Langsung ke konten utama

Wasior, Potret Runtuhnya Kepedulian Pemerintah

Oleh: Dedy Hutajulu

Berita bencana banjir bandang di Wasior, ibu kota kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat, senin (4/10) lalu, bagai keris yang mengiris hati siapa saja yang nuraninya masih tajam. Tragedi ini semakin menyayat hati saat dikonfirmasi bahwa musibah ini diakibatkan oleh pembalakan hutan secara liar (kompas, 8/10).

Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana, jumlah korban tewas akibat banjir bandang di Wasior, Papua Barat, mencapai 108 orang. Hingga Jumat (8/10), sebanyak 116 orang masih dinyatakan hilang, 87 orang terluka parah, dan 34 lainnya mengalami luka ringan dan menenggelamkan ribuan rumah (www.metrotvnews.com).

Itu baru data yang direkam dan dipublish media, mungkin saja kalau kita mau meluangkan waktu kita untuk mendengar ratap mereka secara langsung, atau tinggal sejenak bersama mereka, barangkali kita bisa memahami arti tinggi-rendah tangis ibu kehilangan anaknya, atau bocah kecil yang memelas iba karena terluka kehilangan orang tuanya. ‘Air bah’ ini datang seketika saja, tanpa pemberitahuan, tanpa persiapan. Akibatnya, tak ada yang bisa mengelak.

Masyarakat hanya bisa bersembunyi di balik kepasrahan, kekuatiran dan aroma kegetiran. Bahkan, ratusan dokumen penting juga ikut tenggelam bersama mimpi-mimpi mereka (para orang tua) akan masa depan anak-anaknya. Arus air telah merenggut kehidupan sekaligus kebahagiaan setiap anak di sana, tali persahabatanpun harus direlakan berakhir menyatu dengan air muka, kesetiaan suami-istri hanyut bersama gelombang.

Kini, wasior tak ubahnya kota mati. Mungkin angka-angka yang saya sajikan kurang tajam bercerita tentang kesedihan saudara kita disana. Namun, mudah-mudahan dengan beberapa kali berita ini diturunkan, berikut pemutaran video amatir seputar banjir tersebut kiranya mampu menggugah rasa kepedulian kita semua. Keserakahan  Membaca dua sampai tiga kali berita tersebut, lalu memaknainya, mungkin akan membuat kita terperangah.

Betapa tidak, keserakahan manusia adalah pemicu bencana tersebut. Manusia serakah, begitu melihat hutan, air liurnya langsung meleleh. Dan seketika saja, imajinasinya melayang jauh pada pundi-pundi di kamarnya, dipenuhi dengan tumpukan uang. Hutan dibayangkan sebagai ‘mesin pencetak uang’—begitu menggiurkan.  Tak terbantahkan, maraknya Illegal logging (pembalakan hutan secara ilegal) menjadi tertuduh utama penyebab bencana di Wasior.

Menurut data kompas, hutan rusak akibat pertambangan dan pembalakan, tambahan lagi, hampir 11,54 juta hektar wilayah Papua Barat, nyaris habis terbagi untuk pertambangan gas di darat dan di laut. Tumpang tindih proyek penambangan mineral dan gas bumi begitu nyata kini. Akibatnya, hutan primer dan sekunder tinggal sekitar 6,6 juta hektar (kompas 8/10). Sisanya, wilayah tersebut sudah dibagi-bagi untuk daerah pertambangan mineral dan gas alam

Jika fakta ini tidak disikapi secara serius, bukan mustahil cerita satir yang sama akan berlanjut, bahkan bisa lebih parah. Lebih parah dalam arti, bencananya lebih dahsyat, menelan korban lebih banyak, dan kerusakan yang diakibatkan lebih parah. Tentu kita tidak menghendaki hal itu.

Melawan Korupsi
Bencana banjir Wasior adalah rangkaian sebab-akibat korupsi. Para koruptor bukan hanya tindakannya yang korup, pikirannya juga. Para koruptor yang pikirannya sudah terkorupsi ini, begitu memandang hutan, ‘insting menjarahnya’ sontak muncul. Hutan yang tadinya diakui sebagai jendela kehidupan, penyumbang oksigen terbesar bagi kehidupan, kini (setelah pikirannya dikorupsi), hanya memaknai sebagai kumpulan ‘pohon uang’, bukan pohon kehidupan.

Keserakahan, telah mengubah mindset (pola pikir) manusia korup, sehingga hutan hijau tersingkir oleh uang. Padahal, dengan menjaga hutan, ribuan mahluk terpelihara, terlestarikan, dan kehidupan akan berlanjut dengan cerita ria.

Sayang, keserakahan, mengubah segalanya, begitu cepat. Masa-masa sekolah anak usia belajar hari ini di Wasior, kini, tinggal kenangan, yang perlahan bergerak menuju hikayat, bermetamorfosis menjadi mitos, dan pada akhirnya, lenyap dari peradaban manusia.

Korupsi–dengan segala daya pikatnya, bak medan magnet–begitu kuat menyingkirkan rasa kepedulian kita. Wasior adalah buktinya. Kehidupan dan segala goresan kebahagiaan di dalamnya kini menjadi duka yang mendalam. Dengan korupsi, hutan di sulap menjadi gudang uang, pohon-pohon dirontokkan untuk di jadikan ladang minyak dan tanggung jawab pelestarian hutan begitu gampangnya dianulir dengan dalil “untung-rugi”, padahal, prinsip untung-rugi, tak selamanya bisa dipakai dalam semua sektor.

