Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2013

Sigale-gale dan Kumonisasi Batak

Sigale-gale-Maskot Festival danau Toba 2013 FDT 2013 baru saja usai. Tidak banyak kenangan manis yang disisakannya dibenak pengunjung. Dari sekian banyaknya acara, para pengunjung dan tetamu tampaknya melupakan satu patung raksasa yang malah dijadikan maskot festival ini. Dialah sigale-gale. Sejauh amatanku, hanya seorang dua saja yang berpoto di patung segale-gale tiruan ini. Bukan karena akses menuju patung ini sulit ditembus melainkan karena pengunjung tak tertarik dengan kisah lama dibalik munculnya sigale-gale ini. Karena itu, aku ingin menceritakannnya kembali. Ya, sekadar menghangatkan kembali ingatan pada cerota guruku waktu sekolah dasar dulu. Sigale-gale adalah bukti kasih sayang ayah pada anaknya. Pesan moralnya mirip dengan Kumon. "Bukti cinta papa pada anak." Toru Kumon, seorang guru SMA di Jepang. Guru matematika yang oaknya brilian. Ia mengantarkan nama sekolah yang tempatnya mengabdi menjadi sekolah terfavorit. Anak-anak didikannya jago matematika.

Hotel Penuh Tak Ada Kaitannya dengan FDT 2013

  Esron Samosir terganggu sarapan pagi. Sepotong kecil semangka merah tiba-tiba berhenti tepat di ujung bibirnya yang terbuka, saat resepsionis menyampaikan informasi penting. “Pak, ada lagi tamu pesan kamar. Gimana nih?” Si resepsionis bertanya dari mejanya berjarak tiga meter dari tempat Esron sedang duduk santai menikmati makanan pencuci mulut. Esron gundah karena baru pukul 09.00 WIB, ia harus berulang kali menolak tamu yang hendak memesan kamar. Pasalnya seluruh kamar sudah terisi penuh. Tingkat hunian hotel di kawasan Danau Toba saat gelaran Festival Danau Toba (FDT) 2013 memang meningkat drastis dan penuh. Bupati Samosir Mangindar Simbolon, pada Kamis (22/8) kepada pers mengatakan helatan FDT 2013 akan menyedot banyak animo wisatawan baik mancanegara maupun wisatawan nusantara. “Diperkirakan hotel dan penginapan di Samosir dan Parapat tidak akan cukup menampung membludaknya wisatawan.” kata Mangindar. Akan tetapi, Esron Samosir, pemilik villa terbesar di Tuktuk

Tak Maksimal, Tak Profesional

Aku buru-buru mandi. Berpakaian rapi. Malam ini, pukul tujuh Maestro Gitar Indonesia, I Wayan Balawan kabarnya naik pentas. Ia tak sendiri tetapi bersama grup musiknya. Seluruhnya  kru dari Pulau Dewata, Bali. Mereka akan tampil mewarnai perhelatan Lake Toba World Drum Festival di Tuktuk Siadong, Ambarita, Pulau Samosir. Lomba Solu Bolon_foto Ferdy Siregar Kabar kedatangan Balawan serta embel-embel “World” atau predikat drum berkelas dunia itu memacu rasa antusiasku. Aku ingin segera berangkat tapi jam baru menunjukkan pukul 4 sore. Hujan di luar sangat deras. Aku berencana akan duduk di baris terdepan di antara kursi-kursi pejabat demi menyaksikan “si jari ajaib” itu menunjukkan sekelabat kepiawaiannya memetik gitar. Aku ingin menjadi saksi utama kehebatan Balawan memainkan senar-senar gitar. Terus terang, selama ini, aku cuma bisa melihatnya di layar kaca. Tapi tidak kali ini, impianku akan kesampaian. Pukul 6 sore, aku ingatkan kembali Ferdy Siregar, redaktur foto

Meletupkan Cinta di Kopi Darat

Aku menunggu setengah jam sampai rekan-rekan semua hadir. Diskusi seharusnya mula pukul 3 tepat. Andri Tarigan meminta kelembutan hatiku untuk memperpanjang waktu barang lima, sepuluh menit lagi. Berharap rekan-rekan peserta diskusi masih ada yang datang. Lima pesera sudah hadir. Kami duduk di sebuah meja panjang dengan pola melingkar. Bisik-bisik dengan Andri, katanya, beberapa teman lagi di jalan. saat sesi bersama klub buku medan di Kopibaba Waktu terus bergulir. Yang ditunggu tak kunjung datang. Aku sama sekali tidak tahu berapa banyak peserta diskusi sore ini. Yang kutahu, dari kiriman sms Andri beberapa waktu lalu, hanya soal tema yang akan kubagikan sore ini. Tentang menulis. "Harapannya, klub buku ini bukan cuma doyan baca. Bang." pesannya waktu itu, "tapi juga agar mulai menulis." Aku senang mendengar niat baik itu. Itu sebabnya, tawaran via sms itu kusanggupi. Sebenarnya jadwal diskusi ini sempat diundur. Aturannya pekan lalu lantaran aku b

