Langsung ke konten utama

Jangan Takut Menggelontorkan Duit


Jangan takut mengeluarkan uang untuk menyekolahkan orang/dedy hutajulu
 “Pak Dahlan memang tidak takut keluar biaya.Kalaupun kita salah, dia tidak ngamuk. ‘Anggap saja biaya kamu untuk belajar.’ Begitu katanya kalau kita salah” tutur Misbahul Huda, direktur PT Temprina Media Grafika (TMG.) ~dikutip dari tulisan Max Wangkar bertajuk: "Jawa Pos adalah Dahlan Iskan, Bagaimana dalam 20 tahun satu koran kecil jadi dominan di Indonesia,” Dapur Media, Hal 119, Penerbit Pantau.


Mendapatkan sumber daya manusia andal memang perlu kesungguhan hati dan sedikit kerelaan berkorban. Salah satunya rela menggelontorkan duit dalam jumlah besar untuk memperlengkapi orang dengan berbagai keterampilan, sepasti dialami Huda, kru koran Jawapos yang sukses mengenyam nikmat studi permesinan di Chicago, AS berkat kerelaan Dahlan menyekolahkannya 20 tahun silam.


Dahlan tahu betul, jika Huda diberi kesempatan belajar maka bakat dan ketertarikannya pada teknik merakit mesin cetak bisa tergali maksimal. Kelak, setelah merampungkan studinya, Huda akan pulang membawa oleh-oleh bagi Jawa Pos. Ia akan jadi aset berharga bagi masa depan seluruh jaringan perusahaan koran rintisan Dahlan Iskan, yang kala itu masih kembang kempis membangun segmentasi pembaca sebagai koran yang baru berdiri.


Prediksi Dahlan tepat. Tak lama menuntaskan studi, Huda dan timnya kembali ke Jawa Pos. Mereka pulang sebagai sosok yang berbeda dari sebelumnya. Tim ini sudah menguasai keterampilan mumpuni membongkar pasang mesin cetak. Bahkan merakit mesin yang baru dan lebih baik. Ini menjadi salah satu keuntungan besar bagi Dahlan dan Jawa Pos-nya.


Betapa tidak, bisnis Jawa Pos bukan lagi cuma surat kabar dan percetakan, tetapi juga merambah sistem bongkar-pasang serta merakit mesin cetak merek Gross. Perusahaan TMG, yang diasuh Huda, atas kepercayaan dari Dahlan, kini membawahi 35 unit mesin percetakan di 21 kota dari Medan sampai Jayapura. Tentu saja itu berimpact pada keuntungan perbulan yang masuk ke rekening Dahlan—juga kru perusahaan itu!


Namun coba Anda pikir, jika 20 tahun lalu Dahlan tak menyekolahkan Huda dan timnya, mungkin nasib Jawa Pos tidak sepesat (sehebat) hari ini. Bisnis Jawa Pos juga mustahil semelejit sekarang tanpa kontribusi produksi mesin percetakan merek Gross, yang merambah ke seluruh Nusantara. Satu-satunya pula!


Yang jelas, usaha Dahlan menyekolahkan Huda, dkk tidaklah rugi. Hasilnya toh sepadan, bahkan mendatangkan salam sejahtera bagi Koran itu sendiri dan kebahagiaan bagi krunya. Sekarang, terbukti, Dahlan tak perlu lagi pusing mencari mekanik jika sewaktu-waktu mesin cetak korannya hang (rusak). Ia sudah punya orang yang tepat yang bisa menanganinya dengan cepat, tepat dan praktis.

Tidak sulit memahami prinsip pengembangan sumber daya ala Dahlan ini. Sebab simbiosis mutualisme akan menemukan wujudnya.


