Aku buru-buru mandi. Berpakaian rapi. Malam ini, pukul tujuh Maestro Gitar Indonesia, I Wayan Balawan kabarnya naik pentas. Ia tak sendiri tetapi bersama grup musiknya. Seluruhnya kru dari Pulau Dewata, Bali. Mereka akan tampil mewarnai perhelatan Lake Toba World Drum Festival di Tuktuk Siadong, Ambarita, Pulau Samosir.
![]() |
Lomba Solu Bolon_foto Ferdy Siregar |
Kabar kedatangan Balawan serta embel-embel “World” atau predikat drum berkelas dunia itu memacu rasa antusiasku. Aku ingin segera berangkat tapi jam baru menunjukkan pukul 4 sore. Hujan di luar sangat deras.
Aku berencana akan duduk di baris terdepan di antara kursi-kursi pejabat demi menyaksikan “si jari ajaib” itu menunjukkan sekelabat kepiawaiannya memetik gitar. Aku ingin menjadi saksi utama kehebatan Balawan memainkan senar-senar gitar.
Terus terang, selama ini, aku cuma bisa melihatnya di layar kaca. Tapi tidak kali ini, impianku akan kesampaian. Pukul 6 sore, aku ingatkan kembali Ferdy Siregar, redaktur foto kami untuk bersiap-siap berangkat. Aku takut jika telat.
Ferdy antusias. Rupanya, ia seantusias denganku. Kami sama-sama pengagum Balawan. Kami berangkat. Aku, Ferdy, Fahrin dan juga sopir kami, Pak Harto meluncur dengan mobil menembus hujan menuju Bukit Beta, tempat Balawan akan naik pentas.
Aku kenakan kaos oblong putih dan celana keper biru. Ferdy mengenakan kaos lengan panjang dan dibalut baju hangat kehijau-hijauan, celana pendek warna coklat. Mengantisipasi cipratan air hujan, Ferdy sengaja memakai sepatu kets. Aku sendiri bersandal.
Setibanya di sana, hujan makin deras. Sejumlah penonton yang didominasi anak lajang mulai membubarkan diri. Jumlah mereka menurut timbangan mata, tak sampai 50 kepala.
Dari jumlah itu, cuma tiga bule. Dua juru poto, lainnya jadi penonton sembari memayungi rekannya yang sedang memasang kamera. Selebihnya, masyarakat setempat dan beberapa turis lokal.
Tidak ada kursi untuk penonton, juga tenda. Tidak ada bangku VIP juga tak seorang pun pejabat ada di sana. Balawan tampil tanpa tepuk tangan Bupati atau pejabat. Semuanya melenceng dari perkiraanku.
Ferdy melaksakan tugasnya. Ia bergerak mencari posisi untuk mendapatkan angle memotret yang menurutnya bagus. Aku sendiri langsung melangkah ke pojok kanan panggung terdepan agar bisa melihat langsung Balawan main.
Tidak sulit untuk mencapai posisi itu sebab penonton makin lama kain sedikit dan tak perlu sungkan sebab tidak ada pejabat di sana atau panitia yang akan melarang.
Waktu kolaborasi antara grup Balawan, grup tabuh drum Dol dari Riau, dari Banyuwangi dan Gendang Batak, bulu tanganku merinding. Luar biasa permainan musik kolaborasi mereka.
Aku makin bersemangat ketika teman-teman penonton di sebelah kiriku ikut berjingkrak, menari-nari sambil menggerakkan kedua tangan mereka. Mereka bertahan dalam guyuran hujan.
Grup Balawan membuka dengan permainan musik yang sangat menarik. Rancak dan memikat. Lantunan nada-nada khas Bali dan tarian jari Balawan mengundang decak kagum. Diiringi seorang biduan wanita asli Pulau Dewata, Balawan tampil bak pemimpin musik sepasti Martin Luther King saat mempidatokan I Have A Dream. Bukit Beta malam jadi saksi kemaestroan Balawan memetik gitar.
Masuk ke lagu kedua, Balawan tampil lebih agresif seagresif hujan yang terus mengguyur. Musik Bali yang khas dengan suara gamelan dan tabuhan gendang menghias panggung. Sesekali sentakan gitar Balawan membuat penonton menjerit.
Hujan tak kunjung reda. Aku tetap bertahan. Jaketku sudah kuyup. Tubuhku mulai menggigil. Terasa air hujan sudah menembus sampai ke baju dalamku. Ujung celanaku basah dan kena becek. Aku lupa melipatnya. Jam tangan, henpon dan kamera poketku ikut basah.
Kolegaku, Fahrin Malau sibuk mengabadikan momen itu dengan memvideokan penampilan Balawan lewat henpon cerdasnya. Hitung-hitung video itu jadi oleh-oleh untuk keluarganya di Medan. Ia rela berbasah-basahan demi video tersebut. “Kalau nonton Balawan main di Bali, mesti keluarkan kocek besar. Di sini gratis! Hehehe.” cetusnya.
