Langsung ke konten utama

Birokrasi Kampus dan Independensi Mahasiswa



Oleh : Dedy Hutajulu*



Belakangan ini, saya sering mendengar keluhan dari kawan-kawan mahasiswa soal lambannya kinerja birokrasi. Mereka mengatakan ke saya bahwa kampus makin mencengkeram kebebasan mahasiswa. Memprihatinkan sekali!
 Teman saya dengan wajah geram datang ke saya. Dengan meledak-ledak, ia bilang ke saya bahwa dosennya minta uang supaya mereka diberi nilai “A” padahal dosennya itu nyaris tidak mengajar selama satu semester, meski si dosen sudah teken kontrak kuliah. Katanya lagi, banyak juga dosennya  yang tidak terampil mengajar dan jarang sekali ditemukan dosen yang mampu mendesain perkuliahan dimana mahasiswanya terdorong untuk belajar konsisten. Tapi suka membentak-bentak. Tak sedikit pula dosen yang membiarkan mahasiswanya mencontek baik pengerjaan tugas maupun ketika ujian. Rasanya tak ada keseriusan dosen memberantas  penyakit mencontek ini. Begitulah.
Berkelitnya birokrasi memaksa para mahasiswa takluk pada situasi. Birokrasi menempatkan mahasiswa pada posisi serba salah. Dengan segala adikuasanya, birokrasi kukuh menjatuhkan mental mahasiswa sampai ke titik dasar.  Tampaknya, selalu ada celah yang bisa dimanfaatkan si dosen untuk memanfaatkan anak didiknya itu.
Aikh, tiga belas tahun reformasi telah bergulir, tapi mentalitas penguasa tak kunjung berubah menjadi lebih baik. Malah, lebih jahat.
Itu sebabnya kenapa lebih dari separuh mahasiswa masih menganggap bahwa birokrasi penyebab inefisiensi. Anggapan itu muncul sebagai kristalisasi kekecewaan atau kekesalan mahasiswa saat berurusan dengan birokrasi kampus. Hal-hal kecil yang seyogiyanya bisa dikerjakan dengan cepat, tetapi tak bisa diraih, lantaran sistem birokrasi yang menuntut ini dan itu, minta ini minta itu.
 Supaya tidak termarjinalkan, tak jarang jalan berliku, berkelok-kelok dan menjemukan mesti dipatuhi. Sepertinya kecanggihan teknologi tak berbanding lurus dengan produktivitas para birokrat kampus. Bahkan, rasanya inisiatif mati suri di zona birokrasi. Terbukti, sistem departementalisme, mental feodal, kebiasaan menunda pekerjaan, sikap mengulur-ulur waktu, serta penggunaan banyak formulir yang serba legal-formal sangat banyak ditekankan.
Kejenuhan yang mencapai klimaksnya membuat mahasiswa mudah menyerah. Apalagi di era kini, saat luapan informasi dan akses teknologi begitu cepat mendorong mahasiswa memilih jalan pintas. Memang, kondisi ini tak bisa ditolerir.
Dalam keadaan seperti ini, gerakan mahasiswa kritis diharapkan menjadi dewa penyelamat bagi kampus. Sayangnya, kegerakan mahasiswa seperti hilang dari peredaran. Nyali mahasiswa mudah ciut saat berhadap-muka dengan birokrasi. Sejumlah ide kreatif serta mekanisme pergerakan mudah patah hanya lantaran tak kuasa menghadapi  “tatapan mata” penguasa kampus (birokrat). Kuantitas mahasiswa yang begitu besar tidak berbanding lurus dengan kekuatan dan daya juang untuk membawa perubahan.
Gerakan gerakan mahasiswa yang dulu kerap meramaikan kampus kini seperti  ditelan zaman. Isu perubahan yang biasa diusung mahasiswa kini tak lagi bisa diharap. Mahasiswa terbuai dan larut berfesbuk-ria dan ber-game online. Corong-corong penyalur aspirasi seperti UKM, Senat mahasiswa, dll telah kaku, beku, dan lapuk. Gerakan mahasiswa telah kehilangan kesadarannya.
Faktanya, ketakberdayaan mahasiswa menghadapi birokrasi seperti tak terbendung. Tak pelak, jika akhirnya mahasiswa cepat takluk kepada birokrasi yang selalu melemahkan dan melelahkan, karena kerap disalahgunakan oleh aparatur birokrasi yang merugikan masyarakat kampus.
Pertanyaannya, mengapa hal itu bisa terus terjadi? Mungkinkah masalah ini terpecahkan? Apa langkah kita? Sejumlah pertanyaan ini menjadi teka-teki bagi kampus.
Kondisi kampus yang memprihatinkan, memberi isyarat bahwa kajian birokrasi menjadi sangat penting bagi kampus yang sedang menjalani proses berkembang. Maka, kajian birokrasi semakin penting bagi setiap mereka yang sedang terlibat di kampus. Sebab, mahasiswa hanya akan diperalat bila tak memahami keadaan birokrasi kampus yang sesungguhya. Mereka akan menjadi alat ‘penguasa kampus’ untuk melanggengkan kekuasaannya. Jadi, amat perlu memahami birokrasi sebaik dan sesegera mungkin.
Menyoal Independensi Mahasiswa
            Mencermati rasa takut mahasiswa yang berlebihan itu, bahkan merasa seperti terbungkam dengan rasa segan memenuhi ubun-ubun sehingga tak mampu berkata apa-apa ketika berhadapan muka sama muka dengan birokrat. Ini membuktikan bahwa mahasiswa masih dipandang sebelah mata. Keadaan ini terjadi karena mahasiswa tidak menyadari bahwa mereka kaum independen.
Independensi berarti bebas. Bisa dikatakan bahwa independensi adalah sikap dimana mahasiswa bebas dari cengkeraman birokrat. Dalam arti, mahasiswa punya kebebasan berpikir dan berkreasi. Ide atau gagasan mahasiswa tidak boleh ditundukkan oleh gelar atau jabatan para birokrat. Tetapi sebaliknya, kehadiran para birokrat semestinya menjadi pendorong sekaligus pemberi semangat bagi yang muda untuk berkarya dan mengembangkan sayap.
            Mahasiswa harus bisa melihat dirinya jauh lebih dalam sampai ia menyadari bahwa dirinya adalah  kaum intelek sekaligus agen perubahan. Dengan bermodalkan kecerdasan, kreativitas, serta militansi, posisi mahasiswa begitu kencang membawa angin perubahan. Sayangnya, ketiga poin itu runtuh seketika. Kekuatan itu justru terkunci, bahkan rontok digusur rasa takut ketika independensi mahasiswa dikesampingkan.
Indepensi bukan sekedar bebas berekspresi fisik. Tetapi, pada tataran pikiran kebebasan itu patut dinikmati. Kebebasan memeliharakan pikiran dengan membiasakannya seliar mungkin  melanglang buana mencari gagasan harus dipelihara. Dan hal itu perlu disadari oleh semua orang, termasuk birokrasi. Karena tanpa pengakuan atas indepensi mahasiswa, harapan perubahan sulit diwujudkan. Sebab mahasiswa adalah insan kreatif yang butuh berekspresi.
            Lantas, bagaimana menganulir cengkraman kampus itu? Jawabanya: Kita perlu sadar. Tanpa kesadaran diri, gerak perubahan yang dikerjakan hanya asal-asalan. Dan kesadaran itu perlu dibangun secara kolektif. Karena tanpa kesadaran kolektif, kekuatan pergerakan tidak memiliki greget. Ujung-ujungnya bisa  kandas di tengah jalan.

