Langsung ke konten utama

Terimakasih Gayus !



Oleh : Dedy Hutajulu*


Kontroversi ‘kunjungan’ Gayus ke Bali terkuak sudah, setelah Gayus mengaku bahwa foto “mirip” dirinya itu, adalah benar-benar dirinya. Pengakuan tersebut terlontar dari mulut Gayus secara langsung dalam persidangan terhadap dirinya di pengadilan Negeri Jakarta Selatan (15/11). Ia mengaku bahwa ia ke Bali menyaksikan pertandingan tennis di Nusa Dua. Padahal, sebelumnya, Gayus tetap bersikukuh menyangkalnya (kompas, 16/11).
Karena santernya kasus Gayus, maka “pengakuan Gayus” menjadi ‘buah bibir’ banyak orang. Tak pelak, berita itupun memenuhi halaman utama di berbagai media.   Berawal dari ketidaksengajaan, berujung jadi kehebohan. Berkat dua orang photographer kompas, yang menjepret pertandingan tennis, tapi, sebuah foto bergambar seorang penonton “mirip Gayus” terasa janggal bila ada dipertandingan tersebut, sebab Gayus jelas-jelas berstatus tahanan. Namun, yang mau kita persoalkan bukan soal foto tersebut, tetapi soal efek dari misteri foto “mirip Gayus” itu begitu santer, yakni menggambarkan mentalitas bangsa yang begitu bobrok.
Mengapa seorang tahanan terdakwa kasus korupsi, bisa melenggang ke pertandingan tennis? Bagaimana mungkin seorang Gayus, pegawai pajak golongan bawah, yang dipenjara di rutan, yang katanya begitu ‘ketat’ penjagaannya, tetapi bisa keluar-masuk bui bahkan sampai 68 kali. Bukankah ini aneh?
Apakah Gayus menyogok penjaga? Apakah penjaga begitu mudah disogok? atau Gayus sengaja mengancam petinggi polisi agar diberi kebebasan dan jika dia tak diberi izin akan membukakan siapa-siapa saja yang tersandung dengan dia? Ketiga pertanyaan ini menghiasi benak kita semua.
Tapi, yang lebih aneh menurut hemat saya, mengapa begitu mudahnya kita menuding habis-habisan, mengecam sekeras-kerasnya, bahkan sampai menghakimi Gayus? Sehingga tanpa kita sadari, kita lupa bahwa masih banyak koruptor yang sesungguhnya lebih parah dari Gayus, tapi tidak kita pikirkan dan tidak kita kecam.
Beberapa nama terdakwa yang terkait praktek mafia pajak sesuai data yang dilansir Litbang Kompas (kompas, 13/11), antara lain: Maruli Pandapotan Manurung (Mantan rekan Gayus di ditjen Pajak, terdakwa terkait penanganan keberatan pajak PT Surya Alam Tunggal, oleh PN Jakarta Selatan, 19/10/2010), Humala Napitupulu (Mantan rekan Gayus, terdakwa kasus yang sama dengan Maruli manurung, di sidangkan di PN Jakarta Selatan pada 27/10/2010 ).
Beberapa nama mafia hukum lainnya, seperti Alif Kuncoro (pengusaha, didakwa menyuap penyidik Polri dan sudah divonis 1,5 tahun penjara oleh PN Jakarta Selatan,20/9/2010), Komisaris Arafat Enanie (penyidik Polri, didakwa menerima suap,  divonis 5 tahun oleh PN Jakarta Selatan, 20/9/2010), Ajun Komisaris Sri Sumartini (penyidik Polri, didakwa menerima suap, divonis 2 tahun oleh PN Jakarta Selatan, 6/10/2010), Muhtadi  Asnun (Ketua Majelin Hakim kasus Gayus di PN Tangerang, didakwa menerima uang, tuntutan 3,5 tahun oleh PN Jakarta Timur, 8/11/2010), Haposan Hutagalung (pengacara Gayus, didakwa menyuap penyidik Polri dan turut menyiasati uang Gayus sebagai milik Kosasih, terdakwa PN Jakarta selatan, 16/8/2010), Lambertus Palang Ama (anak buah Haposan, didakwa membuat kontra fiktif antara Gayus dan Andi Kosasih, terdakwa PN Jakarta Selatan, 16/8/2010), Andi Kosasih (didakwa turut menyiasati uang milik Gayus sebagai miliknya, terdakwa PN Jakarta Selatan, 23/8/2010), Cirus Sinaga (Jaksa, bersama Haposan Hutagalung menjadi tersangka dugaan pemalsuan dokumen petunjuk tuntutan atau rencana tuntutan kasus Gayus Tambunan, tersangka 12/11/2010).
Tambahan lagi, keluarnya Gayus dari rutan Brimob, maka kesembilan polisi yang bertugas di Rumah Tahanan Brimob, termasuk Kepala rutan Komisaris (Pol) IS, yang kini sudah ditetapkan tersangka sejak 19/11/2010, menambah daftar panjang bahwa praktek-praktek suap-menyuap begitu rentan di negera kita ini. Sejumlah nama diatas, dengan keragaman profesinya menunjukkan, siapapun begitu imun terhadap praktek suap-menyuap. Lantas, kenapa korupsi seperti ini bisa terjadi? Tudingan utama pastilah di arahkan kepada bobroknya mentalitas bangsa ini.

