Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2010

Mewaspadai Terorisme

Oleh : Dedy Hutajulu Tepatlah nasihat ‘bang napi’ (yang mengemuka lewat siaran SERGAP di RCTI) mengingatkan kita hari-hari ini: Waspadalah…waspadalah!  Aksi terorisme sepertinya mulai bergeser, inilah kesimpulan kita untuk sementara (meski kebenarannya masih perlu dibuktikan). Perampokan Bank CIMB Niaga di jalan Aksara Medan, penangkapan sejumlah tersangka perampok yang diduga teroris, penembakan tiga orang polisi di Polsek Hamparan Perak, serta perampokan ATM BNI, Bank Nagari dan BRI di Padang Pariaman mengindikasikan aksi terorisme telah menjadikan Sumatera sebagai basis baru kegiatan terorisme.Mereka mulai berpindah dari Pulau Jawa ke Pulau Sumatera. Mari kita cermati bberapa kejadian berikut. Bukan hanya di Sumut, di padang juga belakangan ini polisi sedang mengejar komplotan perampok yang dinilai sebagai jaringan teroris. Meski sudah berulang kali berita teroris mengemuka di sekeliling kita, namun setiap kali berita perampokan dan serangan teroris datang, setiap kali pula, se

Wasior, Potret Runtuhnya Kepedulian Pemerintah

Oleh: Dedy Hutajulu Berita bencana banjir bandang di Wasior, ibu kota kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat, senin (4/10) lalu, bagai keris yang mengiris hati siapa saja yang nuraninya masih tajam. Tragedi ini semakin menyayat hati saat dikonfirmasi bahwa musibah ini diakibatkan oleh pembalakan hutan secara liar (kompas, 8/10). Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana, jumlah korban tewas akibat banjir bandang di Wasior, Papua Barat, mencapai 108 orang. Hingga Jumat (8/10), sebanyak 116 orang masih dinyatakan hilang, 87 orang terluka parah, dan 34 lainnya mengalami luka ringan dan menenggelamkan ribuan rumah (www.metrotvnews.com). Itu baru data yang direkam dan dipublish media, mungkin saja kalau kita mau meluangkan waktu kita untuk mendengar ratap mereka secara langsung, atau tinggal sejenak bersama mereka, barangkali kita bisa memahami arti tinggi-rendah tangis ibu kehilangan anaknya, atau bocah kecil yang memelas iba karena terluka kehilangan orang tuanya. ‘Air bah’ ini da

Wacana Anak Perawan

Oleh : Dedy Hutajulu Bukan hanya saya barang kali, orang yang kaget membaca berita tentang wacana tes keperawanan siswa yang berkembang belakangan ini. Wacana yang menuai kritik ini digulirkan anggota DPRD Provinsi Jambi, Bambang Bayu Suseno. Keinginan Bambang agar siswi melakukan tes keperawanan dalam penerimaan siswa baru (PSB) disampaikan terkait peningkatan mutu pendidikan di Jambi. Keinginan ini kemudian direspons berbagai pihak, termasuk oleh Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang melihat tes keperawanan bukan sebagai solusi. Meski niat awalnya mulia—agar perilaku akhlak dan moral generasi muda semakin baik—tapi cara mewujudkannya tidak tepat. Di sinilah kekeliruan menjadi panglima. Identifikasi masalahnya sudah jelas yakni, moral generasi muda memprihatinkan. Namun, keliru memilih solusi (correction action) untuk meminimalisir disfungsi ibarat memberi ‘parasetamol’ kepada orang yang sakit perut.  Saya berani bertaruh, bahwa siswa yang lulus tes

