Oleh : Dedy Hutajulu*
Ujian Nasional (UN) sudah di depan mata. Meskipun masih mengandung banyak kontroversi, namun pemerintah tetap bersikukuh menyelenggarakan UN. Terbukti, tinggal beberapa hari lagi UN di tingkat SMA serentak akan dilangsungkan di tiap-tiap sekolah baik swasta maupun negeri diseluruh tanah air, menyusul seminggu kemudian UN di tingkat SMP.
Tak pelak, tentu sosialisasi UN kini menjadi agenda hangat bagi kepala sekolah dan guru-guru. Berkaca dari pengalaman sebelumnya, banyak pihak menilai bahwa pelaksanaan UN tahun ini tidak akan jauh berbeda dari sebelumnya, penuh dengan borok kebohongan dan sandiwara.
Berdasarkan hasil diskusi kami, Komite Peduli Pendidikan (KPP), selasa kemarin (9/3) di sekret KDAS bersama beberapa anggota Komunitas Air Mata Guru (KAMG) serta KDAS (kelompok diskusi dan aksi sosial), Perkamen, Campus Concern (CC Medan) yang tergabung dalam aliansi KPP yang mengangkat topik menyoal UN. Bagi saya, hal yang paling menarik adalah ketika selama diskusi berlangsung, KAMG tetap bersikap skeptis terhadap pemerintah terkait akan dilangsungkannya kebijakan UN tahun ini. Mereka berpendapat bahwa meskipun pemerintah begitu kencang menghimbau agar UN dilaksanakan dengan jujur, akan tetapi dalam implementasinya pernyataan pemerintah itu sama sekali belum bisa dipercaya.
Sikap skeptis yang KAMG tunjukkan tentu bukanlah tidak beralasan, tetapi didasari oleh pengalaman mereka selama ini. Pengalaman dan sejumlah bukti yang ditemukan ketika menginvestigasi pelaksanaan UN, bisa dijadikan landasan kuat. Selain itu, mereka juga mengatakan bahwa mereka sudah mencium adanya aroma kecurangan dalam UN kali ini, yakni diperkuatnya isu sub-rayon yang berarti melegalkan adanya skenario kecurangan yang dirancang oleh pemerintah sendiri tentang pelaksanaan UN, meskipun sulit rasanya mencari atau menemukan modus operandi apa yang akan dimanfaatkan untuk mencurangi UN tersebut.
Sekedar mereview kembali, sejak awal (tahun 2003), kebijakan konversi nilai Ujian Nasional telah menuai banyak kritik pedas dari sejumlah siswa, pendidik, orangtua, dan sejumlah tokoh pendidikan hingga mencapai titik nadir ketika 58 anggota masyarakat yang mewakili siswa, guru, orangtua, dan para tokoh maupun aktivis pemerhati pendidikan yang tergabung dalam Education Forum, yang mengajukan gugatan dan sebagian besar dikabulkan oleh majelis hakim. Mereka (dalam buku menggugat ujian nasional) dengan keras menggugat pemerintah dengan dalih Ujian Nasional bertentangan dengan hakikat pendidikan yang humanis.
Alih-alih meningkatkan kualitas pendidikan, UN justru akan menghancurkan kualitas pendidikan kita. Paolo Preire (dalam bukunya Pendidika Kaum Tertindas), mengatakan bahwa segala sesuatu yang bertentangan dengan prinsip humanisme adalah bentuk-bentuk penindasan. Jika bertolak belakang dengan prinsip humanis, itu berarti UN adalah salah satu bentuk penindasan dalam dunia pendidikan, maka UN tak bisa memperbaiki kualitas pendidikan. Oleh karena itu, sipenindas harus dilawan dan penindasan itu harus dihentikan.
