Aku menunggu setengah jam sampai rekan-rekan semua hadir. Diskusi seharusnya mula pukul 3 tepat. Andri Tarigan meminta kelembutan hatiku untuk memperpanjang waktu barang lima, sepuluh menit lagi. Berharap rekan-rekan peserta diskusi masih ada yang datang. Lima pesera sudah hadir. Kami duduk di sebuah meja panjang dengan pola melingkar. Bisik-bisik dengan Andri, katanya, beberapa teman lagi di jalan.
saat sesi bersama klub buku medan di Kopibaba |
Waktu terus bergulir. Yang ditunggu tak kunjung datang. Aku sama sekali tidak tahu berapa banyak peserta diskusi sore ini. Yang kutahu, dari kiriman sms Andri beberapa waktu lalu, hanya soal tema yang akan kubagikan sore ini. Tentang menulis. "Harapannya, klub buku ini bukan cuma doyan baca. Bang." pesannya waktu itu, "tapi juga agar mulai menulis."
Aku senang mendengar niat baik itu. Itu sebabnya, tawaran via sms itu kusanggupi. Sebenarnya jadwal diskusi ini sempat diundur. Aturannya pekan lalu lantaran aku berhalangan. Ada tugas liputan Festival Danau Toba 2013 di Tuk-tuk, Samosir selama sepekan. Aku yang minta agar diskusi ini diundur dan cari waktu yang tepat. Berjodohlah pada hari ini.
Tadi malam. Andri mengingatkanku kembali untuk jadwal sore ini. "Jangan lupa ya bang untuk diskusi besok," tulisnya via sms. Usai ibadah gereja pukul 12, aku sudah berpakaian rapi. Siap untuk berangkat. Tapi aku tidak segera pergi. Sebab masih ada hal yang harus kukerjakan.
Pukul setengah 3, baru aku meluncur. Aku tiba di Kopibaba, Jalan Dr Mansur tepat waktu. Seorang gadis berkerudung merah baru saja memarkir keretanya di depan kafe itu. Dibalik dinding kaca kafe yang agak hitam tapi masih tembus pandang, aku dua pria satu meja, tengah bercengkrama sambil sesekali memegang laptop masing-masing.
Di meja sebelahnya, seorang pria agak besar asyik mengetik sesuatu di laptopnya. Ada satu bungkusan plastik di samping laptopnya. Aku tak bisa menebak itu isinya apa. Dimeja dekat ke pintu. disitulah kelima gadis dan seorang pria sedang mnegobrol. Selebihnya meja-meja kosong. Aku sempat bingung, apakah aku salah tempat?
Aku pastikan, aku tidak salah alamat. Aku melangkah ke dalam. Ternyata Andir sudah di dalam juga. Ia duduk memunggungi aku. Kutepuk pundaknya. IA gembira melihatku. Aku ambil kursiku di antara mereka. Sedikit basa-basi dan perkenalan kami mulai membangun kekompakan. Kulirik jam tanganku sudah pukul 4 kurang 20. Waktu molor. Kawan-kawan tidak tepat waktu.
Mengingat diskusi cuma sampai pukul 5, aku tanya Andri, "Sudah bisa kita mulai?" Akhirnya, dengan segala pertimbangan diskusi pun kami gelar. Aku bawakan sesi pentingnya menulis, meski panitia minta tips-tips yang menurutku tak perlu pakai tips."Yang penting berani memulai [menulis]. Dan rajih berlatih pasti mahir."
Ada yang lucu waktu si Juliana menyebutkan, kakaknya di rumah suka menulis. Tapi cuma didiary saja. Tidak berani berbagi. Aku bilang, kakakmu tuh pelit. Kalau suka menulis ya bagi dong tulisannya.
Mujahiddin, pria yang tadi kubilang asyik mengetik, ikut mendukung pendapatku. Dan ternyata dia juga pemateri. Ia eks wartawan tribunmedan yang sudah risain dengan pengalaman se-tahun sebagai jurnalis. Ia hengkang lantaran tak kuasa dengan deadline dan garis kebijakan media yang mengekang kemampuan menulisnya.
Sore ini, ia mengulas isi buku (perdana)nya berjudul Autisme. Bentuk tulisannya ilmiah banget. Sama sekali tidak ada sentuhan jurnalistik. Buku hasil skripsinya dulu. Sebenarnya, ia tak punya pengalaman mendampingi anak-anak autis hanya berdasarkan riset buku saja isi tulisannya. Tapi itu pun sangat menginspirasi bagi kami seluruhnya. Dia punya keberanian untuk menulis buku dan menerbitkannya sendiri.
Aku sarankan dia untuk menulis features atau narasi tentang anak autir yang cerdas, barang sepotong tulisan untuk mempercantik konten bukunya. Ia tertarik dengan usul itu.
Setelah pemaparan singkat itu (masing-masing 15 menit) kami bertukar pendapat. Tanya jawab dan baku usul. Dua pria yang kubilang di awal tengah bercengkrama, ternyata juga peserta yang kemudian ikut nimbrung. Dia Embart Nugroho yang telah menulis 6 novel teenlit dan Enot, penulis 3 novel remaja.
Embart menulis novel dengan struktur kerangka. Sedang Enot main 'hajar' saja. Tapi keduanya berhasil menelurkan karya. Mereka berdua aktif di Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Medan. Dulu kata Embart, ia menulis cerpen sejak SMP.
Hadirnya Embart dan Enot menambah kehangatan suasana diskusi. Peserta ternyata dominan lebih tertarik dengan tulisan fiksi. Akuusul ke ketua Klub, Ferry, pekan depan bikin pelatihan soal menulis fiksi saja. Toh Embart dan Enot bersedia jadi mentor.
Aku senang diskusi hari ini, walau sempat kecewa dengan keterlambatan diskusi. Ini memang perlu dibenahi. Apalagi, kita ini masih muda, mesti membiasakan diri disiplin waktu. Juga membiasakan diri menulis. Menulis apa saja, sepanjang disasar untuk menghadirkan salam sejahtera bangsa.
Seperti pesan yang tertulis besar-besar di kaos satu peserta diskusi ini: "Demi Allah dan Demi Medan."
Kopi Baba, 15.09.2013
Komentar