Oleh: Dedy Hutajulu
Cermin dipakai orang untuk melihat dan menilai penampilan mereka. Dengan bercermin kita bisa tahu siapa diri kita, kita bisa menemukan keriput baru di sana, bercak lama di sini, sampai kecocokan riasan dengan pakaian yang mungkin menambah nilai kegagahan yang melekat pada penampilan kita. Dia merupakan sarana terbaik untuk melihat bagaimana penampilan kita.
Namun, cermin hanyalah cermin, tidak bisa memperbaiki penampilan, apalagi menyingkirkan jerawat. Menghilangkan bercak di wajah tidaklah mungkin dengan menghapus cermin, atau menggantinya dengan cermin lain. Memperbaiki sesuatu menjadi lebih baik hanya bisa dilakukan pada objeknya, bukan pada bayangannya.
Demikianlah seharusnya, kita perlu bercermin dalam segala hal. Begitu banyak hal yang menuntut perhatian kita setiap hari, tanggung jawab, batas waktu pekerjaan, pemenuhan kebutuhan, keselamatan orang lain, belum lagi isu yang datang dari media. Banyak diantara kita yang semakin terombang-ambing dalam pusaran masalah yang berulang. Jika cermin telah memperlihatkan bentuk, kerut-kerut, dan semua realitas di sekeliling kita, dari yang tersembunyi dan yang tidak tampak hingga yang perlu kita perhatikan dan yang sudah terungkap. Kita bisa berkaca dan memilih jalan terbaik untuk langkah yang terbaik bagi masa depan kita, masyarakat, dan bangsa ini.
Lalai di Hamparan Perak
Sayang seribu sayang, malang seribu malang. Hampir dalam banyak kesempatan, kita lupa bercermin. Ada dua kejadian yang saya adopsi dalam tulisan ini tentang kita yang sering kali lupa bercermin. Pertama, kasus serangan balik teroris hamparan perak, Sumatera Utara pekan lalu. Sejumlah polisi yang bertugas di sana, sontak kaget, begitu mendengar letusan tembakan yang diarahkan ke markas mereka. Semua yang ada di dalam markas menjadi kalang kabut menghadapi serangan teroris karena ketiada persiapan.
Mereka kewalahan sudah. Bukan hanya polisi saja, kebanyakan orang juga merasa kaget mendengar berita tersebut. Sebab, konon kabarnya, polisi dikenal karena ke-siap-siaga-annya menjalankan tugas. Tak kenal waktu demi menciptakan keamanan dan kenyamanan, merekapun siap berjaga-jaga dari pagi sampai pagi. Mereka harus siap menjalankan tugas selama 24 jam sehari. Tak peduli, dari yang kaya sampai yang tak punya sandal, dari yang punya hotel berbintang lima hingga tukang jualan cendol, semua harus dilayani dengan tulus.
Maka kekagetan kita sangat wajar, sebab, penyerangan yang dilakukan teroris tersebut nyaris tanpa balasan. Jika polisi bercermin, serangan balik ini, bukan tidak mungkin tak bisa diketahui. Mengingat dua tahun terakhir ini, dinas kepolisian kita sedang gencar-gencarnya berhadapan dengan musuh bebuyutannya (teroris). Maka, tentu bisa diprediksi, bahwa suatu waktu akan ada serangan balasan teroris. Lantas, kenapa polisi bisa “kebobolan”?
Lalai.
Itulah jawaban yang paling masuk akal. Teroris datang seperti pencuri di malam hari. Kita tidak tahu harinya kapan akan beraksi, jam berapa, dimana, dan apa sasarannya. Maka bukan hanya polisi, masyarakat pun perlu was-was, perlu bekerja sama. Kalau tidak, bersiaplah menghadapi tantangan dan kewalahan yang sudah di depan mata.