Potret Mentalitas kita
Oleh sebab itu, kasus Gayus itu sebenarnya ‘biasa-biasa’ saja. Yang tidak biasa itu adalah ketika para penyogok (penyaru-penyaru) Gayus tidak diusut dan tidak dipenjarakan. Saya sebut ‘biasa biasa’ saja, karena hampir semua orang belakangan ini semakin geram dan semakin kesal melihat Gayus, sementara koruptor lain (yang menginisiasi korupsi kepada Gayus) tidak dikecam. Tak hanya Gayus, mari berkaca pada pelaksanaan Pilkada baru-baru ini. Bayangkan, seorang kepala daerah menggelontorkn uang ratusan miliaran rupiah untuk memenangkan pertarungan kekuasaan. Artinya, mereka-mereka yang sekarang tersandung korupsi, jelas tidak punya niat sedikitpun menjadi pemimpin, tetapi sedang mengejar kekuasaan, sehingga cara menyogok rakyat dianggap halal untuk mengejar  kekuasaan.
Tidak aneh, jika banyak kepala-kepala daerah hasil pilkada terjerat korupsi. Meminjam data TvOne (TvOne, 8/11/2010), sebanyak 150 bupati tersandung korupsi dan telah masuk bui dan tujuh gubernur sudah ditetapkan sebagai tersangka. Inipun bentuk-bentuk mentalitas yang tidak benar. Jika ‘para pemimpin’ saja sudah seperti ini, bukankan cerminan mentalitas pemimpin itu biasanya memantul sampai ke bawah? Tentu, hal ini patut dipersoalkan.
Gayus itu adalah kita, gambaran Indonesia: yang menyogok kapanpun dan dimanapun. Ini soal mentalitas anak bangsa. Contoh lain, kita sebenarnya tidak sedang mau mengurus KTP, tetapi sedang perang urat syaraf melawan diri sendiri. Kita bergumul memikirkan berapa uang harus kita sediakan dan siapa yang bisa disogok agar KTPnya  selesai cepat. Mahasiswa sering ‘pusing’ memikirkan jumlah ‘amplop’ yang diselipkan di dalam skripsi, untuk memperlancar proses ujian meja hijau, atau masyarakat begitu mudah membayar uang ‘pelicin’ supaya cepat lepas dari jerat birokrasi. Padahal, semuanya itu bisa dihadapi dengan akal sehat dan dengan cara-cara yang benar tanpa harus bayar.
Itu sekedar contoh-contoh kecil saja. Kita semua bisa menyebut contoh-contoh lainnya, sebagai masyarakat yang merasakan dan melakukannya barang kali. Maka, alangkah baiknya kita bercermin, bahwa kita ini perlu membenahi diri. Mentalitas kita perlu dibaharui setiap saat. Kita harus berani menantang diri, menghadapi dunia yang serba rusak ini.
Kita perlu berbenah diri. Membangun mental yang berintegritas dan berani bertindak benar. Jangan sampai menghakimi orang lain, tapi lupa intropeksi diri. Karena kita mungkin memakai ‘topeng Gayus’ setiap hari. Atau gayus itu adalah diri kita sendiri. Anda dan saya lebih tahu. Akhirnya, terimakasih Gayus, karena sudah membuka tabir mentalitas bangsa ini yang sangat bobrok.

