Langsung ke konten utama

Pendidikan dan Problematikanya
Oleh : Dedy Hutajulu*


Berbicara tentang pendidikan Indonesia sebenarnya berbicara tentang carut-marut permasalahan dari hulu sampai hilir. Dunia pendidikan kita tidak segera beranjak membaik, bahkan semakin memprihatinkan. Sekolah ambruk, gedung yang rusak, minimnya sarana pendidikan, minimnya gaji guru, lulusan yang tidak berkualitas, kurikulum yang tidak jelas orientasinya, diskriminasi dalam pendidikan, UU BHP (Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan), kontroversi UN dan sebagainya masih menjadi berita hangat di media massa. Pemerintahpun merespons serta mencari solusi terhadap keadaan yang terjadi dengan mengeluarkan berbagai kebijakan, dan sebagainya. Namun seringkali kebijakan tersebut justru semakin membuat runyam dan menjauhkan diri dari maksud baik untuk mencari solusi perbaikan.

Problematika pendidikan    
Tiga masalah pendidikan saat ini masih dipermukaan adalah pertama, masalah kembali diberlakukannya kebijakan UN. Meski telah berjalan beberapa tahun, namun tetap saja pelaksanaan UN menjadi kontroversial bahkan polemik yang seakan tak berkesudahan. Kondisi pro-kontra UN seperti yang kita ketahui bersama, sangat memprihatinkan karena telah menghabiskan banyak energi namun hanya berkutat di seputaran persoalan yang tak perlu dipersoalkan. Mengapa? Oleh karena masih banyak hal penting di bidang pendidikan yang memerlukan pemikiran banyak pihak dalam menentukan arah dan warna pendidikan dikaitkan dengan tuntutan menghasilkan lulusan yang mampu berperan dalam perkembangan lokal, nasional, regional, bahkan internasional.
UN dituding bermasalah karena, UN menuntut sekolah mengabaikan kearifan lokal, akibatnya cenderung melalaikan pelajaran muatan lokal. Selain itu, UN juga cukup membebani siswa. Sejak semester pertama masuk sekolah, siswa umumnya difokuskan pada mata pelajaran yang di-UN-kan. Selanjutnya, kebijakan UN telah merampas kedaulatan guru sebagai evaluator siswa. Bukan hanya itu, UN- diagung-agungkan -sebagai batu ujian bagi wibawa dan komitmen guru padahal pelaksanaannya sarat dengan kecurangan-kecurangan. Mulai dari kekwatiran para siswa yang berlebihan, praktek penipuan, jual-beli soal ujian, hingga teror lewat sms. Tak sedikit  orang tua siswa yang terkecoh dengan iming-iming bocoran soal dan jawaban UN. Sehingga mereka harus rela kehilangan uang dengan jumlah yang tidak sedikit. Bahkan peristiwa pahit Lubuk Pakam, Deli Serdang sebanyak 16 guru SMAN 2 Lubuk Pakam  melakonkan perilaku menyimpang secara kolektif berujung pada menjadi tersangka pelaku kecurangan UN. Kejadian ini membuat wibawa guru tercoreng.
            Masalah kedua, adalah masalah UU BHP yang tidak memihak masyarakat miskin.
Disahkannya UU BHP pada tanggal 17 Desember 2008 tahun lalu telah menjadi beban berat bagi rakyat. Penolakan terhadap Undang-undang tersebut terutama dipicu dari ketentuan pendanaan pendidikan formal yang diselenggarakan BHP sebagaimana diatur dalam Bab VI UU BHP. Ketentuan tersebut menentukan bahwa siswa sekolah menengah dan perguruan tinggi menanggung maksimal sepertiga biaya operasional penyelenggaraan pendidikan. Pendek kata, UU BHP ini adalah bentuk komersialisasi pendidikan, yang akibatnya biaya pendidikan semakin mahal sehingga masyarakat miskin semakin tidak dapat mengakses pendidikan
Padahal, mendapatkan pendidikan merupakan hak rakyat yang sudah diatur secara konstitusional dalam pasal 31 UUD 1945, yang menetapkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Di samping itu, sekaligus merupakan salah satu tujuan nasional negara kita sebagaimana diamanatkan dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, sekali lagi UU BHP jelas tidak member  rasa keadilan bagi rakyat.
Sebaliknya pihak pemerintah justru menilai bahwa UU BHP sudah memihak kepada rakyat, dengan dalih bahwa undang-undang tersebut juga mewajibkan BHP menerima warga kurang mampu dan mengalokasikan beasiswa sebesar 20 % dari seluruh peserta didik. Itulah sebabnya, undang-undang ini tetap dipertahankan. Akan tetapi dengan menyediakan beasiswa tersebut, hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan memadai belumlah terpenuhi mengingat jumlah masyarakat miskin di Indonesia melebihi persentase yang ditetapkan.
Masalah lain yang tak kalah penting untuk kita perbincangkan adalah soal profesionalisme guru. Guru sebagai ujung tombak pendidikan harus mendapat perhatian yang lebih determinan, karena peran guru dalam pendidikan sangat besar. Tidak jarang apabila kualitas pendidikan sedang mengalami kemerosotan, maka yang yang mendapat sorotan pertama sekali adalah guru. Bahkan banyak orang terkesan hanya mengkambinghitamkan guru ketika kualitas pendidikan kita belum begitu membanggakan. Salah satu buktinya adalah sudah menjadi kebiasaan banyak orang, ketika anak didik tak lulus ujian, yang disalahkan adalah siapa gurunya?
  Harus diakui keadaan guru di negeri ini masih memprihatinkan-meskipun sejak tahun 2005 telah berjalan sertifikasi guru . Mayoritas guru belum memiliki profesionalisme yang memadai sebagaimana yang dimuat dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat. Bahkan menurut data yang dikeluarkan Depdiknas, masih banyak guru yang tidak layak mengajar. Persentase kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003, untuk guru SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12 (negeri) dan 60,99% (swasta), sedangkan untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar hanya 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
Banyaknya guru yang tidak sesuai kualifikasi ini jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Menurut data Balitbang Depdiknas (1998), diketahui dari sekitar 1,2 Juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan Diploma D2-Kependidikan  ke atas. Kemudian dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTS baru 38,8% yang berpendidikan Diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas.
Berbagai diskusi telah digelar untuk mengupas permasalahan itu. Tema-tema kurikulum, proses belajar mengajar, sekolah ramah anak, multikulturalisme, pendidikan sebagai pembudayaan, pendidikan demokrasi dan hak azasi manusia,hingga pendidikan berkeadilan social, marak menjadi perbincangan para aktivis pendidikan. Banyak masukan konstruktif yang diberikan, namun para pemangku jabatan justru menebalkan telinga atas kritikan dan masukan yang dialamatkan.