Iseng-iseng Jadi Tenar

Aisha-poto diambil di auditorium Unimed, Senin (2/9) Medan. Pukul 10 pagi. Bel tanda reses sudah berakhir. Anak-anak menghambur ke kelas. Hingga beberapa menit, guru tak kunjung masuk. Kesempatan itu selalu menjadi berkah bagi para murid yang hampir tiap hari diceramahi para guru karena maodel pembelajaran masih monoton dan searah. Maka kesempatan itu tidak disia-siakan para murid. Masing-masing ambil kesibukan. Ada yang bernyanyi, memukul meja, menggangu teman, mondar mandir, dan macam-macam. Tak pelak kelas pun diisi suara ribut murid-murid. Salah satu diantara murid itu mulai sadar kalau waktu itu berharga. Tak mungkin kembali. Karena itu perlu dimanfaatkan. Anak itu namanya Aisha. Selengkapnya Aisha Anindita. Siswa SD kelas 4 Panca Budi. "Dari pada ribut mending kita bikin puisi yok." usul Aisha pada teman semejanya, Siti Kalizah. "Ayo..." sahut Kalizah. Mereka segera mengambil kertas dan pena. Aisha memulai sajaknya.  Sekolah tempatku menimba ilmu

Menapaki Kemandirian dari Sebuah Keretakan

Liza Siregar~fotonya kuambil saat ia sedang merapikan ruang hotel Asean, Medan, Kamis (5/9) Aku dan Maria Situmorang baru tiba di hotel itu. Kami langsung naik ke lantai dua. Beberapa panitia tengah asyik masyuk bercengkreama di pintu masuk. Mereka adalah para kru USAID PRIORITAS yang tengah menghelat workshop pembuatan bahan ajar IPA terpadu untuk digunakan para dosen LPTK. Kami sapa mereka dan langsung masuk ke dalam. Kutaruh ranselku di salah satu kursi kosong. Kursi peserta yang duluan pulang karena tugas di luar kota. Mereka yang duluan pulang adalah para profesor. Sore itu, memang tinggal penutupan. Aku buka resleting jaket hitamku. Bang Erix, Juru Bicara USAID PRIORITAS memeprsialkan kami duduk dan mengajak kami minum. Ada teh, susu, kopi dan snak di meja belakang kami. Snack dan minuman itu sebenarnya diperuntukkan untuk peserta workshop. Namun mengingat jumlah peserta yang tinggal dibawah 10 kepala, snack sebanyak itu tentu bersisa--mungkin 12 bakul, hehehe. Dipers

Mimpi, Asa dan Tindakan

Logo Blacberry/dedy hutajulu Aku tak pernah jemu menulis tentang mimpi. Sebab ia begitu indah, asyik, dan menggetarkan, semenggetarkan cinta saat adu pandang dengan si belahan jiwa. Dan jiwa terasa hidup--bahkan lebih bermakna--ketika mimpi it u terus nyala dan menjalari seluruh sel-sel tubuhku. Impian yang terjaga itu selalu memasok semangat yang tak pernah kubayangkan. Sehingga aku bisa bekerja keterlaluan sampai tak mengenal waktu ketika didorong oleh percikan-percikan mimpi itu. Bermimpi membuatku merasa hebat. Lebih hebat dari tokoh mana pun di bumi ini. Ia meniupkan roh gebrakan di dadaku hingga aku merasa harus mencari cara untuk mewujudkannya supaya nyata--dan orang lain pun memercayainya. Namun bermimpi saja tidak cukup. Perlu diikuti tindak nyata mewujudkannya agar jadi kenyataan. Dalam usaha mewujudkannya itu, memang tak semudah yang kita bayangkan. Ada saja rintangan yang harus kita hadapi. Mungkin datang dari dalam diri kita seperti rasa tidak

Jangan Takut Menggelontorkan Duit

Jangan takut mengeluarkan uang untuk menyekolahkan orang/dedy hutajulu  “Pak Dahlan memang tidak takut keluar biaya.Kalaupun kita salah, dia tidak ngamuk. ‘Anggap saja biaya kamu untuk belajar.’ Begitu katanya kalau kita salah” tutur Misbahul Huda, direktur PT Temprina Media Grafika (TMG.) ~ dikutip dari tulisan Max Wangkar bertajuk: "Jawa Pos adalah Dahlan Iskan, Bagaimana dalam 20 tahun satu koran kecil jadi dominan di Indonesia,” Dapur Media, Hal 119, Penerbit Pantau. Mendapatkan sumber daya manusia andal memang perlu kesungguhan hati dan sedikit kerelaan berkorban. Salah satunya rela menggelontorkan duit dalam jumlah besar untuk memperlengkapi orang dengan berbagai keterampilan, sepasti dialami Huda, kru koran Jawapos yang sukses mengenyam nikmat studi permesinan di Chicago, AS berkat kerelaan Dahlan menyekolahkannya 20 tahun silam. Dahlan tahu betul, jika Huda diberi kesempatan belajar maka bakat dan ketertarikannya pada teknik merakit mesin cetak bisa te