Memugar (kembali) Semangat Sumpah Pemuda Oleh Dedy Hutajulu 28-10-1010 adalah hari yang amat berarti bagi kaum muda untuk dirayakan. Bukan hanya pemuda, bangsa ini juga ikut merayakannya. Sebagai sebuah ikrar yang telah mempersatukan tunas-tunas bangsa ini dalam satu tanah air, bangsa dan bahasa –Indonesia. Sebagai hari yang amat berharga bagi pemuda, maka sangat tidak mungkin untuk melewatkannya begitu saja, apalagi dengan aktivitas biasa-biasa saja dan itu-itu saja. Dipastikan akan ada sesuatu kegiatan yang menandai pentingnya hari itu. 28 oktober 1928 telah menjadi tonggak peringatan bagi kita hari ini betapa pemuda yang multikultur menggoreskan semangat persatuan dan kesatuan. Diyakini betul bahwa sumpah pemuda adalah fondasi atau dasar pemersatu bangsa. Dan kini, genap 82 tahun usia sumpah itu. Seiring bergulirnya roda sejarah, apakah semangat sumpah itu masih terasa dengungannya ataukah sudah pudar seiring putaran waktu? Namun sebelum kita berdiskusi, siapa sebenarnya pantas disebut pemuda? Pemuda adalah mereka-mereka yang memiliki jiwa muda, semangat perubahan, jiwa pembaruan. Pemuda adalah orang-orang yang berkontribusi dengan cara ‘terjun ke lapangan’ membawa perubahan yang telah dinantikan oleh banyak orang. Dalam defenisi ini, pemuda bukanlah dibatasi oleh usia, jangan sampai menafikan orang tua yang berjiwa muda, sementara mereka sedang dan terus bergerak memberi arah perubahan bagi bangsa ini. Mereka juga pemuda Membongkar Semangat Kepemudaan Pengaruh pemuda masa kini dibandingkan masa 1928-an memang ada perbedaan yang mencolok. Pertama, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini, cukup kelihatan bahwa gerakan-gerakan pemuda saat mengkritisi segala kebijakan pemerintah cukup mudah diredam dan dipatahkan oleh rezim yang berkuasa. Kedua, minimnya peran pemuda dalam mewarnai opini publik, memberi pencerahan di tengah karut-marut bangsa saat ini. Selain lemah dalam memberikan gagasan pencerahan, pemuda juga kurang berkontribusi nyata ke masyarakat dalam rupa pelayanan dan langkah progress perwujudan demokrasi yang seutuhnya. Selanjutnya, tak jarang pemuda saat ini terhisap dan terbenam dalam kekuatan arus neoliberalisme, yang menghalakan segala cara sebagai alat menghasilkan uang, sekalipun itu harus menyingkirkan hakikat kemanusiaan. Sebagai bukti, banyak pemuda sekarang hanya asyik beremeh-temeh dengan ‘fesbuk’, dan abai dengan disiplin ilmu. Banyak juga yang menjadi individualistis dengan kehadiran internet dan handpone (HP), yang bahkan dengan hpnya semakin minus etika. Tak sedikit pula, pemuda sekarang begitu terobsesi menjadi Pegawai negeri sipil (PNS), tanpa menyadari betul besarnya tanggung jawab sebagai PNS, dalam menyelenggarakan pemerintahan dengan baik dan benar. Terakhir, terputusnya ikatan diantara organisasi kepemudaan sebagai sebuah aliansi. Belum diketahui apa penyebabnya, yang pasti belum ada ‘blue print’ aliansi gerakan pemuda yang begitu kuat dan bisa tetap eksis hingga hari ini. Momentum 28-10-1928 Soekarno pernah berkata: “Berikanlah kepadaku sepuluh pemuda, maka saya akan mengguncang dunia”. Beranjak dari catatan sejarah diatas, maka semakin penting bagi kita memperbincangkan kepemudaan masa kini di tengah kencangnya arus globalisasi dan akselerasi laju informasi. Jangan-jangan selama ini kita abai menilai zaman. Apakah globalisasi menjadi ‘pintu terbuka‘ bagi bangsa ini untuk bangkit-bergerak-maju, atau sebaliknya, justru telah me’ninabobok’an jiwa kepemudaan kita hari ini, dan menuntun kita ke jurang kehancuran? Pertanyaan inilah yang harus kita jawab, siapapun kita. Terkait ikrar pemuda1928-an, semangat, militansi dan gerakan kepemudaan saat itu memang sangat terasa. Bagaimana dengan sekarang? Apakah militansi pemuda saat ini tidak mampu meneruskn jejak-jejak sejarah masa lalu, ataukah semangat itu sudah pudar? Saya pikir tidaklah demikian. Memang, sekarang cukup jelas kelihatan diantara pemuda saat ini, ada semacam penyakit ‘keengganan’. Enggan untuk berkarya, berkiprah dengan jujur, berjuang dengan berani, bahkan enggan untuk bekerja sama dengan sesama. Yang lebih menyakitkan adalah membiarkan tumbuh suburnya