Tindakan Strategis dan Dinamika Kampus
Kita perlu berbenah diri. Tindakan strategis perlu dirancang sebagai modal pergerakan. Maka penguatan diri adalah keniscayaan. Penguatan bisa dimulai dengan jalan membangun kelompok mahasiswa yang strategis.
Kelompok mahasiswa yang strategis dikukuh sikap militansi di satu sisi dan kemampuan mengorganisir  gerakan di sisi lain. Kelompok strategis ini terbentuk dalam suatu aliansi yang diikat oleh kepentingan-kepentingan bersama, yaitu mewujudkan birokrasi kampus yang sehat, yang mengedepankan nasib mahasiswa.
Mahasiswa harus memandang bahwa birokrasi adalah alat jitu untuk memperluas praktek demokrasi. Sebab birokrasi adalah media pengembang demokrasi. Ia bisa berfungsi sebagai jembatan bagi pelaksanaan setiap kebijakan-kebijakan administratif dari penguasa dengan aspirasi rakyat. Asal kita (mahasiswa) mampu mengontrol jalannya demokrasi kampus secara progres. Tergantung sifat birokrasi yang dibangun itu, apakah mengedepankan sifat keterbukaan atau serba tertutup? Keadaan ini perlu dicermati.
Maka dari itu, perilaku birokrasi yang menyimpang perlu dikritik demi arah perbaikan. Titik berat pemberian kritikan harus ditakar sesuai kadar penyimpangan itu sendiri. Kritik sifatnya membangun. Dan tujuannya tidak boleh sampai melenceng supaya, kritikan itu mendapat tempat yang tepat di hati birokrasi.
Dengan kontrol yang tepat pada birokrasi, kita  sebenarnya sedang mengupayakan agar ia berada pada posisi yang tepat sebagai pelayan masyarakat kampus. Bekerja sesuai fungsi dan tidak dibawah kendali dominan birokrat, tidak juga kurang mendapat perhatian dari mahasiswa. Model birokrasi adaptif  perlu dibangun dengan sungguh-sungguh.
Perlu juga dicermati, jika kontrol terhadap kampus rendah maka korupsi semakin subur, bangunan pendidikan rapuh, dan nepotisme merajalela. Korupsi dan nepotisme biasanya terdapat pada setiap aktivitas birokrasi dan kebanyakan terjadi di sistem yang lemah dari perhatian orang.
Oleh karena itu, Mari, sebagai mahasiswa sadari bahwa kita punya independensi. Yang perlu kita cermati, independensi yang kita miliki perlu diimbangi dengan kemampuan yang memadai, kualitas yang cemerlang dan militansi yang tinggi supaya kita tidak dipandang sebelah mata. Yang pada akhirnya, masyarakat kampus bisa merasakan dampak kehadiran kita di kampus dan di masyarakat.


