Esron Samosir terganggu sarapan pagi. Sepotong kecil semangka merah tiba-tiba berhenti tepat di ujung bibirnya yang terbuka, saat resepsionis menyampaikan informasi penting. “Pak, ada lagi tamu pesan kamar. Gimana nih?” Si resepsionis bertanya dari mejanya berjarak tiga meter dari tempat Esron sedang duduk santai menikmati makanan pencuci mulut.
Esron gundah karena baru pukul 09.00 WIB, ia harus berulang kali menolak tamu yang hendak memesan kamar. Pasalnya seluruh kamar sudah terisi penuh. Tingkat hunian hotel di kawasan Danau Toba saat gelaran Festival Danau Toba (FDT) 2013 memang meningkat drastis dan penuh.
Bupati Samosir Mangindar Simbolon, pada Kamis (22/8) kepada pers mengatakan helatan FDT 2013 akan menyedot banyak animo wisatawan baik mancanegara maupun wisatawan nusantara. “Diperkirakan hotel dan penginapan di Samosir dan Parapat tidak akan cukup menampung membludaknya wisatawan.” kata Mangindar.
Akan tetapi, Esron Samosir, pemilik villa terbesar di Tuktuk Siadong, Kecamatan Ambarita itu membantah pendapat Mangindar. “Semua hotel dan villa full buking sama sekali tidak ada kaitannya dengan FDT 2013.” ucapnya.
Kemudian cepat-cepat ditambahkannya, “Bahkan, tanpa FDT pun, di hari-hari biasa hotel saya selalu penuh. Kita kadang kewalahan menolak tamu ketika kamar sudah penuh.”
Lebih lanjut Esron menegaskan, para turis datang ke Tuk-tuk bukan karena FDT tetapi semata-mata berkat langkah proaktif para pelaku usaha mempromosikan kepariwisataan Samosir. “Sejak tahun ‘70-an kami gigih mempromosikan Samosir ke tamu-tamu yang datang. Baik lewat mulut ke mulut, via internet maupun pelayanan bermutu yang kami berikan. Ini sama sekali tak ada campur tangan pemerintah daerah.” tukasnya
Kendati demikian ia tak menafikan kalau FDT memberi dampak bagi meningkatnya jumlah hunian di hotel lain. “Benar, hotel makin penuh karena pejabat berdatangan. Dimana mereka menginap? Tentu di hotel. Tapi itu kan bukan turis mancanegara. Kalau FDT untuk pejabat, buat apa! FDT kan mau membangkitkan kepariwisataan Samosir ke kancah internasional. Harusnya yang jadi sasaran berapa turis mancanegara yang berkunjung? Begitu.” katanya.
Tak sampai di situ penjelasannya. Katanya, kalau pemkab Samosir benar-benar serius, seharusnya jauh sebelum FDT, infrastruktur jalan harus dibenahi. Lampu-lampu jalan juga dilengkapi supaya kalau malam tidak gelap-gulita. “Tuh lihat, jalan rusak dimana-mana. Kalau malam gelap. Gimana turis mau datang?” tambahnya.
Keluhan Serupa
Penjual Souvenir juga mengeluhkan hal serupa. Evan Simbolon misalnya, pemilik Toko Marysca. Bagi Evan, FDT mendongkrak penjualan souvenir hingga meraup pendapatan Rp 5 juta dalam sehari. Hari biasa cuma sampai sejuta. Di FDT banyak sekali turis dan pejabat yang membeli souvenir untuk oleh-oleh.
Namun, kata dia, karena jalan rusak sejumlah turis segera berlalu tanpa mampir barang sejenak di tokonya. “Sekiranya jalan mulus dan lebar, barang kali akan lebih banyak turis yang singgah di toko kami ini.” katanya.
Tentu saja penjelasan Evan dan Esron masuk akal. Kondisi infrastruktur yang buruk membuat turis malas datang ke Samosir. Dan itu berdampak buruk pada usaha mewujudkan Samosir sebagai daerah pariwisata, menyerupai Pulau Bali.
Selain buruknya infrastruktur jalan, menurut Esron, karakter masyarakat setempat yang belum sepenuhnya sadar wisata juga menjadi kendala. “Masyarakat kita belum seramah yang diharapkan. Kadang-kadang mematok harga tinggi saat even-even tertentu sementara di hari-hari biasa pengunjung menjadi sepi.
Belum lagi, mutu layanan pedagang kadang tidak mengenakkan. Elly Sirait (32), penenun sekaligus penjual kain ulos tenun di Tuk-tuk Siadong menuturkannya. Elly mengatakan, kepadanya sejumlah turis sering mengadu tentang sikap beberapa pedagang ulos yang tidak ramah pada pengunjung ketika pembeli tak jadi membeli ulos. “Ada penjual yang mengata-ngatai. Ada juga yang marah pada pembeli.” ucap Elly.
Sikap tidak ramah jelas menunjukkan keadaan masyarakat setempat yang belum sadar wisata. Beda dengan Bali yang 85 persen penduduknya bergantung pada usaha pariwisata. Mereka betul-betul sadar wisata. Mereka paham, banyaknya pengunjung serta lamanya mereka betah di situ menjadi barometer suksesnya daerah mereka jadi tujuan wisata. Itu tentu berimbas pada besarnya pendapatan daerah mereka.
Ini tantangan bagi Samosir! Sekali pun FDT sudah berakhir, persoalan infrastruktur jalan dan lampu jalan mesti dibenahi. Esron juga mengusulkan, sebaiknya FDT digelar pada saat liburan sekolah seperti janji panitia FDT 2011. FDT tahun ini minim pengunjung akibat jadwalnya tidak sinkron dengan liburan sekolah.
“Sebaiknya tetapkan saja FDT sebagai bagian dari kalender penting supaya orang bisa mengatur jadwal liburannya. Apalagi bagi wisatawan mancanegara, mereka akan lebih mudah dapat informasi.” kata Esron.
Bagi wisatawan nusantara, jadwal yang akurat akan menolong mereka untuk menentukan daerah tujuan wisata. Mereka tentu akan memilih tempat wisata yang bisa memberikan mereka banyak pilihan hiburan dan tontonan.
Namun di atas semua itu, yang jauh lebih penting adalah bagaimana pelaksanaan festival ini dikelola dengan baik dan benar. Bukan sekadar heboh-heboh tak menentu, yang menghabiskan uang rakyat miliaran rupiah.
para penonton yang jumlahnya bisa dihitung jari~bukit beta, Tuktuk Samosir \ |
Tetapi begitu festival usai yang tersisa hanya sampah berserakan di lapangan. Tidak ada kenangan manis yang dibawa pulang para pengunjung tentang festival. Tiada buah bibir di antara masyarakat tentang festival yang sarat nilai kebudayaan. Yang ada hanya kekecewaan. Ini harus jadi bahan evaluasi untuk gelaran ke depan yang lebih baik.
Komentar