sikap arogansi di dalam jiwa kepemudaan. Padahal, sikap arogansi itulah, barang kali yang menjadi cikal bakal retaknya aliansi kepemudaan. Arogansi adalah bukti keegoisan. Kedua saudara kembar tabiat buruk ini saling mendukung, meruntuhkan persatuan, dan mengendurkan ikatan emosional di kalangan pemuda. Akhirnya, jarang ditemukan ada ikatan batin yang kuat terjalin dalam sebuah komunitas pemuda, anak-anak pergerakan. Jika arogansi dan darah keegoisan terus mengalir dalam nadi sebuah organisasi kepemudaan, bahkan jika hal itu sampai masuk mengotori sebuah gerakan kepemudaan, betapa rentannya gerakan itu terhadap perpecahan. Gerakan yang saya maksud bukanlah bentuk hasutan untuk merongrong pancasila. Namun, gerakan pemuda yang justru mengedepankan keadilan, menyuarakan kebenaran di tengah perjalanan pemerintahan yang lamban dan sering menyingkirkan peran pemuda dalam kemajuan bangsa. Munculnya gerakan pemuda kini sangatlah tepat, selain masyarakat begitu yakin dan berharap, lahir pemimpin dari pemuda, juga karena pemuda adalah tunas bangsa yang akan bersinar sebagai poros aspirasi rakyat. Maka ketika gerakan pemuda didasari dengan semangat keberpihakan kepada rakyat dan kebenaran, di sinilah substansi kepemudaan dinantikan. Oleh sebab itu, gerakan-gerakan sporadis di seluruh tanah air amat penting untuk digalakkan. Gerakan-gerakan yang peduli terhadap nasib bangsa ini, yang benci kepada korupsi, yang mengedepankan kejujuran, mengutamakan persatuan, sembari berkiprah dengan kinerjanya yang produktif. Tenggelam dalam romantisme sejarah Meski ada semacam isu bahwa pemuda saat ini lemah sementara pemuda jaman dulu begitu gagah dan hebat, namun janganlah kita sampai terjebak dalam romantisme sejarah seperti itu. Lemahnya pemuda dan gerakan-gerakan yang dibangun oleh pemuda saat ini tentu disebabkan oleh kekuatan sistem yang sedang dihadapi. Sistem saat ini telah dibentengi dengan pagar-pagar ‘beton kekuasaan’, ‘dibaja’ dengan birokrasi. Sehingga segala bentuk penegakan hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Sistem hari ini jelas sangat berbeda dengan zaman dulu. Dulu, pergumulan pemuda masih seputaran melawan penjajah dan merebut kemerdekaan. Orientasinya kini berbeda. Kini, pemuda harus berhadapan dengan bahaya laten korupsi, makelar kasus, dan makelar pajak. Selain itu, setiap hari pemuda disuguhi berita terorisme, listrik mahal, sembako mahal, plagiarisme, dan mahalnya pendidikan. Lebih mencemaskan, sistem hari ini cenderung memaksa pemuda untuk bersikap ‘cuek’ atau memilih‘diam’ saja atas segala ketidakadilan daripada bertindak melawan. Sedikit saja menggeliat, maka siapapun itu akan dianggap musuh rezim dan harus disingkirkan. Selain, kuatnya cengkraman sistem, ketidak-siapan menghadapi gemburan teknologi juga menjadi ancaman bagi pemuda untuk berkembang. Ancaman itu kini semakin nyata seperti: gempuran ‘fesbuk’, penggunaan hp yang minus etika, dan efisiensi uang untuk membeli pulsa. Di sisi lain, hal-hal yang selama ini diyakini kebiasan baik, justru dalam prakteknya seolah tiada harganya: seperti budaya berdiskusi, membaca buku, duduk berjam-jam di ruang kuliah untuk menganalisa masalah, keinginan berkompetisi, dan ketekunan menulis, semuanya semakin pudar. Malah banyak kaum muda (mahasiswa) justru memelopori sikap individualistis, konformistis dengan ketidakbenaran, melegalkan ketidakadilan, dan budaya plagiarisme. Uraian panjang dan sedikit melelahkan di atas adalah isyarat betapa melelahkan pula menjadi pemuda yang bersinar di tengah zaman ini. Pemuda–dengan segala potensinya–sesungguhnya bisa mengimbangi arus globalisasi dan laju informasi dengan menganulirnya sebagai sebuah kesempatan untuk membawa perubahan. Teladan yang memotivasi dari pemuda perlu dibangun selagi hari masih pagi. Sebagai agen perubahan, pemuda harus berani menantang diri sendiri untuk bangkit menjadi pemimpin zaman. Kita berharap, revitalisasi semangat sumpah pemuda 28 oktober 1928 sebagai ikrar pemersatu tunas-tunas bangsa, kiranya mengantarkan kita (pemuda) hari ini, untuk bangkit berkiprah bagi bangsa ini. Hidup pemuda! (Penulis adalah kaum muda, aktif di Perkamen).

