Langsung ke konten utama

Berawal dari Sakit Hati



Oleh : Dedy Hutajulu

Tak selamanya sakit hati berujung pada dendam kesumat. Juga tak hanya meninggalkan kesan sedih. Tapi, sakit hati adalah awal sebuah perjuangan. Begitulah pesan  yang kita petik dari kisah hidup Franky Sahilatua.
Kesejahteraan rakyat adalah harapannya yang menggunung kepada bangsa ini. Tapi, antara mewujudkan harapan menjadi kenyataan bukanlah perkara gampang. Manakala kenyataan itu jauh melenceng dari harapan yang telah digariskan, kekecewaanlah yang dituai.
Dan kekecewaan itulah yang dirasakan oleh Franky di negeri ini. Ia melihat luka kemiskinan mengaga lebar di sana- sini, pemarjinalan masih marak, orang-orang pinggiran yang semakin terpinggirkan, quovadis pemerintahan, ketidakadilan menjadi praktek sehari-hari, korupsi, dst, dst. Tapi, bagi Franky, kekecewaan itu justru menjadi titik awal perjuangannya untuk berkarya bagi bangsa ini.
 Pelantun lagu ‘kapal retak’ itu telah menorehkan sejumlah lagu-lagu bertemakan kritik sosial kepada bangs ini. Tak lupa, ia juga mengedepankan semangat kebangsaan dan rasa cinta pada alam. Karena ia tahu, bahwa ia adalah bagian dari bangsa Indonesia dan bagian dari alam. Maka dalam lirik lagunya, tema semnagat kebangsaan dan nuansa alam begitu melekat.
Lewat lagu, ia menelurkan buah pikirnya. Dan diiringi senandung gitarnya yang merdu, kritikan keras ia bikin terasa lembut dan kritik lembut dibuatnya seperti baja. Semua itu, ia padu untuk mengingatkan pemerintah pada tugas dan tanggung jawabnya negara dan agar tidak sampai lupa pada tujuan utama: kesejahteraan rakyat!
Hikmah bagi kita generasi muda tentu ada. Kita semua didorong untuk tampil berkarya, bukan malah memilih apatis di tengah segudang sakit hati di negeri ini. Sakit hati bisa diolah menjadi spirit kebangsaan dalam rangka membangun bangsa ini. Seperti yang diteladankan oleh Franky.
Segala bentuk ketidakadilan hukum, kemiskinan, pengangguran, pemarjinalan, korupsi bukan hal yang harus ditangisi. Tapi untuk dijadikan sebagai pelajaran bahwa kita perlu berbenah lebih serius. Seperti Franky, hingga akhir hayatnya terus berkarya. Bahkan, menurut penuturan istrinya, Harwantiningrum, di masa sakitnya saja, pencipta lagu Kemesraan itu sempat membikin empat buah lagu.  Judulnya Taman Sari Indonesia, Kemiskinan, Sirkus dan Pangan, Anak Tiri Republik
Keempat lagu itu punya pesan tersendiri. Lagu Taman Sari Indonesia misalnya, terinspirasi dari rasa miris Franky terhadap perbedaan kesejahteraan rakyat Indonesia dengan Singapura. “Waktu melihat ulang tahun kemerdekaan Singapura, Franky sempat menangis. Dia bilang, kenapa rakyat Indonesia tidak bisa tersenyum seperti mereka,” tuturnya (www.fajar.co.id). Lagu kemiskinan tentu berkisar soal kemiskinan di negeri ini.
Dan ternyata, saudara, menjadi penyanyi terkenal bukanlah cita-cita terbesar franky. Menurut penuturan ibunya, Theodora, impian terbesar anaknya itu adalah kesejahteraan rakyat. “Dia ingin negara ini bisa menyejahterahkan rakyat, jangan sampai tidak," cerita sang ibunda saat ditemui di rumah sakit, Selasa 19 April.
Kita tentu sudah mendengar banyak tentang penghargaan atas sederet prestasi Franky (alm). Tentu ada rasa kagum di hati kita terhadap beliau atas kesuksesannya itu. Haru bercambur sedih menyatu menyelimuti hati kita karena kehilangan sosok Franky.
Sedih memang mengenang kepergiannya. Tapi, diluar nalar dan proses argumentasi sedalam-dalamnya, lebih dalam dari instuisi, melebihi tangisan kesedihan, dari sebuah perenungan muncullah sebuah pengetahuan yang mungkin mungkin tak asing lagi: kematian bukan pertanda bahwa akhir segalanya!
Kehidupan manusia tidak berakhir begitu saja bila dia melakoninya dalam kebajikan dan dalam kelembutan kasih. Franky telah pergi. Tapi sakit hatinya bagi negeri ini masih membekas. Pertanyaannya: akankah sakit hati itu kita emban? Karena cita-cita Franky adalah juga cita-cita kita semua, yakni kesejahteraan rakyat. jadi, kitalah yang mewujudkannya. Selamat jalan Franky!