*Penulis adalah Ketua Perkamen

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Selamatkan Lapangan Merdeka Medan

Lapangan Merdeka (Vukoraido) BERKACA dari keberhasilan penyelamatan Gedung Nasional Medan, kini para sejarawan, akademisi, mahasiswa, budayawan, pengamat budaya, dan dosen serta aktivis di Medan makin merapatkan barisan. Mereka sedang mengupayakan penyelamatan Lapangan Merdeka Medan dari usaha penghancuran pihak tertentu. Gerakan ini bermaksud mendorong pemerintah agar menyelamatkan Lapangan Merdeka yang kini telah kopak-kapik sehingga merusak makna sejarah yang ada tentang kota ini. Pembangunan skybridge (jembatan layang) sekaligus city cek in dan lahan parkir di sisi timur Lapangan Merdeka, menurut Hamdani Siregar, pengamat sejarah, itu adalah bagian dari upaya penghancuran sejarah. Apalagi, ketika pembangunan tersebut malah makin memunggungi satu monumen bersejarah di Medan, yakni monumen proklamasi kemerdekaan RI. “Ini momentum bagi kita untuk bangkit melawan. Bangkit menyelamatkan Lapangan Merdeka. Karena pembangunan di situ telah merusak sejarah bangsa i...

Kalang Baru dan Kenangan di Bondar

aku cuma cuci muka di air bondar Kesal. Kesal banget terus dikibuli si Rindu Capah. Dia ajak kami , katanya cebur ke sungai. Aku sudah senang. Buru-buru keluar dari rumahnya. Berlari sambil bawa kamera dan sabun dan odol.  Aku berharap pagi ini dapat suasana sungai yang indah di Kalang Baru, Sidikalang. Poto unutk oleh-oleh ke Medan. Kami bertiga berjalan menyusuri kebun kopi. Masuk lewat jalan-jalan tikus. Melewati rerimbunan bambu. Turun ke bawah dengan tangga-tanggah tanah yang dibentuk sedemikian rupa supaya serupa tangga. Cukup curam turunan itu. Di bawah tampak aliran sungai melintasi selokan-selokan yang berdempetan dengan sawah.  Banyak remaja dan gadis-gadis di bawah sedang mencuci dan mandi. Kami harus teriak "Lewat..atau Boa" baru mereka menyahut dan kami bis alewat. Begitu tiba di bawah, kukira kami akan berjalan masih jauh lagi menuju sungai yang dibilang Rindu. Tahu-tahunya, sungai yang di maksud adalah selokan ini. Gondok benar hatiku. "I...

Menunggu Langkah Progres Timur Pradopo

Oleh Dedy Hutajulu “Congratulation pak Timur Pradopo. Semoga sukses menakhodai kepolisisan di negeri ini, segala harapan kami dipundakmu sang Jenderal. Kami (rakyat) kini menanti kepemimpinanmu”. Demikianlah gema harap dan ucapan selamat masih terus mengalir dari hati-ke-hati, meski proses terpilihnya bapak Timur sebagai Kapolri baru sarat dengan kontroversi. Namun, meski demikian (sarat kontroversi), siapapun yang terpilih berhak mendapat kesempatan itu. Timur Pradopo sudah dilantik menjadi Kapolri baru. Begitu beliau menanggalkan jubah lamanya, dan telah mengenakan jubah barunya, maka segala harapan rakyat terkait tugasnya, melekat dalam jubah baru yang dikenakannya saat ini. Seiring dengan itu, segala restu, doa, harap senantiasa menyertai hari-hari kapolri baru kita ini. Sederet Tugas Kapolri Dengan terpilihnya Timur sebagai kapolri bukan berarti semua masalah lantas berakhir, seperti riak kontroversinya yang kini tinggal sayup-sayup. Sederet panjang nan berat tugas untuk k...