Solusi
Beberapa masalah pendidikan yang uraikan di atas-tanpa mengabaikan masalah-masalah pendidikan lainnya-menunjukkan bahwa perubahan (transformasi) bangsa gagal terjadi karena pendidikan gagal menghasilkan orang yang siap membawa perubahan. Jikalau pendidikan di sekolah gagal menghasilkan pembaharuan budi para pelajar (generasi muda), maka bagaimana mungkin pelajar (generasi muda) akan mentransformasi bangsa ini? Pendidikan sebagai sebuah proses, memang perlu mengalai perubahan dari waktu ke waktu. Namun, perubahan demi perubahan yang tidak dirancang dengan landasan paedagogi, paradigma kebijakan, dan yuridis yang sesuai dengan tujuan yang disepakati oleh bangsa ini dalam UUD, pada akhirnya hanya akan menjadikan murid dan guru sebagai kelinci percobaan semata.
Para penulis dan praktisi pendidikan Indonesia memang menyuarakan kritik-kritik mereka terhadap kondisi pendidikan saat itu, namun titik lemah pendidikan kita adalah tidak terlalu mempermasalahkan hal-hal yang bersifat fundamental dalam kaitannya dengan amanah pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Selain itu, dibutuhkan kesadaran dari semua pihak, kesadaran akan peran pentingnya pendidikan dalam menentukan corak dan arah kehidupan bangsa. Tanpa pendidikan yang berkualitas maka harapan memperoleh sumber daya manusia yang berkualitas ibarat jauh pangggang dari api. Sikap kritis semua pihak dalam konteks pendidikan menjadi sangat penting dan relevan saat ini untuk membongkar dan mengakhiri sejarah panjang diskriminasi dan penindasan sosial. Kepedulian dan komitmen yang tinggi serta dibarengi kejujuran perlu dibangun untuk mengawal perjalanan pendidikan nasional. Agar konsepsi pendidikan nasional yakni pendidikan yang memanusiakan manusia itu tidak menyimpang dari tujuan yang sesungguhnya. Bila semua pihak tidak ambil bagian dalam perbaikan mutu pendidikan kita, maka harapan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa hanya sekedar  ilusi semata.

