Oleh : Dedy Gunawan Hutajulu
(Mahasiswa Matematika Unimed, Medan)
Jumat, 21 Mei 2010
JIWA kebanyakan penduduk kota Medan memburuk ditengah hawa panas. Pikiran jelek dan perasaan negatif membubung ke permukaan. Diperparah, hiruk-pikuk manusia dan hingar-bingar kota yang hidup ditengah kebisingan dan debu jalanan.
Semua itu mengarah ke tingkah-laku yang buruk. Kesimpulan saya : Kota ini kepanasan! Baru saja selesai mandi ataupun makan, sekujur tubuh tahu-tahu sudah basah kuyup akibat keringat yang mengucur deras. Berteduh dalam putaran kipas angin ataupun AC mungkin sesuatu yang menyenangkan belakangan ini, namun itu bagi mereka, yang memiliki fasilitas.
Tetapi bagi para anak kost (pria), tidur bertelanjang dada mungkin menjadi alternatif terbaik, atau bagi para wanita, mengenakan pakaian tipis rasanya sedikit lebih nyaman untuk menghindari kepanasan kota ini.
Hari-hari yang didera cuaca panas bersuhu sekitar 350C terjadi berturut-turut dalam bulan ini. Semua orang menjadi mudah marah. Inilah hari dimana hawanya panas dan terik luar biasa pengap, hingga terasa mencekik. Pergi ke luar rumah merupakan tindakan negatif, namun tinggal di rumah sendirian lebih buruk lagi.
Buruk karena untuk menghilangkan kegerahan dan kebosanan, banyak orang cenderung memilih untuk merokok. Padahal, merokok bukanlah tindakan yang tepat dilakukan pada saat ini di tengah panasnya kota. Jelas, asap yang tebal akan semakin membahayakan kesehatan. Dan merokok, apaun ceritanya sangat berbahaya.
Lantas, maksud tulisan di atas apa? Pembaca yang budiman jangan terburu emosi dulu. Kepanasan kota jangan sampai membuat isi kepala dan isi hati meleleh. Kepala boleh panas, hati tetap dingin. Jadi, maksud tulisan ini adalah bahwa kepanasan kota tak lain adalah efek pemanasan global.
Semua orang sudah tahu. Akan tetapi sampai hari ini, aksi untuk membangun kota dengan penghijauan sangat minim. Jangankan aksi, suara-suara tentang penghijauan, menanam bunga, melestarikan taman kota dan mengurangi polusi seolah tidak mendapat tempat di kota ini.
Dinginnya aksi masyarakat menyuarakan betapa pentingnya menyelamatkan bumi, namun betah tinggal dalam kepanasan. Inilah yang saya sebut dengan kota yang semakin kedinginan.
Perlu diketahui, bukan hanya kota Medan saja yang merasakan kepanasan sebagai efek langsung pemanasan global, yang sudah kelewatan, tetapi juga semua kota di negeri ini merasakan hal yang sama, bahkan seluruh negara di planet bundar ini.
Catatan tambahan, protes terhadap berbagai kebijakan lain sangat tinggi, namun terkait menyuarakan penyelamatan bumi masih sangat lemah. Solusi terbaik penyelamatan kota, menurut hemat saya ada di tangan pemerintah.
Jika kebijakan dari atas kuat menyerukan agar bersama menyelamatkan bumi, saya yakin masyarakat akan mengikut. Jadi pemerintah punya andil besar dalam meneladankan masyarakat.
Andai saja bapak gubernur membuat kebijakan agar setiap kepala rumah tangga menanam pohon minimal satu untuk satu keluarga, maka hal itu akan sangat berharga.
Asal memang, pemerintah mau menyediakan bibitnya. Sayang, suara-suara untuk menyelamatkan bumi hanya sebatas wacana. Pemerintah -mulai dari tingkat pusat hingga daerah- sebagai pembuat kebijakan seolah tak memandang bahwa penyelamatan bumi ini sudah genting.
Padahal posisi mereka sangat strategis untuk menggerakkan dan mengorganisir masyarakat untuk menyelamatkan bumi. Menjaga kehangatan bumi, agar sesuai dengan suhu tubuh normal kita sudah saatnya dijadikan program bersama, yang terarah dan terencana.
Solusi utama penyelamatan bumi adalah membangun gebrakan menjadi gerakan bersama menanam pohon. Pemerintah harus memandang posisinya sebagai pemimpin, yang harus memimpin rakyat dalam pergerakan penyelamatan bumi. Masyarakatpun harus mengikuti pemimpinnya.
Semua pihak harus terlibat, mahasiswa apalagi. Pengalaman saya, sebagai mahasiswa yang aktif di organisasi Impass. Kami pernah membuat penghijauan melalui penanaman sejuta pohon di sebuah desa Saran Padang, kecamatan Dolok Silau, kabupaten Simalungun. Berketepatan pada hari itu adalah hari pohon sedunia (27 November 2009).
Aksi seperti ini tentu sangat dinantikan banyak pihak. Tantangan kita sekarang adalah bersama menjaga kehangatan bumi. Jika ingin tetap hidup nyaman di bumi ini. Inilah kewajiban moral bagi kita yang tidak bisa ditawar-tawar, tak pantas ditunda-tunda.
