Langsung ke konten utama

UN Menantang Eksistensi Guru



Oleh : Dedy Hutajulu*

Keragu-raguan masih saja merebak, meski Mendiknas telah menetapkan bahwa ujian nasional (UN) 2011 tetap digelar. UN tingkat SMA dan sederajat akan dilaksanakan April 2011 mendatang. Kabar baiknya, UN bukan lagi syarat mutlak penentu kelulusan siswa, tapi juga memperhitungkan hasil ujian sekolah dan penilaian guru-guru di sekolah.
Ditengah kecenderungan umum menolak ujian nasional, (karena selama ini UN penuh kecurangan) Kemendiknas justru menawarkan model baru UN. Dalam raker pada 13 desember 2010,  Mendiknas M. Nuh bersama komisi X DPR telah sepakat bahwa UN tetap dilaksanakan  dengan formula baru: UN, UAS, Nilai Rapor. Dengan catatan: bobot UN lebih tinggi. Kelulusan siswa terpatok pada 60 persen dari  nilai UN dan sisanya (40 persen) dari nilai dari sekolah.
Meski, fakta di lapangan membeberkan secara gamblang efek progam UN selama ini masih sarat kecurangan dan kebohongan terstruktur nan sistematis, bahkan melibatkan banyak pihak. Namun hasil evaluasi pemerintah (khususnya kemendiknas) terhadap kebijakan UN menggariskan bahwa UN sepertinya tak tergantikan. UN tak bisa dihentikan.
Dulu, wacana mengembalikan kelulusan siswa kepada sekolah sudah pernah digagas. Banyak pihak sepakat bahwa otonomi sekolah memiliki kapasitas dan tanggung jawab moral yang luar biasa atas kelulusan siswa. Sejumlah pihak yang peduli pendidikan terus mendesak agar pemerintah mengembalikan kelulusan siswa kepada otonomi sekolah, meski hingga hari ini gagasan itu belum bisa terwujud.
Pintu tiga arah
Model baru UN yang ditawarkan tentu ada kaitannya dengan gagasan tersebut walau porsinya baru 40 persen. Seperti pintu tiga arah, porsi itu tentu berpengaruh besar terhadap guru-siswa dan sekolah. Bagi guru, bisa dibayangkan bagaimana para guru mulai tahun ini secara legal formal diakui haknya dalam menentukan lulus-tidaknya anak didiknya. Beberapa guru akan begitu ekspresif, antusias dan bahagia karena bisa berpartisipasi meluluskan siswanya yang dianggapnya layak lulus. Namun, tidak menutup kemungkinan juga akan ada guru malah menjadi jahat dengan memanfaatkan kewenangannya untuk hal-hal yang negatif, semisal melakukan bentuk-bentuk pemerasan hingga yang berbau korupsi.
Maka, dengan memberi kewenangan 40 persen kepada sekolah, para guru dituntut wibawa dan profesionalismenya. Perlahan, iklim kompetisi antara guru bisa jadi lebih terasa. Bahkan antar sekolah. Guru matematika mungkin tak sudi jika ternyata lebih banyak siswanya rendah matematika ketimbang biologi, apalagi jika itu bukan sekedar rendah saja tapi gagal. Guru matematika tentu akan intropeksi diri dan segera mengevaluasi cara mengajarnya selama ini. Jadi, kegagalan siswa di UN akan membuat para guru dan sekolah lebih dulu bercermin diri. Sebab guru mempunyai tanggung jawab moral yang besar dalam memajukan kualitas muridnya.
Sementara, dampak dari putusan instruksional ini bagi peserta didik bisa jadi, mereka tidak lagi merasa tertekan secara psikologis. Sebab, tidak akan ada lagi persepsi keliru seperti bahwa hasil UN sebagai satu-satunya gambaran capaian prestasi mereka. Secara moral, siswa akan lebih bisa menerima kenyataan akan kemanpuan  personalnya. Tingkat kemampuan atau kecerdasannya tidak lagi semata dinilai dari seberapa dia mampu menjawab butir-butir  soal UN. Tetapi, juga atas penilaian progres dan komprehensif dari guru-gurunya atas dirinya selama proses belajar di sekolah.
            Penilaian guru-gurunya itulah yang jauh lebih substansi. Di kelas, guru bisa melihat apakah si anak didik pribadi yang ulet dalam menghadapi kesulitan, tekun menyelesaikan tugas-tugas belajar dan berdiskusi, memiliki jiwa berkompetisi yang tinggi, percaya pada kemampuannya sendiri sehingga tidak mau menyontek, peka terhadap keadaan temannya, iklas mengajari temannya belajar, dan seterusnya dan seterusnya.
Para guru biasanya punya catatan tersendiri terhadap anak didiknya. Catatan itu berisi gambaran-gambaran ringkas pribadi siswanya beserta motivasi belajar yang melekat di dalam pribadi itu. Bisa berupa peta kognitif, afektif maupun motorik, bahkan tindakan-tindakan kecil yang barang kali tak bisa diukur secara statistik. Misalnya, ketika siswanya menemukan milik orang lain, apakah siswaya itu mengembalikannya atau tidak. 
Sekali lagi, angka 40 persen sebagai kewenangan dan sekaligus hak guru dalam mengintervensi kelulusan siswa harus dipergunakan dengan benar. Kita berharap, para guru harus lebih berani memberikan penilaian yang akurat atas prestasi siswanya, tanpa takut diintervensi oleh birokrasi ataupun pimpinan-pimpinan sekolah dalam menjalankan tugas. Selama ini, guru tak punya kekuatan dalam melawan intervensi kekuasaan.
Bahkan, kabarnya tahun 2012 UN akan dijadikan alat seleksi masuk PTN (Perguruan Tinggi Negeri). Kedengarannya menarik.  Sayangnya, kita tidak tahu kapan konkritnya. Jika benar terwujud, UN akan menjadi kompetesi nasional yang sangat spektakuler. Wacana ini sepatutnya menjadi bahan diskusi setiap sekolah di seluruh tanah air: bagaimana menjadikan sekolah masing-masing lebih berprestasi menuju PTN.
Karena UN produk pemerintah dan telah menjadi hajatan nasional (dengan uraian di atas bahwa UN digelar tak lain dengan harapan dapat memajukan dunia pendidikan Indonesia, bukan sekedar ajang lulus sekolah), maka lebih arif jika kebijakan itu dibarengi dengan upaya perbaikan dan pemerataan layanan pendidikan di seluruh tanah air dari sehari ke sehari. Komitmen pengembangan dan pemerataan akses pendidikan mesti terus dikerjakan. Pemerintah punya tanggung jawab besar akan hal itu.
Menggelar UN dengan model baru, tentu bukan tanpa alasan mendasar dan tanpa tujuan yang jelas. Pasti ada arah dan semangat yang sudah digenggam. Maka, perbaikan layanan pendidikan baik dari segi kualitas guru, sarana dan prasarana  menjadi syarat perlu dan harus. Pemerintah sudah memberi kewenangan 40 persen kepada guru maka berikan pulalah layanan pendidikan yang ideal di tiap-tiap sekolah di tanah air. Begitu nurani saya menceririt.