Menunggu Langkah Progres Timur Pradopo

Oleh Dedy Hutajulu “Congratulation pak Timur Pradopo. Semoga sukses menakhodai kepolisisan di negeri ini, segala harapan kami dipundakmu sang Jenderal. Kami (rakyat) kini menanti kepemimpinanmu”. Demikianlah gema harap dan ucapan selamat masih terus mengalir dari hati-ke-hati, meski proses terpilihnya bapak Timur sebagai Kapolri baru sarat dengan kontroversi. Namun, meski demikian (sarat kontroversi), siapapun yang terpilih berhak mendapat kesempatan itu. Timur Pradopo sudah dilantik menjadi Kapolri baru. Begitu beliau menanggalkan jubah lamanya, dan telah mengenakan jubah barunya, maka segala harapan rakyat terkait tugasnya, melekat dalam jubah baru yang dikenakannya saat ini. Seiring dengan itu, segala restu, doa, harap senantiasa menyertai hari-hari kapolri baru kita ini. Sederet Tugas Kapolri Dengan terpilihnya Timur sebagai kapolri bukan berarti semua masalah lantas berakhir, seperti riak kontroversinya yang kini tinggal sayup-sayup. Sederet panjang nan berat tugas untuk k

Lalai Bercermin

Oleh: Dedy Hutajulu Cermin dipakai orang untuk melihat dan menilai penampilan mereka. Dengan bercermin kita bisa tahu siapa diri kita, kita bisa menemukan keriput baru di sana, bercak lama di sini, sampai kecocokan riasan dengan pakaian yang mungkin menambah nilai kegagahan yang melekat pada penampilan kita. Dia merupakan sarana terbaik untuk melihat bagaimana penampilan kita. Namun, cermin hanyalah cermin, tidak bisa memperbaiki penampilan, apalagi menyingkirkan jerawat. Menghilangkan bercak di wajah tidaklah mungkin dengan menghapus cermin, atau menggantinya dengan cermin lain. Memperbaiki sesuatu menjadi lebih baik hanya bisa dilakukan pada objeknya, bukan pada bayangannya. Demikianlah seharusnya, kita perlu bercermin dalam segala hal. Begitu banyak hal yang menuntut perhatian kita setiap hari, tanggung jawab, batas waktu pekerjaan, pemenuhan kebutuhan, keselamatan orang lain, belum lagi isu yang datang dari media. Banyak diantara kita yang semakin terombang-ambing dalam pusar

KORUPSI

Sejujurnya kita muak mengamati praktik korupsi di Indonesia yang dari era ke era bukannya makin turun, tetapi justru kian meningkat. Alasannya: Pertama, karena korupsi sudah adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), maka upaya memeranginya juga harus luar biasa keras, hukuman terhadap koruptornya harus maksimal. Kedua, karena korupsi adalah sebuah kejahatan luar biasa yang bukan saja merugikan negara dan rakyat, tetapi juga mencoreng citra Indonesia di dunia. Ketiga, karena kita tak sudi bangsa ini tersandera kemiskinan akibat korupsi. Terkait itu indonesia patut bertanya, masih adakah harapan nahsa kita bisa keluar dari jerat korupsi?

Koruptor #1

: Ulahmu luar biasa Terkenal sampai kemana-mana Mengeruk uang rakyat Lalu kabur ke singapura Tak peduli rakyat menderita Hidup melarat tanpa makan Tak peduli rakyat sengsara Menanti pendidikan yang tak kunjung tiba Wahai para koruptor Dengan kerah putihmu Jangan lukai hati ibu pertiwi Kepada pemimpin kami Tolong hidupkan lagi Pahlawan kami : Satria pemberantas korupsi

Puisi

Mungkin menggembirakan Kata-kata yang indah ini Menyatu dengan darahmu Mungkin memalukan Kata-kata sinis ini mencoreng namamu Mungkin menyedihkan Curhatku ini Harus kau renungkan Andai saja semuanya begitu mudah Kita buat lebih indah Seperti cinta Yang diidamkan setiap insan Terbuai sampai ke awan-awan Berlabuh di kedalaman hati

Eksistensi

Kiat sukses kemarin Tidak sendirinya menjamin sukses ke depan Keberadaan kita yang kokoh sekarang Itu yang harus diandalkan Bagi eksistensi kita besok Sebab tak ada yang bisa menduga Datangnya kehancuran Selalu tiba-tiba

Marah

Energi yang terciptakan olehnya sungguh luar biasa Mampu meremukkan kerasnya baja Tetapi energi yang tercipta karena kelembutan Jauh lebih luar biasa Mampu menggagalkan perang dunia Bila damai lebih indah dari perang Buat apa marah?