Lalai di Pemalang
Kasus selanjutnya, kecelakaan Kereta Api (KA) Senja Utama jurusan Jakarta-Semarang dengan KA Argo Bromo Anggrek jalur Jakarta-Surabaya, sekitar 100 meter sebelah barat dari stasiun Petarukan, Pemalang, Jawa Tengah (sabtu, 2/9/2010) lalu. Kejadian ini telah menewaskan 36 penumpang dan 40 korban luka-luka (ringan dan berat), kabarnya, juga dipicu karena kelalaian. Selain di pemalang, kecelakaan kereta api juga terjadi di hari yang sama, di stasiun Purwosari, Solo, Jawa Tengah. KA ekonomi Gaya baru Malam terserempet KA eksekutif Bima. Akibatnya seorang penumpang tewas dan 4 luka-luka (kompas, 3/5).
Lagi-lagi karena unsur kelalaian. Memang, ada banyak kemungkinan penyebab terjadinya kecelakaan, mulai dari rem yang ‘blong’, masinis yang mengantuk, kelalaian petugas kantor stasiun mengatur lampu, rel bermasalah, dst. Akan tetapi, baik petugas dan masinis, atau siapa saja yang terlibat dengan masalah perkeretaapian mengakui bahwa unsur kelalaian menjadi tertuduh utama penyebab tragedi maut itu (meski akan tetap dilakukan investigasi secara mendalam).
Namun yang pasti, kelalaian hanya mendatangkan kerugian bahkan bisa berujung pada kematian. Bayangkan saja, jika seorang supir KA kurang tidur, padahal dia kerja malam. Saat kerja, si sopir mengantuk. Kemungkinan besar kendaraan yang dikemudikannya akan mengalami kecelakaan.
Seandainya, di dalam gerbong kereta api itu, penumpangnya para menteri, para pemimpin negeri ini, berapa banyak orang miskin akan menderita karena kemiskinan mereka tak bisa terselesaikan, akibat kehilangan pemimpin? Atau, bila polisi tidak berjaga-jaga di istana Negara, lalu teroris menyerang dan menculik (membunuh) presiden.
Betapa banyak kesedihan akan terjadi di negeri ini. Karena kita harus menguras energi besar untuk menggelar Pemilu. Kita harus menunggu begitu lama, untuk mencari pemimpin baru, harus memutar roda sejarah kembali, menghidupkan mesin politik begitu kuat di tengah luka batin yang tak kunjung mengering.
Dari dua kasus diatas, kita bisa belajar betapa kelalaian bisa mengubah sesuatu begitu fatal. Banyak orang terhalang bisnisnya, terbengkalai aktivitas dan mati kreativitasnya. Mereka yang berencana liburan agar jauh dari kesumpekan Jakarta, tetapi naas, harus mendekam dirumah sakit, jadwal pelayanan tertunda, suka menjadi duka. ‘Ngantuk’,’lupa’,’silap’,‘rem blong’, adalah rupa kelalaian. Kelalaian adalah kata yang harus dilawan oleh kita yang menginginkan negeri ini lebih baik.
Lupa harus disingkirkan, untuk mewujudkan kinerja yang benar. Kita (siapapun) harus bekerja keras mencucurkan keringat terbaiknya bagi bangsa ini. Entah sebagai masinis, entah sebagai polisi, entah sebagai pegawai, apapun profesinya.
Kelalaian harus dikalahkan, jangan biarkan melekat dalam pikiran kita. Profesi kita hanya pantas dihiasi dengan pikiran-pikiran dan kinerja terbaik. Betapa kerdilnya kita bila harus menggadaikan kualitas kita dengan sebuah kelalaian, yang sesungguhnya bisa dipatahkan. Pikiran dan perhatian yang sering mengganggu ketika kita beraktivitas, bisa kita halau. Paling tidak, kita semua tahu rahasianya, dan kita semua bisa melakukannya—Berdoa. Lalu, bekerjalah dengan produktif, sesudahnya biarkan Tuhan yang bekerja.
