Langsung ke konten utama

Menapaki Kemandirian dari Sebuah Keretakan

Liza Siregar~fotonya kuambil saat ia sedang merapikan ruang hotel Asean, Medan, Kamis (5/9)


Aku dan Maria Situmorang baru tiba di hotel itu. Kami langsung naik ke lantai dua. Beberapa panitia tengah asyik masyuk bercengkreama di pintu masuk. Mereka adalah para kru USAID PRIORITAS yang tengah menghelat workshop pembuatan bahan ajar IPA terpadu untuk digunakan para dosen LPTK.

Kami sapa mereka dan langsung masuk ke dalam. Kutaruh ranselku di salah satu kursi kosong. Kursi peserta yang duluan pulang karena tugas di luar kota. Mereka yang duluan pulang adalah para profesor. Sore itu, memang tinggal penutupan.

Aku buka resleting jaket hitamku. Bang Erix, Juru Bicara USAID PRIORITAS memeprsialkan kami duduk dan mengajak kami minum. Ada teh, susu, kopi dan snak di meja belakang kami. Snack dan minuman itu sebenarnya diperuntukkan untuk peserta workshop. Namun mengingat jumlah peserta yang tinggal dibawah 10 kepala, snack sebanyak itu tentu bersisa--mungkin 12 bakul, hehehe.

Dipersilakan ambil minum, aku langsung berdiri. Kuambil satu cangkir putih dan sesachet gula pasir. Kutuang gula itu ke dalam cangkir dan kuseduh dengan air susu dan kopi cair yang masih panas.Sambil menunggu dingin, aku ambil kamera dan mengambil beberapa frame poto kegiatan itu. Aku puas. Lalu balik ke meja dimana Maria duduk.

Tiba-tiba Bung Erix membuka pembicaraa. "Tuh Ded, anaknya masih esema tapi dah kerja," ujarnya menunjuk seorang gadis berpakaian putih-hitam, yang sedang sibuk menata meja dan merapikan gelas-gelas bekas minum para peserta workshop.

Mendengar Erix, aku langsung respek. Mataku tertuju pada si gadis pelayan hotel itu. Ia tetap sibuk bekerja saat kami melihatinya. Gadis itu berparas cantik. Kami candai dia dengan gombal-gombal yang sehat. Ia tersenyum.

"Boru apa ito?" aku segera mendalaminya. "Siregar, Mas!"
"O..Boru Batak rupanya."
"Cantik ya.."
Ia tersenyum. Manis, sangat manis.
"Kelas berapa ito?" Aku penasaran
"Dua."
Ia keluar.

Aku mulai berpikir. Cewek seremaja ini, cantik pula kenapa malah mau kerja-kerja beginian di Hotel? Beres-beres meja, mengangkati cangkir, dan menata makanan? Anak-anak seumuran dia biasanya lagi heboh-hebohnya ke mall atau jalan jalan, bukannya mencari kerja.

Ya, bukankah usia remaja mestinya masa-masa indah untuk menikmati kebahagiaan ala anak muda? Tapi anak ini kenapa malah bersembunyi di balik hotel? Apa dia ini miskin? Otakku makin tanda tanya. Tapi aku tak langsung mencecarnya dengan pertanyaan.
Aku kembali bercakap dengan Bang Erix.

Setelah acara ditutup. Peserta berpulangan. Ruangan mulai sepi tinggal Aku, Erix dan Maria. Bang Erix duluan balik ke kantornya di Sei Tenang, Pringgan. Maria menungguku karena kami sama pulang, boncengan ke Pancing. Dia adik kelompok PA-ku. Sengaja kubawa ke acara ini, karena ia tidak percaya kalau guru dan dosen bisa bekerjasama secara profesional-kolegial, berkolaborasi sebagai satu tim yang solid.

Liza masuk lagi. Hendak membersihkan ruangan. Kudekati dia. Dan kuperkenalkan diriku. Kami bercakap-cakap. Semua pertanyaanku tadi terjawab sudah. Rupanya, keluarganya broken home. Mamanya meninggalkan ayahnya. Bahkan gugatan cerai sudah dilayangkan hingga ke meja hijau (pengadilan). Tapi perceraian belum rampung hingga hari ini. Masih dalam proses sebab ayahnya tidak mau.

Tapi sejak lahir adik Liza yang kedua (si bungsu), mamanya langsung pisah ranjang dengan ayahnya. Kata Liza, ayahnya tidak mau berubah. Sejak menikah hingga sekarang ayahnya malas bekerja mencari uang. Ayahnya buka warung kopi di Glugur. Mamanya buka warung nasi melanjutkan warisan nenek Liza.

Soal uang tidak jadi persoalan dirumah ini. Sebab, mama Liza juga menjabat posisi marketing di Hotel Asean Internasional, tempat dimana Liza jadi tukang bersih-bersih ruangan. Perkaranya, ayah Liza tak pernha perhatian sama anak-anak. Liza bilang, sejak dia bayi, tak pernah sekali pun ayahnya mau mengganti popoknya. Adiknya yang nomor dua dan tiga juga tak digitukan.

Kalau Liza dan adiknya pulang sekolah, tak pernah ditanya ayahnya soal pelajaran di sekolah, atau sekadar perasan mereka usai sekolah. Tak pernah ditanya sudah makan atau belum. Hanya mamanya yang selalu mengurus dan merawat mereka. "Mama lah yang membesarkan kami. Mengantar kami ke sekolah. Menyediakan makan dan meluangkan waktu untuk kami di rumah tiap hari walau sesibuk apa pun dia."