 *penulis aktif sebagai anggota perkamen

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Selamatkan Lapangan Merdeka Medan

Lapangan Merdeka (Vukoraido) BERKACA dari keberhasilan penyelamatan Gedung Nasional Medan, kini para sejarawan, akademisi, mahasiswa, budayawan, pengamat budaya, dan dosen serta aktivis di Medan makin merapatkan barisan. Mereka sedang mengupayakan penyelamatan Lapangan Merdeka Medan dari usaha penghancuran pihak tertentu. Gerakan ini bermaksud mendorong pemerintah agar menyelamatkan Lapangan Merdeka yang kini telah kopak-kapik sehingga merusak makna sejarah yang ada tentang kota ini. Pembangunan skybridge (jembatan layang) sekaligus city cek in dan lahan parkir di sisi timur Lapangan Merdeka, menurut Hamdani Siregar, pengamat sejarah, itu adalah bagian dari upaya penghancuran sejarah. Apalagi, ketika pembangunan tersebut malah makin memunggungi satu monumen bersejarah di Medan, yakni monumen proklamasi kemerdekaan RI. “Ini momentum bagi kita untuk bangkit melawan. Bangkit menyelamatkan Lapangan Merdeka. Karena pembangunan di situ telah merusak sejarah bangsa i...

E-Vote, Tranparansi dan Kampanye Pohon

Oleh Dedy Hutajulu Meski, tingkat partisipasi warganya memilih sangat tinggi dan kepercayaan publiknya kepada AEC sebagai lembaga penyelenggara pemilu luar biasa tinggi, negeri kanguru ini sama sekali tidak menerapkan e-voting. Sebabnya, e-voting dianggap tidak aman dan rawan kejahatan. House Of Representatif Australia/Foto oleh Dedy Hutajulu UNIKNYA, lagi mereka bahkan memilih mencontreng dengan pensil. Kok bisa? “Jauh lebih hemat,” ujar Phil Diak, Direktur Pendidikan dan Komunikasi AEC (Australia Electoral Commission) . Selain didasari alasan ekonomis, sistem pemerintahan Australia yang berbentuk federal, mekanisme pemungutan suara secara elektronik (e-voting) belum dianulir di undang-undang kepemiluan mereka. Menurut Phil, butuh perubahan besar dalam undang-undang kalau mau memberlakukan sistem baru tersebut. "Sejauh ini, peraturan kami tidak ada menyatakan penggunaan e-voting. Meski JSCE, sedang meneliti tentang model e-voting," ujarnya. Joint St...

Membuat Kerangka Tulisan

Amat perlu kita tahu bagaimana membuat kerangka tulisan untuk menolong kita membatasi apa yang hendak ditulis. Outline memudahkan kita untuk menentukan maksud dan arah tulisan. Dengan adanya kerangka, kita jadi mudah mengontrol alur berpikir tulisan kita seperti maksud tulisan yang kita harapkan sejak awal. Bahkan, kita juga akan terlatih membuat efektivitas kalimat. Membuat kerangka tulisan sama artinya dengan menentukan apa saja topik yang akan kita bahas. Jadi semacam tahapan pembahasan. Harapannya, orang yang baca jadi mudah paham dengan apa yang kita maksud dalam tulisan kita buat. Jelas alurnya. Perlu diketahui bahwa setiap tulisan lahir dari sebuah ide utama yang kemudian dikembangkan menjadi ide-ide kecil yang disebut dengan pokok-pokok pikiran. Artinya, setiap tulisan laiknya mengandung satu maksud utama. Kalaupun ada ide-ide lain, ide-ide tersebut hanyalah ide penunjang bagi ide utama agar kuat kuasa tulisan semakin tertancam dalam-dalam dibenak pembaca. Jadi, dari satu ...