Salah satunya dalam ranah melestarikan hutan. Di sinilah letak kekeliruan pemerintah dalam mempertahankan hutan tetap hijau. Sehingga illegal logging masih marak, sekalipun lembaga penegak hukum kita lengkap, menteri kehutanan juga dinas kehutanan ada. Kini, siapa yang akan bertanggung jawab dengan nasib Wasior? Sedih untuk menuliskan artikel ini, sebab pertanyaan di atas hanya akan melahirkan lempar tanggung jawab di kalangan pemerintah. Mereka yang harusnya memberi jawab, bisa-bisanya buang badan dengan mengatasnamakan: ‘bencana alam”.

Dengan menyaksikan kondisi bangsa seperti saat ini, terbukalah mata kita melihat betapa buruknya kepememimpinan pemimpin di negeri ini dan hutan-hutan kita kini tak hijau lagi, kalaupun ada yang hijau, bisa dihitung dengan jari. Sisanya, sudah gundul. Adakah alternative? Kita sangat perlu mengingatkan pemerintah akan tanggung jawabnya pada rakyat. Kesempatan mereka mendapatkan kepercayaan untuk menjadi pemimpin di negeri ini harus menjadi pertaruhan atas nasib rakyat. Hutan tak boleh dibiarkan habis dibabat, harus dilestarikan.

Oleh karena itu, pembalakan hutan di Papua–dan di manapun di Indonesia–harus dihentikan. Hukum harus ditegakkan agar semua pembalak hutan jera dan hutan tetap hijau. Kita menantikan langkah tegas pemerintah.

Di sisi lain, bantuan kepada saudara kita (para korban di Wasior) mari kita galang dalam bentuk dukungan dana dan daya, yang kita bisa kerjakan. Yang tak kalah penting, Kita semua perlu berdoa buat saudara kita agar kiranya Sang khalik menguatkan dan memberi penghiburan bagi mereka dan berharap bencana seperti ini tidak terulang kembali.

(Penulis pengurus Perkamen)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Selamatkan Lapangan Merdeka Medan

Lapangan Merdeka (Vukoraido) BERKACA dari keberhasilan penyelamatan Gedung Nasional Medan, kini para sejarawan, akademisi, mahasiswa, budayawan, pengamat budaya, dan dosen serta aktivis di Medan makin merapatkan barisan. Mereka sedang mengupayakan penyelamatan Lapangan Merdeka Medan dari usaha penghancuran pihak tertentu. Gerakan ini bermaksud mendorong pemerintah agar menyelamatkan Lapangan Merdeka yang kini telah kopak-kapik sehingga merusak makna sejarah yang ada tentang kota ini. Pembangunan skybridge (jembatan layang) sekaligus city cek in dan lahan parkir di sisi timur Lapangan Merdeka, menurut Hamdani Siregar, pengamat sejarah, itu adalah bagian dari upaya penghancuran sejarah. Apalagi, ketika pembangunan tersebut malah makin memunggungi satu monumen bersejarah di Medan, yakni monumen proklamasi kemerdekaan RI. “Ini momentum bagi kita untuk bangkit melawan. Bangkit menyelamatkan Lapangan Merdeka. Karena pembangunan di situ telah merusak sejarah bangsa i...

E-Vote, Tranparansi dan Kampanye Pohon

Oleh Dedy Hutajulu Meski, tingkat partisipasi warganya memilih sangat tinggi dan kepercayaan publiknya kepada AEC sebagai lembaga penyelenggara pemilu luar biasa tinggi, negeri kanguru ini sama sekali tidak menerapkan e-voting. Sebabnya, e-voting dianggap tidak aman dan rawan kejahatan. House Of Representatif Australia/Foto oleh Dedy Hutajulu UNIKNYA, lagi mereka bahkan memilih mencontreng dengan pensil. Kok bisa? “Jauh lebih hemat,” ujar Phil Diak, Direktur Pendidikan dan Komunikasi AEC (Australia Electoral Commission) . Selain didasari alasan ekonomis, sistem pemerintahan Australia yang berbentuk federal, mekanisme pemungutan suara secara elektronik (e-voting) belum dianulir di undang-undang kepemiluan mereka. Menurut Phil, butuh perubahan besar dalam undang-undang kalau mau memberlakukan sistem baru tersebut. "Sejauh ini, peraturan kami tidak ada menyatakan penggunaan e-voting. Meski JSCE, sedang meneliti tentang model e-voting," ujarnya. Joint St...

Membuat Kerangka Tulisan

Amat perlu kita tahu bagaimana membuat kerangka tulisan untuk menolong kita membatasi apa yang hendak ditulis. Outline memudahkan kita untuk menentukan maksud dan arah tulisan. Dengan adanya kerangka, kita jadi mudah mengontrol alur berpikir tulisan kita seperti maksud tulisan yang kita harapkan sejak awal. Bahkan, kita juga akan terlatih membuat efektivitas kalimat. Membuat kerangka tulisan sama artinya dengan menentukan apa saja topik yang akan kita bahas. Jadi semacam tahapan pembahasan. Harapannya, orang yang baca jadi mudah paham dengan apa yang kita maksud dalam tulisan kita buat. Jelas alurnya. Perlu diketahui bahwa setiap tulisan lahir dari sebuah ide utama yang kemudian dikembangkan menjadi ide-ide kecil yang disebut dengan pokok-pokok pikiran. Artinya, setiap tulisan laiknya mengandung satu maksud utama. Kalaupun ada ide-ide lain, ide-ide tersebut hanyalah ide penunjang bagi ide utama agar kuat kuasa tulisan semakin tertancam dalam-dalam dibenak pembaca. Jadi, dari satu ...