Hidup adalah Proses

Jangan terburu-buru Menyimpulkan kekalahan Sebelum melewati garis finish segala kemungkinan Jangan terlalu mudah menyerah Sebelum cukup dedel-dedel berdarah-darah Dari kerasnya perjuangan Hidup adalah proses Bukan hasil yang dikejar

Waktu Luang

Seperti butiran-butiran permata Dengan sabar kau kumpulkan Dari buku-buku bekas Yang kau beli di titigantung Seperti kilatan-kilatan pengertian baru Memberi terobosan Untuk memecahkan problema hidup Selalu kau dapatkan Dan kau retas jalanmu Dari buku-buku bekas Yang kau beli di titigantung Hari-harimu jadi kaya Disaat orang menyepelekan waktu Kamu malah asyik membaca buku

Dicari : Hukum

Sampai kapan seperti ini? Mengatasnamakan Hukum Demi mendapatkan kuasa Demi memperkaya keluarga Demi kepuasan nafsu semata Apa gunanya HUKUM Kalau orang miskin mengais-ngais Ditempat sampah Kaum papa tak pernah mereguk manisnya kepuasan setelah kerasnya berjuang Apa gunanya HUKUM Kalau korupsi tetap dipelihara Birokrasi tetap kelabu Masyarakat tak bisa bersyukur karena hukum tak memayungi mereka dari Teriknya penindasan. Dan betapa luasnya kebiasaan itu kini mendera

Bukan Bapak yang dulu

Jangan anggap remeh bapakmu ini Katanya pada kelima anaknya Hujan rintik-rintik mulai turun Di kejauhan terlihat wanita yang semalam Sudah menunggunya dengan rok mini dan Lipstiknya yang merah padam tak pernah diganti Bersamaan dengan perginya sang bapak Lenyap sudah pertengkaran itu Gubuk tua itu kembali pecah Tangis anak-anak bersahut-sahutan Memanggil-manggil ibunya dari liang kubur

Jeritan Anak Negeri

Wanita tua itu mulai menyeka air matanya Sambil melanjutkan ceritanya meski matanya berkaca-kaca Hatiku ikut teriris membayangkan pisau-pisau kecil menyayat hatinya Dia mulai kisahnya Awalnya kemiskinan dan anaknya yang putus sekolah Ditinggal mati sang suami Si sulung baru 10 tahun seperti mengerti Duka ibunya lalu bertekad merantau Berharap bisa membantu Gadis-gadis mungilnya juga begitu TKI entah dimana Ribuan surat di tulisnya dengan air matanya tapi gagal terkirim Karena dia tak pernah diajari mengeja huruf-huruf itu Cerita berlanjut putrinya disetrika majikan Dan tak dapat sepeserpun logam perunggu yang diidamkan Makan terasa sekam minum terasa duri Entah kapan anaknya kembali Sampai kapan putrinya menari

Korupsi

Kurasa aku berdoa dan menangis pada saat yang sama Mengingat si Budi yang basah kuyup  Diguyur hujan kemiskinan dan kelaparan Bercita-cita jadi presiden Tapi sekolahpun tidak karena ibunya ibu pertiwi keburu meninggal sakit melahirkan  putra sulungnya yang korupsi katanya ceritanya pantas untuk diceritakan dan diselamatkan Untuk seratus alasan yang berbeda

Guruku

Kulihat senyum diwajahmu saat suaramu menyapa nuraniku Rasanya seperti menanam biji perlahan namun pasti membuahkan kebaikan. tidak dengan tangan yang hampa kau ukir tiap bongkahan hatiku dengan kejujuran. karena kejujuran adalah kekuatan dan ketulusan adalah pengharapan kau buat segalanya begitu mudah. ketegaranmu mendampingiku tumbuh dewasa Perhatianmu mengawal hari-hariku kemanapun kakiku melangkah. waktu tak mampu menjelaskan bagaimana engkau mengusir kesunyian. Dibawah gerimis kau setia merawat kesabaran menunggu lahir kata nasihat hingga tanah lapang penuh tawa membuat hidupku penuh makna     Medan, 20 Juni 2010      Kenangan di Rumah Kedua   Saat matahari menyinari wajah kami kulihat keseriusan. terpatri pengabdian di setiap aliran darah dan dalam setiap desahan nafasmu. mengalun doa dan harapan-harapanmu akan masa depan kami hingga prestasi tak cukup diukir di atas kertas Kau telah membuka mata kami jejak yang tak mudah dilupakan. kau memberi pesan yan