Ihwal prahara itu ternyata panjang dan tak sederhana. Rupanya Mama dan papanya dulu dijodohkan orang tua mereka. Pada mulanya, ibunya tak setuju dijodohkan dengan pria yang sekarang jadi ayahnya itu. Namun akhirnya ibunya mengalah dan jadilah mereka menikahg. Hingga punya tiga anak, perhatian ayah Liza sama keluarganya kecil sekali. Kasihnya seakan telah menjadi dingin.

Dan mama Liza sejak awal ternyata sudah bilang ke suaminya, kalau tidak berubah juga kelakuannya, maka cerailah jalan terakhir.. Itulah saat ini yang tengah dihadapi keluarga tersebut. Mamanya sudah benar-benar tidak mau mempertahankan suaminya itu.

"Dan selama ini, yang membiayai sekolah kami dan menafkahi kami, mama" kata Liza. Jadi kalau akhirnya cerai gimana? "Nggak tau, mas." balas Liza

Keretakan bahtera rumah tangga keluarga ini itulah yang mendorong Liza untuk belajar mandiri. Ia akhirnya memilih sekolah smabil bekerja. "Supaya tahu mneghargai uang, Mas." cetusnya, "Dan kalau suatu saat nanti hidupku melarat, aku tak kaget lagi,heheh."

Kamu nggak pengen kuliah Liza? "Pengen, Mas. Nanti maunya kuliah sambil kerja aja. Biar nggak merepotkan orangtua."
Memang dari segi ekonomi, penghasilan orangtuanya dari marketing dan warung nasi tentu saja cukup. Namun, Liza tumbuh menjadi pribadi yang mandiri. Biasanya memang, hanya ada dua jalur yang dipilih sianak yang broken home. Pertama, tumbuh mnejadi anak yang paling nakal, kedua tumbuh menjadi manusia tegar, mandiri dan lebih berprinsip.

Tampaknya, Liza memilih yang kedua. Tegar. Berprinsip dan mandiri.

O, Liza, gadis yang baik. Tidakkah ayahmu bisa meihat ketangguhanmu itu? Kejernihan matamu itu? Atau ibumu tidak berusaha keras merubah laku suaminya, yang mungkin saja butuh waktu sedikti lebih lama lagi hingga mukjizat itu datang?

Apa pun prahara yang menderamu Liza, tumbuhlah..ito jadi gadis yang baik, bijak, dan mandiri. Jalanm,u maish panjang dan engkau masih berjalan di rel yang benar. Yakinlah semesta akan membawamu pada masa depan gemilang. Terus berjuang, sobat!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Selamatkan Lapangan Merdeka Medan

Lapangan Merdeka (Vukoraido) BERKACA dari keberhasilan penyelamatan Gedung Nasional Medan, kini para sejarawan, akademisi, mahasiswa, budayawan, pengamat budaya, dan dosen serta aktivis di Medan makin merapatkan barisan. Mereka sedang mengupayakan penyelamatan Lapangan Merdeka Medan dari usaha penghancuran pihak tertentu. Gerakan ini bermaksud mendorong pemerintah agar menyelamatkan Lapangan Merdeka yang kini telah kopak-kapik sehingga merusak makna sejarah yang ada tentang kota ini. Pembangunan skybridge (jembatan layang) sekaligus city cek in dan lahan parkir di sisi timur Lapangan Merdeka, menurut Hamdani Siregar, pengamat sejarah, itu adalah bagian dari upaya penghancuran sejarah. Apalagi, ketika pembangunan tersebut malah makin memunggungi satu monumen bersejarah di Medan, yakni monumen proklamasi kemerdekaan RI. “Ini momentum bagi kita untuk bangkit melawan. Bangkit menyelamatkan Lapangan Merdeka. Karena pembangunan di situ telah merusak sejarah bangsa i...

Tabu, Mengangkat Guru Honorer di Medan

Oleh Dedy Hutajulu MENYIKAPI pernyataan Plt Wali Kota Medan Randiman Tarigan tentang rencana mengangkat jadi pegawai negeri separuh dari 3.800 total guru honorer di kota Medan, pada 2015 ini, Akademisi Unimed Dr. Irsan Rangkuti, MPd dan Spesialis Tata Kelola Guru USAID PRIORITAS Rimbananto angkat bicara. "Itu konyol, namanya," ujar Irsan Rangkuti, saat diwawancarai di kantornya Jalan Sei Tenang, Medan, Selasa (1/12). Plt Walikota Medan Randiman Tarigan Padahal, kebutuhan guru (SD dan SMP Negeri) di kota Medan cuma 6.500 orang.  Sementara guru PNS yang ada sekarang sudah 6.370 orang. Jadi hanya butuh sekitar 30 guru lagi, itupun jika semuanya yang dibutuhkan harus pegawai negeri. Tapi sekarang ada guru honorer sebanyak 1.700-an (untuk tingkat SD dan SMP), sehingga mengakibatkan guru berlebih sebanyak 1.549 orang. Kalau ditambah guru tingkat SMA totalnya sekitar 3.800 guru honorer. Pada 2013 silam, USAID PRIORITAS sudah menghitung kelebihan guru (tingkat SD dan SMP) ...