita dorong pemerintah bersikap arif bijaksana dalam menegakkan UUD 1945, bukan sekadar merevisinya sampai empat kali. Perubahan itu mesti menyentuh ranah implikasi. Pertama, menyelamatkan para TKI. Kedua, tingkatkan kesejahteraan masyarakat dengan membuka lapangan kerja seluas-luasnya di tanah air. Ketiga, memajukan pendidikan yang berkualitas yang bisa dijangkau masyarakat miskin guna mencerdaskan bangsa.
            Kemudian, penguatan gerakan memberantas korupsi. Terakhir, pemerintah menjadi teladan kepada seluruh rakyat Indonesia dan kita semua bekerja saling membantu membangun bangsa ini. Kelak, kita tidak perlu mengkawatirkan kemiskinan dan kelaparan, dan perbudakan bila kita hidup bernegara seumpama pohon bambu: saling merangkul dan mengayomi di tengah arus gempuran dehumanisasi. 

*Penulis adalah ketua Perkamen

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dicari Caleg Perduli Parmalim*

Banyak calon legislatif menduga komunitas Parmalim bakal golput. Tetapi Parmalim menampiknya. Dugaan itu muncul karena para caleg ternyata sama sekali tak mengenal apa itu Parmalim. Celakanya, kaum Parmalim juga tidak mengenal kandidatnya. Bagaimana nasib pemilu kita nanti? Oleh Dedy Hutajulu Desi (kanan) dan rekan-rekannya di depan Bale Parsattian (rumah ibadah Parmalim) di Jalan Air Bersih, Medan, Sabtu (8/3).--foto dedy hutajulu  DESI SIRAIT malu-malu saat lensa kamera diarahkan kepadanya. Ia memalingkan wajah. Di depan Bale Parsattian ia bercengkerama bersama teman sebaya. Bale Parsattian sebutan bagi rumah ibadah komunitas Parmalim. Bale Parsattian ini terletak di Jalan Air Bersih, Medan. Desi Sirait baru berusia 19 tahun. Ini tahun pertama baginya mengikuti pemilu. Ketika ditanya: nyoblos atau tidak? Desi tak langsung menjawab. Ia berpikir dalam-dalam. “Aku takut nanti salah ­­bicara. Jadi masalah pula bagi ugamo kami,” katanya. Desi berasal dari Pemantang

Kalang Baru dan Kenangan di Bondar

aku cuma cuci muka di air bondar Kesal. Kesal banget terus dikibuli si Rindu Capah. Dia ajak kami , katanya cebur ke sungai. Aku sudah senang. Buru-buru keluar dari rumahnya. Berlari sambil bawa kamera dan sabun dan odol.  Aku berharap pagi ini dapat suasana sungai yang indah di Kalang Baru, Sidikalang. Poto unutk oleh-oleh ke Medan. Kami bertiga berjalan menyusuri kebun kopi. Masuk lewat jalan-jalan tikus. Melewati rerimbunan bambu. Turun ke bawah dengan tangga-tanggah tanah yang dibentuk sedemikian rupa supaya serupa tangga. Cukup curam turunan itu. Di bawah tampak aliran sungai melintasi selokan-selokan yang berdempetan dengan sawah.  Banyak remaja dan gadis-gadis di bawah sedang mencuci dan mandi. Kami harus teriak "Lewat..atau Boa" baru mereka menyahut dan kami bis alewat. Begitu tiba di bawah, kukira kami akan berjalan masih jauh lagi menuju sungai yang dibilang Rindu. Tahu-tahunya, sungai yang di maksud adalah selokan ini. Gondok benar hatiku. "I

Syawal Gultom: Unimed Bagi Negeri

Oleh Dedy Hutajulu   Berkarir tinggi sampai ke Jakarta, tak membuat Syawal Gultom melupakan Unimed. Ia pulang membawa pengetahuan baru, biarKampus Hijau bisa menjadi pandu bagi negeri. Syawal Gultom LELAKI itu bangkit dari kursi. Ia tinggalkan setumpuk pekerjaan hanya demi menyambutku. Ruangan kami bertemu hanya seluas lapangan volley. Diisi banyak buku. Di tengah ruangan, ada sebuah meja dengan sofa yang disusun melingkar.Sofa itu biasa dipakai untuk menjamu paratamu.Laki-laki yang dimaksud adalah Syawal Gultom. Rektor baru Unimed.  Periode sebelumnya Syawal mengabdikan diri sebagai Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya   Manusia Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMPMP) Kemendikbud, Jakarta. Di pundak Syawal saat itu dibebankan tanggung jawab berat. Ia harus menjamin desain besar mutu pendidikan di Indonesia. Seperti merpati yang ingat pulang, Syawalpun kembali ke Unimed. Mayoritas anggota Senat mendukung Syawal sebagai nahkoda Unimed. Sampai 2019 nanti, gerak Lembaga P