Sigale-gale-Maskot Festival danau Toba 2013 |
Bukan karena akses menuju patung ini sulit ditembus melainkan karena pengunjung tak tertarik dengan kisah lama dibalik munculnya sigale-gale ini. Karena itu, aku ingin menceritakannnya kembali. Ya, sekadar menghangatkan kembali ingatan pada cerota guruku waktu sekolah dasar dulu.
Sigale-gale adalah bukti kasih sayang ayah pada anaknya. Pesan moralnya mirip dengan Kumon. "Bukti cinta papa pada anak." Toru Kumon, seorang guru SMA di Jepang. Guru matematika yang oaknya brilian. Ia mengantarkan nama sekolah yang tempatnya mengabdi menjadi sekolah terfavorit. Anak-anak didikannya jago matematika. Sayang, anaknya sendiri--kala itu masih sd--bodoh dan otaknya cetek.
Di suatu malam, istrinya, tak bisa tidur. Pikirannya penuh memikirkan nasib anaknya itu. Ia mendekati Kumon. "Pa, papa kan guru hebat. Anak orang papa bikin jago matematik. Tapi anak papa sendiri tak bisa papa bikin pintar." "Papa sayang nggak sih sama anak kita?"
Mendengar kata-kata istrinya itu, Kumon tertohok. Pertanyaan di kalimat terakhir itu menghunjam tepat di ulu hatinya. Batinnya menjawab, ayah mana yang tak sayang anaknya? Namun faktanya ia gagal mendidik anaknya jadi cerdas.
Hari itu jadi masa paling menentukanbagi keluarga Kumon. Kumon bertekad belajar matematika dari awal. Dari nol. Ia pelajari semua konsep matematika, mulai dari menyusun gambar buah sampai tinggal integral berlipat. Ia susun pelan-pelan dalam kertas buramnya yang sengaja ditulisnya rapi.
Coretan-coretan yang dikerjakannya selama bertahun-tahun itu, coba dipraktekknanya pada anak kandungnya yang "oon" itu. Ia gagal berulang kali, tapi pada tudingan istrinya "kamu sayang nggak sih sama anak kita" itu Kumon berjuang siang malam.
Waktu bergulir. Tangan ajaib menuntunnya pada sebuah titik terang. Anaknya makin pintar. Perkembangan daya serap belajarnya pesat. teknik berhitung dan analisisnya tajam. Pelajaran matematika untuk tingkat SMA sudah dilahap anaknya walau anaknya baru sd menuju SMP.
Coretan itulah yang di kemudian hari dikoleksi dan dibukukan menjadi bahan ajar di sekolah-sekolah di Jepang. Nama Kumon sendiri disematkan menjadi nama sebuah bimbingan matematika yang berkembang pesat di Asia, termasuk di Indonesia. Di Medan, Bimbingan Kumon berseliweran dimana-mana. Kumon membuktikan rasa cinta ayah pada anak.
Memang kisah Kumon berakhir manis. Bertolak belakang dengan sejarah Sigale-gale. Sigale-gale juga bentuk sayang ayah pada anaknya. Sudah jadi tradisi nenek moyang Batak untuk memiliki keturunan laki-laki. Jika satu keluarga tidak punya keturunan laki-laki, dianggap aib.
Suatu ketika ada leluhur Batak yang punya anak laki-laki. Semata wayang. Ia sangat sayang pada adam kecilnya itu. Ia sayangi dia lebih dari siapa pun di kampung itu. tapi rasa sayangnya akhirnya teruji. Maut memisahkan si leluhur dengan anaknya. Si Orangtua ini menangis meraung-raung. Berhari-hari ia tak selera makan.
Hidupnya seakan sirna dan tak lagi bermakna apa-apa. Ia kehilangan pewaris klan (marga)nya. Ia tak siap membayangkan galur marganya buntung sampai pada namanya saja. Ia juga belum bisa menerima kalau anaknya sudah pergi. Dan demi menghibur dirinya, ia memahat sebuah kayu membentuknya hampir mirip dengan wajah dan tubuh anaknya. Patung kayu itu didesain jadi boneka kayu yang tangannya bisa digerakkan. Dinamainyalah boneka kayu itu sigale-gale: patung pelipur lara.
Tiap malam purnama, di bawah sinar bulan ia bercengkrama dengan patung itu. Ia merasa pada awalnya terhibur karena merasa roh anaknya kembali pada patung itu. Namun lama-lama hatinya remuk. Anaknya tak kunjung kembali. Kayu tetaplah kayu. Bonek tak bisa menggantikan anaknya yang sudah pergi.
Maka boneka sigale-gale bukan lagi sebagai pelipur lara, tetapi pengungkit duka nestapa. Si leluhur makin bermuram durja. Benar atau tidak, aku belum tahu pasti. Kisah ini kutuliskan berdasarkan ingatanku saja pada cerita-cerita dulu. Sejauh ini tidak ada data atau riset yang bisa membuktikan kebenaran mitos ini dan siapa lelulur Batak itu.
Lepas dari benar atau tidak, yang jelas, Sigale-gale pada dasarnya dirancang sebagai bentuk kasih sayang ayah sama anaknya. Kasih sayang yang mendalam. Itu artinya, orang Batak dari zaman dulu menggariskan bahwa anak adalah harta terindah. Bahkan sampai matinya si anak, si ayah (orangtua) tetap mengingat anaknya tetap merawat kasih sayang itu di hatinya yang paling dalam.
Bagaimana dengan Anda para ayah (ortu)? Apakah Anda juga sayang sama anak Anda hari demi hari, untuk hari ini, esok dan hingga umur Anda habis? Ataukah Anda membenci anak Anda sampai Anda sadar setelah anak Anda pergi (mati)? Semoga Sigale-gale tak terulang lagi di zaman kini. Tapi Kumon-kumon baru dicetus dari keluarga-keluarga Batak.
Komentar