Cerita tentang Huda menunjukkan bahwa berani menggelontorkan uang untuk mengembangkan mutu sumber  daya manusia tidak ada ruginya. Tapi inilah satu tantangan berat bagi banyak pemimpin perusahaan atau instansi di tanah air kita. Tak sedikit perusahaan dan instansi mengeluhkan lemahnya kinerja krunya. Sayangnya, perusahaan tahunya cuma mengeluh tanpa melakukan perbaikan dan pembenahan. Kalau pun ada perbaikan, cenderung pembenahan disasar pada infrastruktur, bukannya penguatan suprastruktur alias sdm.


Sebenarnya, perusahaan punya segudang kru yang berpotensi menjadi orang-orang hebat—sepasti Huda dan tim—hanya saja potensi kehebatan ‘Huda-Huda” ini tidak digali (tergali) secara optimal, karena tidak disekolahkan. Perusahaan sibuk memikirkan bagaimana memegahkan gedung dan mendongkrak citra, atau mencari untung, sedang nyawa perusahaan (karyawannya) dibiarkan merosot, layu hingga mati kreativitas.


Mestinya, perusahaan manapun mengutamakan peningkatan mutu kinerja karyawannya. Setiap karyawan perlu didorong atau dipacu untuk meningkatkan kompetensi. Disekolahkan, diberi pelatihan-pelatihan praktis, dikirim ke luar negeri, dan diberi reward atas prestasi dan kinerja mereka.


Mereka yangd iperlengkapi tentu saja akan punya pemahaman yang kuat akan sesuatu serta terampil bekerja secara praktis dan konkrit. Mereka akan punya banyak pengalaman. Dan pengalaman akan mengasah mereka jadi pribadi unggul. Sehingga ketika mereka dipercaya menangani projek tertentu, kita tak perlu ragu pada kemampuan mereka, sebab mereka sudah terlatih untuk mengerjakan yang begituan.


Sayangnya, di banyak tempat jamak kita dengar, beberapa atasan instansi enggan merogoh koceknya untuk menyekolahkan bawahannya. Mereka merasa rugi menyekolahkan bawahan karena pikirnya tak akan ada kontribusi yang bisa diperolehnya jika si bawahan selesai merampungkan studinya. Si bos merasa cukuplah sudah perusahaan ini berjalan begini-begini saja. Toh sudah mapan dari segi finansial dan manajemen dan mampu meraup untung gede.


Pola pikir atasan yang demikian bertolak belakang dengan prinsip mengembangkan mutu. Mungkin sibos lupa bahwa rezim bertukar. Kompetisi terus bergulir dan makin sengit. Kompetensi melahirkan pendatang baru yang mengusung ide dan semangat perubahan, sepasti Jawa Pos yang dulu anak bawang—dan mungkin tak diperhitungkan di tengahkompetisi koran-koran senior—namun kini JPNN sukses menunjukkan kiprahnya.


Sekali lagi, kita perlu sadar bahwa mempersiapkan sumber daya andal perlu berkorban. Jangan takut kehabisan banyak duit untuk menyekolahkan orang, kalau itu demi meningkatkan mutu. Memang, di awal-awal terasa sekali seperti rugi karena langsung mengeluarkan duit banyak. Namun setelah berjalan beberapa hari, semuanya akan terasa biasa.


Dan begitu kru sudah merampungkan studinya, mereka akan punya kemampuan/kompetensi mumpuni,. Mereka jadi aset termahal perusahaan yang akan diincar banyak perusahaan. Dengan keterampilan yang mereka miliki, mereka bisa melakukan apa yang kita harapkan, bahkan lebih dari yang kita bayangkan. Mereka bagai mesin produksi terproduktif yang sulit diredam lajunya.


Kecerdasan dan kompetensi mereka akan membuat mata kita tercengang, kalau ternyata mereka berotak cemerlang. Hasilnya juga sepadan dengan uang yang telah terkucur. Dan Anda yang menyekolahkan mereka akan mengaminkan kemahabesaran Tuhan yang melibatkan Anda dalam sekelabat gemilang kesuksesan bawahan Anda.