Cermin dipakai orang untuk melihat dan menilai penampilan mereka. Dengan bercermin kita bisa tahu siapa diri kita, kita bisa menemukan keriput baru di sana, bercak lama di sini, sampai kecocokan riasan dengan pakaian yang mungkin menambah nilai kegagahan yang melekat pada penampilan kita. Dia merupakan sarana terbaik untuk melihat bagaimana penampilan kita.
Namun, cermin hanyalah cermin, tidak bisa memperbaiki penampilan, apalagi menyingkirkan jerawat. Menghilangkan bercak di wajah tidaklah mungkin dengan menghapus cermin, atau menggantinya dengan cermin lain. Memperbaiki sesuatu menjadi lebih baik hanya bisa dilakukan pada objeknya, bukan pada bayangannya.
Demikianlah seharusnya, kita perlu bercermin dalam segala hal. Begitu banyak hal yang menuntut perhatian kita setiap hari, tanggung jawab, batas waktu pekerjaan, pemenuhan kebutuhan, keselamatan orang lain, belum lagi isu yang datang dari media. Banyak diantara kita yang semakin terombang-ambing dalam pusaran masalah yang berulang. Jika cermin telah memperlihatkan bentuk, kerut-kerut, dan semua realitas di sekeliling kita, dari yang tersembunyi dan yang tidak tampak hingga yang perlu kita perhatikan dan yang sudah terungkap. Kita bisa berkaca dan memilih jalan terbaik untuk langkah yang terbaik bagi masa depan kita, masyarakat, dan bangsa ini.
Lalai di Hamparan Perak
Sayang seribu sayang, malang seribu malang. Hampir dalam banyak kesempatan, kita lupa bercermin. Ada dua kejadian yang saya adopsi dalam tulisan ini tentang kita yang sering kali lupa bercermin. Pertama, kasus serangan balik teroris hamparan perak, Sumatera Utara pekan lalu. Sejumlah polisi yang bertugas di sana, sontak kaget, begitu mendengar letusan tembakan yang diarahkan ke markas mereka. Semua yang ada di dalam markas menjadi kalang kabut menghadapi serangan teroris karena ketiada persiapan.
Mereka kewalahan sudah. Bukan hanya polisi saja, kebanyakan orang juga merasa kaget mendengar berita tersebut. Sebab, konon kabarnya, polisi dikenal karena ke-siap-siaga-annya menjalankan tugas. Tak kenal waktu demi menciptakan keamanan dan kenyamanan, merekapun siap berjaga-jaga dari pagi sampai pagi. Mereka harus siap menjalankan tugas selama 24 jam sehari. Tak peduli, dari yang kaya sampai yang tak punya sandal, dari yang punya hotel berbintang lima hingga tukang jualan cendol, semua harus dilayani dengan tulus.
Maka kekagetan kita sangat wajar, sebab, penyerangan yang dilakukan teroris tersebut nyaris tanpa balasan. Jika polisi bercermin, serangan balik ini, bukan tidak mungkin tak bisa diketahui. Mengingat dua tahun terakhir ini, dinas kepolisian kita sedang gencar-gencarnya berhadapan dengan musuh bebuyutannya (teroris). Maka, tentu bisa diprediksi, bahwa suatu waktu akan ada serangan balasan teroris. Lantas, kenapa polisi bisa “kebobolan”?
Lalai.
Itulah jawaban yang paling masuk akal. Teroris datang seperti pencuri di malam hari. Kita tidak tahu harinya kapan akan beraksi, jam berapa, dimana, dan apa sasarannya. Maka bukan hanya polisi, masyarakat pun perlu was-was, perlu bekerja sama. Kalau tidak, bersiaplah menghadapi tantangan dan kewalahan yang sudah di depan mata.