Think global but do local, berpikir secara global akan tetapi bertindak lokal adalah langkah yang bijak untuk menyelamatkan kota masing-masing. Tak ada cara lain untuk menyelamatkan kota bahkan bumi ini, selain membangun gerakan bersama. Semoga.(*)
(Mahasiswa Matematika Unimed, Medan)
Jumat, 21 Mei 2010
JIWA kebanyakan penduduk kota Medan memburuk ditengah hawa panas. Pikiran jelek dan perasaan negatif membubung ke permukaan. Diperparah, hiruk-pikuk manusia dan hingar-bingar kota yang hidup ditengah kebisingan dan debu jalanan.
Semua itu mengarah ke tingkah-laku yang buruk. Kesimpulan saya : Kota ini kepanasan! Baru saja selesai mandi ataupun makan, sekujur tubuh tahu-tahu sudah basah kuyup akibat keringat yang mengucur deras. Berteduh dalam putaran kipas angin ataupun AC mungkin sesuatu yang menyenangkan belakangan ini, namun itu bagi mereka, yang memiliki fasilitas.
Tetapi bagi para anak kost (pria), tidur bertelanjang dada mungkin menjadi alternatif terbaik, atau bagi para wanita, mengenakan pakaian tipis rasanya sedikit lebih nyaman untuk menghindari kepanasan kota ini.
Hari-hari yang didera cuaca panas bersuhu sekitar 350C terjadi berturut-turut dalam bulan ini. Semua orang menjadi mudah marah. Inilah hari dimana hawanya panas dan terik luar biasa pengap, hingga terasa mencekik. Pergi ke luar rumah merupakan tindakan negatif, namun tinggal di rumah sendirian lebih buruk lagi.
Buruk karena untuk menghilangkan kegerahan dan kebosanan, banyak orang cenderung memilih untuk merokok. Padahal, merokok bukanlah tindakan yang tepat dilakukan pada saat ini di tengah panasnya kota. Jelas, asap yang tebal akan semakin membahayakan kesehatan. Dan merokok, apaun ceritanya sangat berbahaya.
Lantas, maksud tulisan di atas apa? Pembaca yang budiman jangan terburu emosi dulu. Kepanasan kota jangan sampai membuat isi kepala dan isi hati meleleh. Kepala boleh panas, hati tetap dingin. Jadi, maksud tulisan ini adalah bahwa kepanasan kota tak lain adalah efek pemanasan global.
Semua orang sudah tahu. Akan tetapi sampai hari ini, aksi untuk membangun kota dengan penghijauan sangat minim. Jangankan aksi, suara-suara tentang penghijauan, menanam bunga, melestarikan taman kota dan mengurangi polusi seolah tidak mendapat tempat di kota ini.
Dinginnya aksi masyarakat menyuarakan betapa pentingnya menyelamatkan bumi, namun betah tinggal dalam kepanasan. Inilah yang saya sebut dengan kota yang semakin kedinginan.
Perlu diketahui, bukan hanya kota Medan saja yang merasakan kepanasan sebagai efek langsung pemanasan global, yang sudah kelewatan, tetapi juga semua kota di negeri ini merasakan hal yang sama, bahkan seluruh negara di planet bundar ini.
Catatan tambahan, protes terhadap berbagai kebijakan lain sangat tinggi, namun terkait menyuarakan penyelamatan bumi masih sangat lemah. Solusi terbaik penyelamatan kota, menurut hemat saya ada di tangan pemerintah.
Jika kebijakan dari atas kuat menyerukan agar bersama menyelamatkan bumi, saya yakin masyarakat akan mengikut. Jadi pemerintah punya andil besar dalam meneladankan masyarakat.
Andai saja bapak gubernur membuat kebijakan agar setiap kepala rumah tangga menanam pohon minimal satu untuk satu keluarga, maka hal itu akan sangat berharga.
Asal memang, pemerintah mau menyediakan bibitnya. Sayang, suara-suara untuk menyelamatkan bumi hanya sebatas wacana. Pemerintah -mulai dari tingkat pusat hingga daerah- sebagai pembuat kebijakan seolah tak memandang bahwa penyelamatan bumi ini sudah genting.
Padahal posisi mereka sangat strategis untuk menggerakkan dan mengorganisir masyarakat untuk menyelamatkan bumi. Menjaga kehangatan bumi, agar sesuai dengan suhu tubuh normal kita sudah saatnya dijadikan program bersama, yang terarah dan terencana.
Solusi utama penyelamatan bumi adalah membangun gebrakan menjadi gerakan bersama menanam pohon. Pemerintah harus memandang posisinya sebagai pemimpin, yang harus memimpin rakyat dalam pergerakan penyelamatan bumi. Masyarakatpun harus mengikuti pemimpinnya.
Semua pihak harus terlibat, mahasiswa apalagi. Pengalaman saya, sebagai mahasiswa yang aktif di organisasi Impass. Kami pernah membuat penghijauan melalui penanaman sejuta pohon di sebuah desa Saran Padang, kecamatan Dolok Silau, kabupaten Simalungun. Berketepatan pada hari itu adalah hari pohon sedunia (27 November 2009).
Aksi seperti ini tentu sangat dinantikan banyak pihak. Tantangan kita sekarang adalah bersama menjaga kehangatan bumi. Jika ingin tetap hidup nyaman di bumi ini. Inilah kewajiban moral bagi kita yang tidak bisa ditawar-tawar, tak pantas ditunda-tunda.
Think global but do local, berpikir secara global akan tetapi bertindak lokal adalah langkah yang bijak untuk menyelamatkan kota masing-masing. Tak ada cara lain untuk menyelamatkan kota bahkan bumi ini, selain membangun gerakan bersama. Semoga.(*)
Komentar