Sebab Anda diberi kejelian melihat bakat dan potensi bawahan Anda lebih dari yang orang lain lihat. Dan Anda berani membuktikan penglihatan Anda! Sekali lagi, kisah tentang jalan hidup Huda mengajarkan kita agar tidak takut menggelontorkan uang untuk menyekolahkan orang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dicari Caleg Perduli Parmalim*

Banyak calon legislatif menduga komunitas Parmalim bakal golput. Tetapi Parmalim menampiknya. Dugaan itu muncul karena para caleg ternyata sama sekali tak mengenal apa itu Parmalim. Celakanya, kaum Parmalim juga tidak mengenal kandidatnya. Bagaimana nasib pemilu kita nanti? Oleh Dedy Hutajulu Desi (kanan) dan rekan-rekannya di depan Bale Parsattian (rumah ibadah Parmalim) di Jalan Air Bersih, Medan, Sabtu (8/3).--foto dedy hutajulu  DESI SIRAIT malu-malu saat lensa kamera diarahkan kepadanya. Ia memalingkan wajah. Di depan Bale Parsattian ia bercengkerama bersama teman sebaya. Bale Parsattian sebutan bagi rumah ibadah komunitas Parmalim. Bale Parsattian ini terletak di Jalan Air Bersih, Medan. Desi Sirait baru berusia 19 tahun. Ini tahun pertama baginya mengikuti pemilu. Ketika ditanya: nyoblos atau tidak? Desi tak langsung menjawab. Ia berpikir dalam-dalam. “Aku takut nanti salah ­­bicara. Jadi masalah pula bagi ugamo kami,” katanya. Desi berasal dari Pemantang

Kalang Baru dan Kenangan di Bondar

aku cuma cuci muka di air bondar Kesal. Kesal banget terus dikibuli si Rindu Capah. Dia ajak kami , katanya cebur ke sungai. Aku sudah senang. Buru-buru keluar dari rumahnya. Berlari sambil bawa kamera dan sabun dan odol.  Aku berharap pagi ini dapat suasana sungai yang indah di Kalang Baru, Sidikalang. Poto unutk oleh-oleh ke Medan. Kami bertiga berjalan menyusuri kebun kopi. Masuk lewat jalan-jalan tikus. Melewati rerimbunan bambu. Turun ke bawah dengan tangga-tanggah tanah yang dibentuk sedemikian rupa supaya serupa tangga. Cukup curam turunan itu. Di bawah tampak aliran sungai melintasi selokan-selokan yang berdempetan dengan sawah.  Banyak remaja dan gadis-gadis di bawah sedang mencuci dan mandi. Kami harus teriak "Lewat..atau Boa" baru mereka menyahut dan kami bis alewat. Begitu tiba di bawah, kukira kami akan berjalan masih jauh lagi menuju sungai yang dibilang Rindu. Tahu-tahunya, sungai yang di maksud adalah selokan ini. Gondok benar hatiku. "I

Syawal Gultom: Unimed Bagi Negeri

Oleh Dedy Hutajulu   Berkarir tinggi sampai ke Jakarta, tak membuat Syawal Gultom melupakan Unimed. Ia pulang membawa pengetahuan baru, biarKampus Hijau bisa menjadi pandu bagi negeri. Syawal Gultom LELAKI itu bangkit dari kursi. Ia tinggalkan setumpuk pekerjaan hanya demi menyambutku. Ruangan kami bertemu hanya seluas lapangan volley. Diisi banyak buku. Di tengah ruangan, ada sebuah meja dengan sofa yang disusun melingkar.Sofa itu biasa dipakai untuk menjamu paratamu.Laki-laki yang dimaksud adalah Syawal Gultom. Rektor baru Unimed.  Periode sebelumnya Syawal mengabdikan diri sebagai Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya   Manusia Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMPMP) Kemendikbud, Jakarta. Di pundak Syawal saat itu dibebankan tanggung jawab berat. Ia harus menjamin desain besar mutu pendidikan di Indonesia. Seperti merpati yang ingat pulang, Syawalpun kembali ke Unimed. Mayoritas anggota Senat mendukung Syawal sebagai nahkoda Unimed. Sampai 2019 nanti, gerak Lembaga P