Karena kebijakan UN adalah produk pemerintah yang jelas-jelas sudah cacat hukum, tapi dalam prakteknya tetap dilaksanakan maka sipembuat kebijakanlah yang harus digugat. Jangan ketika rakyat miskin melakukan kesalahan, langsung dihukum, tetapi bila pemerintah yang bersalah, cukup didiamkan saja. Ini sangat tidak fair!
Namun mungkin sudah sifat pemerintah tak mau digugat. Seperti yang kita ketahui bersama. Mereka malah menebalkan telinga atas kritikan dan aspirasi penolakan masyarakat. Mereka menganggap bahwa kebijakan menggelar kembali UN adalah langkah yang amat bijak, padahal kehilangan naskah soal atau beredarnya soal sebelum UN berlangsung adalah hal yang sangat memalukan.
Naskah soal adalah salah satu rahasia negara. Jadi kehilangan naskah soal berarti ada unsur kesengajaan untuk membocorkan rahasia negara, yang seharusnya itu tak boleh terjadi. Pelakunya tak lain adalah orang tertentu yang merupaka bagian dari system itu sendiri. Hal yang lebih tragis adalah pelaksanaan UN selama ini selalu diwarnai dengan kecurangan. Maka hal ini tak boleh dianggap sepele, harus ditindak.
Perlu dietahui, sesuai dengan peraturan yang berlaku (PP Nomor 19 tahun 2005 pasal 72 ayat 1) mengatakan bahwa “Peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah setelah: (1). menyelesaikan seluruh program pembelajaran, (2). memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika dan kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan, (3). lulus ujian sekolah/madrasah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahua dan teknologi, dan (4). lulus Ujian Nasional.
Atas dasar pandangan PP diatas, sangat jelas dikatakan bahwa UN bukanlah satu-satunya alat penentu kelulusan siswa, tetapi salah satu syarat dari empat syarat kelulusan yang harus dipenuhi oleh siswa. Interpretasinya seperti ini, bila seorang siswa lulus UN tetapi tiga syarat lainnya tidak dipenuhi, maka siswa tersebut tentu tidak boleh lulus. Jadi, selama UN tidak dikembalikan pada fungsi dan peran dasarnya hanya sebagai alat ukur pemetaan kualitas pendidikan secara nasional untuk digunakan kelak sebagai salah satu landasan memperbaikai layanan pendidikan oleh pemerintah, maka UN dinilai cacat hukum.
Ibarat sebuah rumah yang sudah rewot, atapnya menggambarkan carut-marut UN. Maka untuk memperbaiki rumah tersebut tidak cukup hanya dengan memperbaiki atapnya saja, tetapi perlu ditelisik lebih jauh ke dalam bangunan tersebut, untuk melihat seberapa pelik dan berbelitnya persoalan di dalam rumah itu. Biasanya sebuah rumah akan rentan rusak bila fondasinya tidak kokoh. Demikianlah jugalah dengan rumah pendidikan kita, untuk merevitalisasi pendidikan kita tidak cukup dengan menyempurnakan pelaksanaan UN dan mengharapkannya pelaksanaannya berlangsung jujur, tetapi kemana arah kebijakan pendidikan nasional dewasa ini harus menjadi pertanyaan utama bagi kita dalam menyoal Ujian Nasional.
Sesuai dengan ruh pendidikan nasional kita, pendidikan adalah untuk semua. Maka idealnya sebuah kebijakan seperti UN jika dibedah dengan “pisau tajam” UUD tahun 1945 pasal 31 tentang nafas pendidikan dan UU No 20 tahun 2003 pasal 57 dan 58 perihal evaluasi pendidikan dalam rangka pengendalian mutu secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik maka tak bisa mengelak lagi bahwa UN jelas melanggar kedua undang-undang tersebut. Artinya kebijakan melaksanakan kembali UN tidak sesuai dengan hakikat dan tujuan nasional pendidikan kita. Oleh sebab itu, UN harus dihapuskan.
*Penulis adalah anggota KPP, aktif di Perkamen
Komentar