Lalai di Pemalang
Kasus selanjutnya, kecelakaan Kereta Api (KA) Senja Utama jurusan Jakarta-Semarang dengan KA Argo Bromo Anggrek jalur Jakarta-Surabaya, sekitar 100 meter sebelah barat dari stasiun Petarukan, Pemalang, Jawa Tengah (sabtu, 2/9/2010) lalu. Kejadian ini telah menewaskan 36 penumpang dan 40 korban luka-luka (ringan dan berat), kabarnya, juga dipicu karena kelalaian. Selain di pemalang, kecelakaan kereta api juga terjadi di hari yang sama, di stasiun Purwosari, Solo, Jawa Tengah. KA ekonomi Gaya baru Malam terserempet KA eksekutif Bima. Akibatnya seorang penumpang tewas dan 4 luka-luka (kompas, 3/5).
Lagi-lagi karena unsur kelalaian. Memang, ada banyak kemungkinan penyebab terjadinya kecelakaan, mulai dari rem yang ‘blong’, masinis yang mengantuk, kelalaian petugas kantor stasiun mengatur lampu, rel bermasalah, dst. Akan tetapi, baik petugas dan masinis, atau siapa saja yang terlibat dengan masalah perkeretaapian mengakui bahwa unsur kelalaian menjadi tertuduh utama penyebab tragedi maut itu (meski akan tetap dilakukan investigasi secara mendalam).
Namun yang pasti, kelalaian hanya mendatangkan kerugian bahkan bisa berujung pada kematian. Bayangkan saja, jika seorang supir KA kurang tidur, padahal dia kerja malam. Saat kerja, si sopir mengantuk. Kemungkinan besar kendaraan yang dikemudikannya akan mengalami kecelakaan.
Seandainya, di dalam gerbong kereta api itu, penumpangnya para menteri, para pemimpin negeri ini, berapa banyak orang miskin akan menderita karena kemiskinan mereka tak bisa terselesaikan, akibat kehilangan pemimpin? Atau, bila polisi tidak berjaga-jaga di istana Negara, lalu teroris menyerang dan menculik (membunuh) presiden.
Betapa banyak kesedihan akan terjadi di negeri ini. Karena kita harus menguras energi besar untuk menggelar Pemilu. Kita harus menunggu begitu lama, untuk mencari pemimpin baru, harus memutar roda sejarah kembali, menghidupkan mesin politik begitu kuat di tengah luka batin yang tak kunjung mengering.
Dari dua kasus diatas, kita bisa belajar betapa kelalaian bisa mengubah sesuatu begitu fatal. Banyak orang terhalang bisnisnya, terbengkalai aktivitas dan mati kreativitasnya. Mereka yang berencana liburan agar jauh dari kesumpekan Jakarta, tetapi naas, harus mendekam dirumah sakit, jadwal pelayanan tertunda, suka menjadi duka. ‘Ngantuk’,’lupa’,’silap’,‘rem blong’, adalah rupa kelalaian. Kelalaian adalah kata yang harus dilawan oleh kita yang menginginkan negeri ini lebih baik.
Lupa harus disingkirkan, untuk mewujudkan kinerja yang benar. Kita (siapapun) harus bekerja keras mencucurkan keringat terbaiknya bagi bangsa ini. Entah sebagai masinis, entah sebagai polisi, entah sebagai pegawai, apapun profesinya.
Kelalaian harus dikalahkan, jangan biarkan melekat dalam pikiran kita. Profesi kita hanya pantas dihiasi dengan pikiran-pikiran dan kinerja terbaik. Betapa kerdilnya kita bila harus menggadaikan kualitas kita dengan sebuah kelalaian, yang sesungguhnya bisa dipatahkan. Pikiran dan perhatian yang sering mengganggu ketika kita beraktivitas, bisa kita halau. Paling tidak, kita semua tahu rahasianya, dan kita semua bisa melakukannya—Berdoa. Lalu, bekerjalah dengan produktif, sesudahnya biarkan Tuhan yang bekerja.
Komentar