*Penulis adalah guru, bergiat di Perkamen

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Selamatkan Lapangan Merdeka Medan

Lapangan Merdeka (Vukoraido) BERKACA dari keberhasilan penyelamatan Gedung Nasional Medan, kini para sejarawan, akademisi, mahasiswa, budayawan, pengamat budaya, dan dosen serta aktivis di Medan makin merapatkan barisan. Mereka sedang mengupayakan penyelamatan Lapangan Merdeka Medan dari usaha penghancuran pihak tertentu. Gerakan ini bermaksud mendorong pemerintah agar menyelamatkan Lapangan Merdeka yang kini telah kopak-kapik sehingga merusak makna sejarah yang ada tentang kota ini. Pembangunan skybridge (jembatan layang) sekaligus city cek in dan lahan parkir di sisi timur Lapangan Merdeka, menurut Hamdani Siregar, pengamat sejarah, itu adalah bagian dari upaya penghancuran sejarah. Apalagi, ketika pembangunan tersebut malah makin memunggungi satu monumen bersejarah di Medan, yakni monumen proklamasi kemerdekaan RI. “Ini momentum bagi kita untuk bangkit melawan. Bangkit menyelamatkan Lapangan Merdeka. Karena pembangunan di situ telah merusak sejarah bangsa i...

E-Vote, Tranparansi dan Kampanye Pohon

Oleh Dedy Hutajulu Meski, tingkat partisipasi warganya memilih sangat tinggi dan kepercayaan publiknya kepada AEC sebagai lembaga penyelenggara pemilu luar biasa tinggi, negeri kanguru ini sama sekali tidak menerapkan e-voting. Sebabnya, e-voting dianggap tidak aman dan rawan kejahatan. House Of Representatif Australia/Foto oleh Dedy Hutajulu UNIKNYA, lagi mereka bahkan memilih mencontreng dengan pensil. Kok bisa? “Jauh lebih hemat,” ujar Phil Diak, Direktur Pendidikan dan Komunikasi AEC (Australia Electoral Commission) . Selain didasari alasan ekonomis, sistem pemerintahan Australia yang berbentuk federal, mekanisme pemungutan suara secara elektronik (e-voting) belum dianulir di undang-undang kepemiluan mereka. Menurut Phil, butuh perubahan besar dalam undang-undang kalau mau memberlakukan sistem baru tersebut. "Sejauh ini, peraturan kami tidak ada menyatakan penggunaan e-voting. Meski JSCE, sedang meneliti tentang model e-voting," ujarnya. Joint St...

Membuat Kerangka Tulisan

Amat perlu kita tahu bagaimana membuat kerangka tulisan untuk menolong kita membatasi apa yang hendak ditulis. Outline memudahkan kita untuk menentukan maksud dan arah tulisan. Dengan adanya kerangka, kita jadi mudah mengontrol alur berpikir tulisan kita seperti maksud tulisan yang kita harapkan sejak awal. Bahkan, kita juga akan terlatih membuat efektivitas kalimat. Membuat kerangka tulisan sama artinya dengan menentukan apa saja topik yang akan kita bahas. Jadi semacam tahapan pembahasan. Harapannya, orang yang baca jadi mudah paham dengan apa yang kita maksud dalam tulisan kita buat. Jelas alurnya. Perlu diketahui bahwa setiap tulisan lahir dari sebuah ide utama yang kemudian dikembangkan menjadi ide-ide kecil yang disebut dengan pokok-pokok pikiran. Artinya, setiap tulisan laiknya mengandung satu maksud utama. Kalaupun ada ide-ide lain, ide-ide tersebut hanyalah ide penunjang bagi ide utama agar kuat kuasa tulisan semakin tertancam dalam-dalam dibenak pembaca. Jadi, dari satu ...