Kota yang Semakin Kedinginan

Oleh : Dedy Gunawan Hutajulu (Mahasiswa Matematika Unimed, Medan) Jumat, 21 Mei 2010 JIWA kebanyakan penduduk kota Medan memburuk ditengah hawa panas. Pikiran jelek dan perasaan negatif membubung ke permukaan. Diperparah, hiruk-pikuk manusia dan hingar-bingar kota yang hidup ditengah kebisingan dan debu jalanan. Semua itu mengarah ke tingkah-laku yang buruk. Kesimpulan saya : Kota ini kepanasan!  Baru saja selesai mandi ataupun makan, sekujur tubuh tahu-tahu sudah basah kuyup akibat keringat yang mengucur deras. Berteduh dalam putaran kipas angin ataupun AC mungkin sesuatu yang menyenangkan belakangan ini, namun itu bagi mereka, yang memiliki fasilitas. Tetapi bagi para anak kost (pria), tidur bertelanjang dada mungkin menjadi alternatif terbaik, atau bagi para wanita, mengenakan pakaian tipis rasanya sedikit lebih nyaman untuk menghindari kepanasan kota ini.  Hari-hari yang didera cuaca panas bersuhu sekitar 350C terjadi berturut-turut dalam bulan ini. Semua orang menjadi mu

Gowes Sepeda, Lestarikan Bumi

Oleh : Dedy Gunawan Hutajulu (Mahasiswa Matematika Unimed, Medan) Minggu, 23 Mei 2010 JENUH! Begitulah ungkapan yang tepat untuk menyatakan perasaan kita, ketika melihat kemacetan setiap hari dan lelah dengan polusi yang kelewat-batas. Di tengah kebisingan kota, hingar-bingar deru kendaraan bermotor dan debu jalanan, seolah tidak ada lagi ruang sepi dan teduh untuk beristirahat menenangkan jiwa.  Mengalahkan gengsi Gengsi adalah penyakit klasik masyarakat kita. Ironis sekali, kita menginginkan hidup nyaman di planet bumi ini, tetapi tak mau merepotkan diri untuk memeliharanya. Harus kita akui bahwa bumi ini sudah rusak akibat ulah kita (umat manusia), namun mengapa kita tidak mau menyelamatkannya? Tentu menyedihkan bila karena gengsi, maka seluruh umat manusia akan merasakan akibatnya, terus tersiksa kepanasan. Sebagai umat yang religius, perlu kita pahami maksud Sang Pencipta kepada kita atas bumi ini. Ada dua mandat yang Tuhan berikan kepada kita, umatNya, yaitu mandat ilahi

Harga Sebuah Impian

TIDAK ada yang bisa menyangkal bahwa mewujudkan impian itu tidak gampang. Walaupun tidak harus selalu semua hal dibuat susah.  Umumnya, untuk mewujudkan sebuah impian butuh proses panjang, berliku, harus melewati kerikil-kerikil tajam, terjal dan harus membiasakan diri bersahabat dengan ketidakpastian.  Mereka yang sudah mengecap nikmatnya hasil keringat terbaiknya, selalu mengatakan bahwa mewujudkan impian harus penuh kesabaran dan siap berproses.  Inilah tantangan kita sepanjang zaman.  Bagi yang sering mempelajari kisah-kisah tokoh, tentunya paham betul makna kesabaran. Salah satu contoh buku yang menceritakan kesabaran adalah buku karangan Kick Andy (dalam buku 7 Heroes). Bagi saya, Kesaksian hidup Wanhar Oemar dan ’Suster Apung’ sungguh menginspirasi tentang kesabaran. Saya menyimpulkan dalam pekerjaan apapun, kesabaran sangat diperlukan.   Cerita lain yang tak kalah seru adalah novel Frankenstein karangan Mary Shelley. Dalam buku ini dikisahkan tentang seorang pemuda dari Jenewa,