*bergiat di Perkamen

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dicari Caleg Perduli Parmalim*

Banyak calon legislatif menduga komunitas Parmalim bakal golput. Tetapi Parmalim menampiknya. Dugaan itu muncul karena para caleg ternyata sama sekali tak mengenal apa itu Parmalim. Celakanya, kaum Parmalim juga tidak mengenal kandidatnya. Bagaimana nasib pemilu kita nanti? Oleh Dedy Hutajulu Desi (kanan) dan rekan-rekannya di depan Bale Parsattian (rumah ibadah Parmalim) di Jalan Air Bersih, Medan, Sabtu (8/3).--foto dedy hutajulu  DESI SIRAIT malu-malu saat lensa kamera diarahkan kepadanya. Ia memalingkan wajah. Di depan Bale Parsattian ia bercengkerama bersama teman sebaya. Bale Parsattian sebutan bagi rumah ibadah komunitas Parmalim. Bale Parsattian ini terletak di Jalan Air Bersih, Medan. Desi Sirait baru berusia 19 tahun. Ini tahun pertama baginya mengikuti pemilu. Ketika ditanya: nyoblos atau tidak? Desi tak langsung menjawab. Ia berpikir dalam-dalam. “Aku takut nanti salah ­­bicara. Jadi masalah pula bagi ugamo kami,” katanya. Desi berasal dari Pemantang

Kalang Baru dan Kenangan di Bondar

aku cuma cuci muka di air bondar Kesal. Kesal banget terus dikibuli si Rindu Capah. Dia ajak kami , katanya cebur ke sungai. Aku sudah senang. Buru-buru keluar dari rumahnya. Berlari sambil bawa kamera dan sabun dan odol.  Aku berharap pagi ini dapat suasana sungai yang indah di Kalang Baru, Sidikalang. Poto unutk oleh-oleh ke Medan. Kami bertiga berjalan menyusuri kebun kopi. Masuk lewat jalan-jalan tikus. Melewati rerimbunan bambu. Turun ke bawah dengan tangga-tanggah tanah yang dibentuk sedemikian rupa supaya serupa tangga. Cukup curam turunan itu. Di bawah tampak aliran sungai melintasi selokan-selokan yang berdempetan dengan sawah.  Banyak remaja dan gadis-gadis di bawah sedang mencuci dan mandi. Kami harus teriak "Lewat..atau Boa" baru mereka menyahut dan kami bis alewat. Begitu tiba di bawah, kukira kami akan berjalan masih jauh lagi menuju sungai yang dibilang Rindu. Tahu-tahunya, sungai yang di maksud adalah selokan ini. Gondok benar hatiku. "I

Syawal Gultom: Unimed Bagi Negeri

Oleh Dedy Hutajulu   Berkarir tinggi sampai ke Jakarta, tak membuat Syawal Gultom melupakan Unimed. Ia pulang membawa pengetahuan baru, biarKampus Hijau bisa menjadi pandu bagi negeri. Syawal Gultom LELAKI itu bangkit dari kursi. Ia tinggalkan setumpuk pekerjaan hanya demi menyambutku. Ruangan kami bertemu hanya seluas lapangan volley. Diisi banyak buku. Di tengah ruangan, ada sebuah meja dengan sofa yang disusun melingkar.Sofa itu biasa dipakai untuk menjamu paratamu.Laki-laki yang dimaksud adalah Syawal Gultom. Rektor baru Unimed.  Periode sebelumnya Syawal mengabdikan diri sebagai Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya   Manusia Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMPMP) Kemendikbud, Jakarta. Di pundak Syawal saat itu dibebankan tanggung jawab berat. Ia harus menjamin desain besar mutu pendidikan di Indonesia. Seperti merpati yang ingat pulang, Syawalpun kembali ke Unimed. Mayoritas anggota Senat mendukung Syawal sebagai nahkoda Unimed. Sampai 2019 nanti, gerak Lembaga P