(Penulis adalah ketua Perkamen)




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dicari Caleg Perduli Parmalim*

Banyak calon legislatif menduga komunitas Parmalim bakal golput. Tetapi Parmalim menampiknya. Dugaan itu muncul karena para caleg ternyata sama sekali tak mengenal apa itu Parmalim. Celakanya, kaum Parmalim juga tidak mengenal kandidatnya. Bagaimana nasib pemilu kita nanti? Oleh Dedy Hutajulu Desi (kanan) dan rekan-rekannya di depan Bale Parsattian (rumah ibadah Parmalim) di Jalan Air Bersih, Medan, Sabtu (8/3).--foto dedy hutajulu  DESI SIRAIT malu-malu saat lensa kamera diarahkan kepadanya. Ia memalingkan wajah. Di depan Bale Parsattian ia bercengkerama bersama teman sebaya. Bale Parsattian sebutan bagi rumah ibadah komunitas Parmalim. Bale Parsattian ini terletak di Jalan Air Bersih, Medan. Desi Sirait baru berusia 19 tahun. Ini tahun pertama baginya mengikuti pemilu. Ketika ditanya: nyoblos atau tidak? Desi tak langsung menjawab. Ia berpikir dalam-dalam. “Aku takut nanti salah ­­bicara. Jadi masalah pula bagi ugamo kami,” katanya. Desi berasal dari Pemantang

Kalang Baru dan Kenangan di Bondar

aku cuma cuci muka di air bondar Kesal. Kesal banget terus dikibuli si Rindu Capah. Dia ajak kami , katanya cebur ke sungai. Aku sudah senang. Buru-buru keluar dari rumahnya. Berlari sambil bawa kamera dan sabun dan odol.  Aku berharap pagi ini dapat suasana sungai yang indah di Kalang Baru, Sidikalang. Poto unutk oleh-oleh ke Medan. Kami bertiga berjalan menyusuri kebun kopi. Masuk lewat jalan-jalan tikus. Melewati rerimbunan bambu. Turun ke bawah dengan tangga-tanggah tanah yang dibentuk sedemikian rupa supaya serupa tangga. Cukup curam turunan itu. Di bawah tampak aliran sungai melintasi selokan-selokan yang berdempetan dengan sawah.  Banyak remaja dan gadis-gadis di bawah sedang mencuci dan mandi. Kami harus teriak "Lewat..atau Boa" baru mereka menyahut dan kami bis alewat. Begitu tiba di bawah, kukira kami akan berjalan masih jauh lagi menuju sungai yang dibilang Rindu. Tahu-tahunya, sungai yang di maksud adalah selokan ini. Gondok benar hatiku. "I

Syawal Gultom: Unimed Bagi Negeri

Oleh Dedy Hutajulu   Berkarir tinggi sampai ke Jakarta, tak membuat Syawal Gultom melupakan Unimed. Ia pulang membawa pengetahuan baru, biarKampus Hijau bisa menjadi pandu bagi negeri. Syawal Gultom LELAKI itu bangkit dari kursi. Ia tinggalkan setumpuk pekerjaan hanya demi menyambutku. Ruangan kami bertemu hanya seluas lapangan volley. Diisi banyak buku. Di tengah ruangan, ada sebuah meja dengan sofa yang disusun melingkar.Sofa itu biasa dipakai untuk menjamu paratamu.Laki-laki yang dimaksud adalah Syawal Gultom. Rektor baru Unimed.  Periode sebelumnya Syawal mengabdikan diri sebagai Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya   Manusia Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMPMP) Kemendikbud, Jakarta. Di pundak Syawal saat itu dibebankan tanggung jawab berat. Ia harus menjamin desain besar mutu pendidikan di Indonesia. Seperti merpati yang ingat pulang, Syawalpun kembali ke Unimed. Mayoritas anggota Senat mendukung Syawal sebagai nahkoda Unimed. Sampai 2019 nanti, gerak Lembaga P