Aku mengaminkan ucapannya. Aku sama sekali tak menyesal walau harus menggigil. Aku sangat menyayangkan penyelenggaraan festival ini yang gagal menghadirkan penonton.
Aku juga ngeri melihat nasib para fotografer yang berjuang keras untuk mendapatkan beberapa frame gambar di bawah guyuran hujan. Seluruh potografer mengandalkan kantong plastik kresek untuk menutupi kameranya. Ferdy sendiri karena tak dapat plastik, ia terpaksa menutupi lensa kameranya dengan sapu tangan tipis.
Tidak ada kulihat upaya panitia untuk menolong para juru poto ini. Malam itu, di antara kerumunan kecil wartawan dan juru foto terdengar bisk-bisik: profesionalitas panitia nol besar. Para penonton juga menyebut panitia buang badan.
Sangat disayangkan, festival drum yang digadang-gadang berkelas dunia ini pada kenyataannya terkesan kampungan. Aku tak bisa membayangkan pengorbanan Grup Balawan, Grup dari Banyuwangi, Grup Dol dari Riau dan grup dari Afrika yang datang jauh-jauh demi menyukseskan Festival Danau Toba 2013.
![]() |
Badema Group Band, Asal Uganda, Afrika_Foto Ferdy Siregar |
Band asal Uganda juga rela remuk punggungnya duduk dipesawat, menempuh perjalanan jauh dari benua Afrika berjarak ribuan mil dari Samosir. Mereka tentu harus berlatih beberapa kali hingga gladi resik agar tampil sempurna di FDT ini. Namun, panitia tampaknya sepele dengan helatan ini.
Pemerintah Kabupaten Samosir tentulah yang paling bertanggungjawab atas ketidakbecusan pagelaran FDT 2013 ini. Sebab, gelaran festival ini disokong dengan anggaran dari APBN dan APBD plus dukungan sponsor yang jumlahnya miliaran. Beredar kabar, memakan dana hingga 10 miliar. Angka itu tentu bukan kecil dan harus dipertanggungjawabkan ke publik.
Dana sefantastis itu jelas cukup untuk menghadirkan ribuan penonton untuk meramaikan Samosir. Sayang panggang terlalu jauh dari api. Panitia sangat, sangat dan sangat tidak profesional. Hasilnya, festival sangat tidak maksimal. Yang ada cuma kekecewaan.
Kukira kekecewaan itu akan berakhir seiring berlalunya malam. Tapi sayang beribu sayang, esoknya di lapangan rumput, masih di Bukit Beta, banyak peserta paralayang kecewa karena tertunda untuk terjun.
![]() |
Paralayang_foto Ferdy Siregar |
Bayu, salah satu peserta paralayang menyebut, panitia tampaknya tak menyurvei kondisi cuaca dan awan. “Mestinya jadwal layang tidak mesti disesuaikan dengan FDT ini mengingat cuaca yang tak menentu dan tiap hari turun hujan.”
Ketika menyaksikan mega menghitam dan gumpalan besar awan kumulonimbus menggelayut di puncak Bukit Beta, sementara paralayang masih di berada atas, di ketinggian sejajar puncak bukit, para penonton diliputi rasa ngeri. Penonton takut kalau-kalau tiba-tiba hujan dan paralayang tersedot awan.
Bagi Bayu, jadwal paralayang bisa dibedakan dari helatan festival mengingat keselamatan peserta layang jauh lebih penting daripada hadiah yang diperebutkan, meski nilai hadiah sekitar Rp 250 juta. Tapi naywa lebih berharga.
Tak sampai disitu, ketidakmaksimalan festival ini juga ditandai dengan pengakuan sejumlah turis mancanegara. Alexandra, asal Holland misalnya. Alex menuturkan, sama sekali ia tak tahu kalau di Samosir digelar sebuah festival besar. “I don’t know in this island celebrate Lake Toba Festival, (aku tak tahu kalau di pulau ini digelar Festival Danau Toba.” ujarnya.
Ia juga menuturkan, kedatangannya ke Samosir sama sekali tak ada kaitannya dengan FDT. Inggrid dan rekannya, juga sama-sama bule mengaku tak mendapat informasi tentang FDT.
Pengakuan turis mancanegara itu membuktikan, kinerja panitia yang tidak proaktif dan tangguh menyebarkan informasi di sejumlah media dalam rangka mempromosikan FDT hingga ke tingkat dunia. Buktinya, beberapa turis tak tahu adanya perhelatan akbar FDT 2013.
Festival drum sejagat, Paralayang yang tak disurvei, jadwal tampil yang molor serta minimnya informasi menunjukkan kinerja panitia yang tak profesional dan tak maksimal. Ini jadi peringatan.
Komentar